Liverpool, pada era Manajer Juergen Klopp ibarat ”Robin Hood”. Mereka menggembosi tim-tim kaya seperti Manchester City, tetapi justru bertekuk lutut ketika menghadapi tim-tim semenjana. Seusai dipermalukan tim juru kunci Liga Inggris, Swansea City, pekan lalu, ”Si Merah” kembali menyerah dari penghuni zona degradasi lainnya, West Bromwich Albion, di Piala FA, Minggu (28/1) dini hari WIB.
Rentetan kekalahan itu menampar Liverpool dan Klopp. Untuk pertama kali di musim ini, mereka menderita dua kekalahan beruntun di dua kompetisi berbeda. Sudah begitu, kedua lawannya adalah tim ke-19 dan 20 di Liga Inggris. Kekalahan dari West Bromwich Albion (WBA) itu juga mematahkan keangkeran Anfield, stadion yang di laga sebelumnya menjadi saksi kehebatan Liverpool memukul City, 4-3.
Rekor 22 laga tidak terkalahkan di Anfield pun runtuh seketika. Hal yang menarik, kekalahan terakhir ”The Reds” di Anfield sebelum laga Piala FA itu juga diderita dari klub semenjana, yaitu Crystal Palace, pada 23 April 2017 lalu. Ironisnya, selain City, The Reds hampir selalu perkasa di stadion itu saat menghadapi barisan raksasa lainnya seperti Arsenal.
Jekyll dan Hyde
Inkonsistensi Si Merah itu membuat Liverpool ala Klopp juga kerap dijuluki ”Jekyll dan Hyde”, karakter fiksi buatan penulis Skotlandia, Robert Louis Stevenson. Seperti Jekyll dan Hyde, Liverpool seolah punya dua kepribadian yang saling bertolak belakang. ”Sangat tipikal Liverpool jika mereka mampu mengalahkan yang terbaik, tetapi takluk dari yang terburuk,” tulis ESPN.
Sindiran itu terlihat dari kiprah The Reds selama diasuh Klopp. Dalam tiga musim terakhir, Liverpool adalah tim yang paling sering mengalahkan barisan raksasa Liga Inggris alias ”Big Six”.
Musim lalu misalnya, Liverpool mengemas total 20 poin dari dan tidak pernah kalah dari lima anggota Big Six lainnya, seperti City, Chelsea, dan Arsenal. Jika saja Liga Inggris hanya diikuti keenam klub top itu, The Reds adalah kampiunnya.
Inkonsistensi Si Merah itu membuat Liverpool ala Klopp juga kerap dijuluki ”Jekyll dan Hyde”, karakter fiksi buatan penulis Skotlandia, Robert Louis Stevenson. Seperti Jekyll dan Hyde, Liverpool seolah punya dua kepribadian yang saling bertolak belakang.
Namun, Liga Inggris dan turnamen Piala FA tidaklah demikian. Dalam kompetisi dan turnamen itu, tim-tim biasa-biasa saja, bahkan dengan sumber daya pas-pasan, justru lebih banyak. Tak heran, Liverpool di era Klopp menjadi langganan korban Piala FA. Turnamen sepak bola tertua di dunia, yang digelar sejak 1871 silam, itu selalu menghadirkan derita bagi Klopp sejak hijrah ke Inggris pada 2015 silam.
Tiga kali ia dan Liverpool tampil di turnamen itu, tiga kali pula mereka kandas dini, yaitu di putaran keempat. Lagi-lagi, Klopp dipermalukan tim-tim semenjana seperti WBA. Musim lalu, The Reds didepak Wolverhampton Wanderes, tim Divisi Championship alias kasta kedua sepak bola Inggris. Kekalahan 1-2 itu juga diderita di Anfield. Dua musim lalu, giliran West Ham United yang menyingkirkan The Reds melalui laga ulang (replay).
