JAKARTA, KOMPAS — Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dinilai terlalu terburu-buru dalam meluncurkan realisasi kontrak politiknya pada pilkada lalu dalam waktu 100 hari kerjanya. Program-program itu diluncurkan tanpa disertai perencanaan yang cukup matang sehingga apa yang dilakukannya cenderung kontroversif. Anies Baswedan dipandang berusaha menguatkan citra tentang keberpihakannya terhadap masyarakat kelas bawah dalam 100 hari kerjanya.
Beberapa hal yang sudah dilakukan oleh Gubernur Anies adalah penutupan Jalan Jatibaru Raya, Tanah Abang, Jakarta Pusat, pembukaan kembali akses untuk sepeda motor di Jalan Sudirman-Thamrin, mewacanakan pelegalan becak, dan peletakan batu pertama program rumah susun milik (rusunami) tanpa uang muka. Terdapat aturan-aturan yang dilanggar dan ada aturan yang belum dibuat untuk hal-hal tersebut.
Agus Pambagio, pengamat kebijakan publik, mengatakan, dalam membuat sebuah program harus melihat landasan hukum yang mungkin bersinggungan dengan program itu. ”Landasan hukum dicek mulai dari peraturan gubernur. Kalau sudah ’oke’, tidak bertentangan dengan undang-undang di atasnya, baru dikenalkan kepada publik,” kata Agus, dalam diskusi ”100 Hari Kerja Anies-Sandi” di kantor PARA Syndicate, Jakarta Selatan, Jumat (26/1).
Salah satu tindakan Gubernur Anies yang dikritisi oleh Agus adalah peletakan batu pertama untuk rusunami tanpa uang muka di Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Program sudah diluncurkan meski belum ada aturan jelas tentang program itu. Badan layanan umum daerah untuk program itu juga masih disusun dan direncanakan selesai April ini.
Penutupan Jalan Jatibaru Raya juga mengundang kontroversi. Sepanjang 400 meter dari Jalan Jatibaru Raya ditutup dari pukul 08.00-18.00 setiap hari. Jalan sebelah timur ditutup untuk tempat pedagang kaki lima (PKL) berjualan. Penutupan jalan itu melanggar Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Fungsi jalan sebagai tempat lalu lintas kendaraan bermotor dilanggar karena dijadikan tempat berjualan.
Program sudah diluncurkan meski belum ada aturan jelas tentang program itu. Badan layanan umum daerah untuk program itu juga masih disusun dan direncanakan selesai April ini.
Penutupan jalan itu memunculkan persoalan lain karena PKL masih mengokupasi trotoar. Rabu (25/1) siang, trotoar selebar 5 meter bersisa sekitar 1 meter di tengahnya. Sebelah kanan dan kiri masing-masing diokupasi sekitar 2 meter oleh gelaran dagangan para PKL.
Pengamat tata kota Yayat Supriatna menambahkan, wacana tentang pelegalan becak yang digagas Gubernur Anies juga melanggar peraturan daerah (perda). Ada tiga peraturan yang melarang beroperasinya becak, yaitu Perda Nomor 4 Tahun 1972, Perda Nomor 11 Tahun 1988, dan Perda Nomor 8 Tahun 2007.
Selain itu, Yayat melihat, apa yang dilakukan Gubernur Anies dalam 100 hari kerjanya adalah mencetuskan wacana baru tentang keadilan. Becak sebagai simbol dari masyarakat kelas bawah berusaha difasilitasi dengan dilegalkan. Namun, Yayat mempertanyakan, pelegalan becak itu dapat mengubah struktur kemiskinan atau tidak.
”Soal becak, dia bicara tentang persoalan keadilan. Namun, dari sisi aturan hukum, bermasalah dengan perda. Apakah menawarkan becak untuk dilegalkan bisa mengubah struktur kemiskinan?” kata Yayat.
Sementara itu, Ray Rangkuti menilai, Anies terlalu terburu-buru untuk merealisasikan janji-janjinya selama pilkada. Namun, janji-janji itu sekadar diluncurkan tanpa perencanaan matang. Selain itu, janji-janji itu disebutkan dengan bahasa yang berbunga-bunga dan dalam realisasi dianggap Ray masih di bawah standar.
”Program-program tidak direncakan secara matang. Dalam 100 hari ini program-program itu diluncurkan untuk membuat branding bahwa dia prorakyat,” kata Ray. ”Dia melakukan framing bahwa dia seolah-olah sudah menunaikan janji-janji politiknya. Padahal, apa yang dilakukan berbeda dengan yang dibayangkan oleh publik.”
Hal itu dicontohkan oleh Ray dengan program rumah tanpa uang muka. Awalnya, warga beranggapan rumah tanpa uang muka itu berupa rumah tapak. Namun, dalam praktiknya, yang akan dibangun adalah rumah susun.
Ray menambahkan, Anies bermain pada tataran simbol. Keputusan untuk melegalkan becak dan memperbolehkan sepeda motor untuk melintas di Jalan Sudirman-Thamrin menyimbolkan keberpihakan terhadap rakyat kecil.
Terkait ucapan berbunga-bunga Anies dalam menerjemahkan program, Yayat menanggapi, penyelesaian Jakarta tidak berhasil diselesaikan hanya dengan kata-kata. ”Dalam tiga bulan membangun branding masih tak mengapa. Tetapi, kota membutuhkan manajer kota. Lebih baik fokus dalam penyelesaian masalah yang ada,” kata Yayat.
”Tata kota tidak bisa diselesaikan dengan tata kata,” ujar Yayat. (DD16)