Naik Turun Nasionalisme, Naik Turun Prestasi Olahraga
Perjalanan prestasi olahraga Indonesia tidak pernah lepas dari pengelolaan dan pembangunan rasa kebangsaan atau nasionalisme. Nasionalisme yang hadir dalam diri masyarakat pun tidak pernah menetap. Ia bisa menguat dan melemah seiring dengan perubahan zaman.
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengatakan, semangat nasionalisme amat kuat ketika Indonesia baru merdeka. Kehadiran Presiden Soekarno, sebagai pemimpin yang mampu membangkitkan semangat pembangunan bangsa, semakin memperkuat hal tersebut. Hasilnya, prestasi olahraga Indonesia mencapai hasil gemilang.
Tahun 1956 di Australia, tim sepak bola Indonesia mampu menahan imbang kesebelasan Rusia pada babak pertama. Meskipun kalah pada babak kedua dan play off, prestasi itu membanggakan bagi Indonesia. Rusia merupakan salah satu negara terkuat di dunia saat itu.
Indonesia juga meraih peringkat kedua perolehan medali terbanyak di Asian Games 1962 Jakarta. Perolehan itu terdiri dari 21 medali emas, 26 medali perak, dan 30 medali perunggu. Saat Soekarno menyelenggarakan Ganefo 1963, Indonesia meraih peringkat kedua dari total 51 negara peserta.
Akan tetapi, menurut Asvi, memasuki masa Orde Baru, prestasi olahraga Indonesia mulai menurun. Keinginan membangun bangsa melalui olahraga tak tampak jelas. Pemilihan pemimpin induk cabang pun tidak mengarah kepada peningkatan prestasi.
”Pimpinan induk cabang diisi pengusaha, pejabat, dan militer (yang ada di lingkungan Presiden Soeharto) sehingga hanya melahirkan pertemanan (di kalangan) elite. Kepemimpinan seperti itu hanya memajukan pimpinan bukan memajukan atlet,” kata Asvi di Jakarta, pekan lalu. ”Sulit menemukan orang-orang yang ingin mengurus induk cabang tanpa pamrih,” katanya. Cabang yang konsisten berprestasi di ranah internasional pun hanya bulu tangkis.
Salah satu hasilnya, dari delapan Asian Games yang diikuti Indonesia selama Orde Baru, capaian tertinggi adalah peringkat ke-4 Asian Games 1970 dengan perolehan 9 emas, 7 perak, dan 7 perunggu. Sementara itu, capaian terendah adalah peringkat ke-11 Asian Games 1994 dengan perolehan 3 emas, 12 perak, dan 11 perunggu.
Gelora patriotisme
Di sisi lain, patriotisme justru bergelora di dalam diri para atlet. Pebulu tangkis yang meraih delapan kali juara tunggal putra All England, Rudy Hartono (68), mengatakan tidak pernah berharap imbalan untuk memperjuangkan nama baik bangsa. ”Saat mengharumkan nama bangsa di dalam gelanggang olahraga, tidak pernah terpikir besok mau makan apa. Yang terpikir hanyalah saya harus menang karena itu yang diinginkan masyarakat,” kata Rudy.
Semangat yang sama juga dirasakan Candra Wijaya (42), pebulu tangkis ganda putra yang memperkuat tim Piala Thomas 1998. Patriotisme Candra teruji saat berlaga memperebutkan Piala Thomas di Hong Kong.
Saat itu kemelut politik dan gonjang-ganjing ekonomi Indonesia tengah memuncak. Laga final Piala Thomas jatuh pada Minggu, 24 Mei 1998, hanya berselang tiga hari setelah Presiden Soeharto jatuh dan kurang dari dua pekan sebelum kerusuhan massal terjadi di Jakarta.
”Kami sangat tegang dan waswas saat bermain,” kata Candra. Sebab, sentimen anti-China meningkat di Ibu Kota. Sebagian besar pebulu tangkis Indonesia, termasuk Candra, merupakan warga keturunan China.
Namun, hal tersebut tidak memengaruhi penampilan tim Piala Thomas Indonesia. Mereka, kata Candra, justru semakin fokus untuk menang. Mereka ingin membuktikan pengabdian sebagai anak bangsa. ”Kami ingin membela Merah Putih tanpa pamrih,” ujarnya.
Keberhasilan tim Piala Thomas yang dipastikan oleh kemenangan pasangan Candra Wijaya/Sigit Budiarto itu di luar dugaan. Warga Indonesia yang menyaksikan laga itu berurai air mata karena tidak menyangka bahwa Indonesia yang gagal meraih satu pun gelar di Jepang Terbuka, All England, dan Swiss Terbuka berhasil merebut Piala Thomas tiga kali berturut-turut pada 1994, 1996, 1998 (Kompas, 25/5/1998).