Rentetan kekalahan itu bukan karena Klopp meremehkan lawannya. Itu setidaknya terbukti dari susunan pemain yang diturunkannya saat menjamu WBA. Klopp menurunkan hampir semua pemain pilarnya, berikut trio penyerang Mohamed Salah, Sadio Mane, dan Roberto Firmino. Lalu, di tengah ada Emre Can dan Alex Oxlade-Chamberlain. Line up atau susunan pemain ini nyaris serupa dengan yang diturunkan Klopp saat membekap City 4-3, dua pekan lalu.
Gegenpressing
Lantas, apa yang salah? ”Semua orang melihat, kami membuat kesalahan di laga ini (kontra WBA). Gol kedua (WBA) terjadi karena wow, kami bertahan sangat buruk. Ini bukan cara bertahan kami yang seharusnya,” ujar Klopp yang mengaku tidak memiliki jawaban atas buruknya kinerja pertahanan mereka.
Rentetan kekalahan itu bukan karena Klopp meremehkan lawannya.
Jawabannya mungkin ada pada cara bermain mereka. Di tangan Klopp, The Reds menjadikan gegenpressing sebagai senjata utama. Gegenpressing adalah taktik di mana setiap pemain, mulai dari lini depan hingga belakang, harus secepat mungkin merebut kembali bola dan mengalirkannya ke depan begitu kehilangan bola.
Taktik ini menuntut stamina serta kecepatan tinggi. Taktik itu sangat jitu menghadapi lawan-lawan yang berani bermain terbuka dan cenderung menguasai bola seperti ”The Citizens” dan Arsenal.
Begitu Liverpool mencuri bola di tengah, atau bahkan depan, trio penyerang seperti Salah dan Mane mudah menghabisi lawan dengan kecepatan, teknik, dan dinamisasi pergerakan mereka. Dengan cara itulah mereka menjungkalkan City, tim yang sempat tidak terkalahkan sepanjang musim ini. Cara serupa menghancurkan Arsenal 4-0, Agustus lalu.
Namun, taktik itu tidak efektif saat menghadapi tim-tim dengan pertahanan rapat ala parkir bus seperti diterapkan Swansea dan WBA. Permainan Liverpool yang terpusat di areal tengah mudah dipatahkan jika lawan menumpuk lima hingga delapan pemain di areal kotak penalti. Itu membuat pemain yang rajin menusuk ke areal penalti, seperti Salah dan Mane, jadi mati kutu.
Taktik parkir bus itu bak Kryptonite bagi Liverpool yang sering memfokuskan serangan di tengah, jarang memanfaatkan sisi sayap atau lebar lapangan. Padahal, mereka memiliki sejumlah pemain sayap cepat yang bisa menjadi pengumpan macam Chamberlain dan Mane. Celakanya, mereka lebih sering bergerak ke tengah. Ketiadaan pemain yang punya keunggulan duel di udara menjadi alasan Klopp enggan menerapkan taktik alternatif itu.
Ketiadaan gelandang jangkar yang tangguh seperti Javier Mascherano yang pernah membela Liverpool beberapa tahun lalu memperpuruk The Reds. Mereka jadi tidak memiliki jangkar yang menjaga keseimbangan transisi menyerang ke bertahan atau pemutus aliran bola saat menghadapi serangan balik. Padahal, sepak bola Inggris masih kental dengan tradisi menyerang cepat. Itulah yang mengakibatkan Liverpool rentan dipukul balik.
Celakanya, seperti pernah dikatakan Manajer MU Jose Mourinho, akhir-akhir ini kian banyak tim Liga Inggris yang bermain defensif dan lebih banyak mengandalkan serangan balik. Tim-tim itu seolah terinspirasi dari Leicester City yang menjadi kampiun Liga Inggris dua musim lalu dengan mengandalkan paham pragmatis, yaitu pertahanan kuat yang dipadu serangan balik frontal dan mematikan.
Tak ayal, The Reds selamanya bakal berwajah dua selama Klopp enggan mencari taktik alternatif dan menemukan kembali jangkar flamboyan seperti Mascherano....