Kemenangan itu juga menjadi kenangan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Menurut manajer tim Piala Thomas Agus Wirahadikusumah, keberhasilan tim merupakan obat penawar bagi bangsa Indonesia yang sedang menghadapi masa-masa sulit. Proses keberhasilan itu bisa menjadi contoh bahwa persatuan dari semua suku dan agama apa pun merupakan kekuatan (Kompas, 25/5/1998).
Atlet silat peraih medali emas Kejuaraan Dunia 1997, 2000, dan juara SEA Games 1997, 2005, 2007, Rony Syaifullah (41), mengatakan, perjuangan mengharumkan nama bangsa di gelanggang olahraga bagaikan perjuangan seorang pahlawan dalam mengisi kemerdekaan. ”Hanya presiden dan atlet yang bisa menaikkan bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu ’Indonesia Raya’ di negara lain,” kata Rony.
Asa patriotisme dalam diri atlet terus hidup meski sudah berbeda zaman. Rifda Irfanaluthfi (18), peraih medali emas senam artistik SEA Games 2017, mengatakan, keinginannya mengabdi kepada negara jauh lebih besar ketimbang keinginan untuk mendapatkan keuntungan dari cabang yang digelutinya. ”Selama ini Indonesia banyak direndahkan negara lain, saya ingin membuktikan bahwa negara ini memiliki kekuatan, salah satunya dalam bidang olahraga,” ujarnya.
Rifda mengaku, ia pun terdorong untuk menjadi atlet berkat salah satu isi pidato Soekarno yang dibacakan ibunya beberapa tahun lalu. ”Beri aku 100 orangtua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia. Jadilah salah satu dari 10 pemuda itu, Dik,” kata Rifda menirukan pidato Soekarno yang diucapkan ibunya. Ia menargetkan, belum akan berhenti menjadi atlet hingga menjadi finalis olimpiade.
Menurut Asvi, patriotisme para atlet hadir berkat rasa bangga yang juga muncul beriringan ketika mereka berhasil menaikkan bendera dan menyanyikan lagu ”Indonesia Raya” di ajang internasional. Pengakuan dua simbol negara di negara lain atau dalam ajang olahraga internasional melambangkan posisi Indonesia yang setara dengan negara mana pun di dunia.
Nasionalisme semu
Rasa kebanggan terhadap prestasi olahraga tidak hanya muncul dalam diri atlet, tetapi juga masyarakat. Salah satunya Maximillian Gala Permana (24). Gala yang sejak 2010 menempuh studi di Jerman tidak pernah absen menonton laga tim nasional (timnas) sepak bola Indonesia. Meski waktu terpaut enam jam dari Indonesia, ia bersiasat memanfaatkan teknologi video streaming untuk mengikuti perkembangan.
Menurut Gala, pertandingan sepak bola menjadi perekat ikatan persahabatan di antara sesama pelajar Indonesia di Jerman, khususnya yang tinggal di kota kecil, seperti Clausthal. Ia dan teman-temannya kerap berkumpul untuk menonton bersama. Salah satu laga bersejarah baginya dan kawan-kawan adalah babak final Piala AFF Desember 2016.
”Kami sangat bersemangat waktu itu karena timnas bisa masuk ke babak final setelah Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dibekukan FIFA,” kata Gala. FIFA membekukan PSSI dan segala aktivitas sepak bola Indonesia di dalam ataupun luar negeri pada Mei 2015 karena pemerintah dianggap mengintervensi independensi aktivitas sepak bola. Sanksi itu dicabut dengan beberapa syarat pada Mei 2016.
Nasionalisme yang muncul dalam diri masyarakat terhadap olahraga adalah nasionalisme kerumunan. Masyarakat menikmati kebersamaan saat berkumpul dan mengusung satu identitas dalam pertandingan olahraga. Setelahnya, euforia menghilang begitu saja.
”Dengan menonton secara bersama-sama, kami merasa menjadi bagian dari laga,” ujar Gala. Sebelum pindah ke Jerman, Gala pun merupakan penggemar berat sepak bola. Ia pernah menyempatkan diri menonton secara langsung laga persahabatan antara timnas kontra tim asal Jerman Bayern Muenchen, 2008.
Meski kerap memperhatikan perkembangan sepak bola Tanah Air, ia tidak pernah berkeinginan menjadi pemain sepak bola. ”Bagi saya sepak bola hanya merupakan industri hiburan,” ujar Gala.
Begitu pula dengan anggota komunitas suporter Persija Jakarta The Jakmania, Agus Willuyo (29). Agus yang sudah bergabung dengan The Jakmania sejak 2000 itu mengatakan tidak pernah melewatkan laga sepak bola, baik untuk klub Persija maupun timnas. ”Ada kebanggaan tersendiri ketika merasakan euforia laga di lapangan,” ujarnya.
Serupa dengan Gala, meski mengaku sepak bola adalah agama kedua baginya, Agus tidak berkeinginan menjadi pemain sepak bola. Pengalaman mendapat larangan secara tidak langsung dari orangtua merupakan penyebabnya.
Ketika masih duduk di sekolah dasar (SD), Agus sempat mengikuti sekolah sepak bola (SSB) Jayakarta, Ragunan. Namun, kedua orangtuanya memindahkan sekolah Agus ke pesantren yang jauh dari Ibu Kota. Aktivitas Agus di SSB pun praktis berhenti.
Menurut Agus, orangtuanya lebih memprioritaskan penguasaan pemahaman agama ketimbang olahraga. Sejak saat itu, harapan menjadi pemain profesional sudah pupus, ia hanya bermain untuk hobi.
Sosiolog sekaligus pengamat olahraga, Fritz Simanjuntak, mengatakan, nasionalisme yang muncul dalam diri masyarakat terhadap olahraga adalah nasionalisme kerumunan. Masyarakat menikmati kebersamaan saat berkumpul dan mengusung satu identitas dalam pertandingan olahraga. Setelahnya, euforia menghilang begitu saja.
Fritz melanjutkan, hal itu merupakan akibat dari pemerintah dan induk cabang yang gagap menghadapi perubahan global. Mereka belum siap mengikuti perkembangan olahraga yang telah menjadi bisnis. Di negara-negara lain, olahraga menjadi sarana untuk mempercepat peningkatan dalam bidang ekonomi.
Contohnya, kata Fritz, Korea Selatan bersedia menjadi tuan rumah berbagai ajang olahraga, antara lain Olimpiade 1988, Piala Dunia 2002, dan Asian Games 1986, 2002, dan 2014. Ia menambahkan, berbagai kota yang dijadikan lokasi ajang juga dibangun sebagai kawasan ekonomi khusus.
Menurut Asvi, pesatnya perkembangan ekonomi Korea Selatan berkat pembangunan di bidang olahraga menginspirasi Vietnam melakukan pembaruan di negaranya. Vietnam melaksanakan reformasi ekonomi (Doi Moi) pada akhir 1980-an setelah melihat penyelenggaraan pesta olahraga di Korea Selatan.
Begitu juga Inggris. Meski hanya sekali meraih juara Piala Dunia 1966, negara ini mengembangkan industri olahraga secara serius. Mereka membuat sistem kompetisi yang teratur. Sekolah-sekolah sepak bola pun dibangun secara massal.
”Perubahan ini yang terlambat kita sadari. Nasionalisme (dalam diri masyarakat) memang tetap ada, tetapi itu tidak membuat mereka ingin menjadi atlet, kecuali di cabang-cabang yang memang menjadi bisnis, seperti bulu tangkis dan sepak bola,” kata Fritz.
Menurut dia, selama ini olahraga tidak bisa berkembang menjadi aktivitas ekonomi, pembiayaan olahraga sebagian besar ditanggung pemerintah. Akibatnya, minat masyarakat menjadi atlet minim, cabang pun sulit melakukan regenerasi. ”Profesi atlet tidak menjadi inspirasi karena tidak bisa membuat masyarakat melakukan mobilitas sosial ke atas,” kata Fritz.
Prestasi olahraga Indonesia pun cenderung turun dalam lima tahun terakhir. Di SEA Games 2013, Indonesia finis keempat (65 emas, 84 perak, dan 111 perunggu). Namun, pada SEA Games 2015 posisi Indonesia turun ke peringkat lima (47 emas, 61 perak, dan 74 perunggu). Pada SEA Games 2017, posisi Indonesia tetap peringkat kelima, tetapi jumlah perolehan medali turun (38 emas, 63 perak, dan 90 perunggu) (Kompas 22/1).
Kini, saat mengemban tugas sebagai tuan rumah Asian Games 2018, Indonesia semestinya bisa memanfaatkan momentum untuk berbenah. Bukan hanya menyediakan infrastruktur, melainkan juga meningkatkan prestasi. Bahkan, lebih dari itu, Indonesia semestinya bisa membangun ekonomi sekaligus menguatkan nasionalisme dalam diri masyarakat dengan memanfaatkan ajang pesta olahraga multicabang se-Asia. (DD01)