Tebar dan Tanamlah Kebaikan
Upacara Mapag Uga Tujuh Gunung usai sudah. Sebuah upaya manusia ”membersihkan” diri dari sifat buruk, yang membawa pulang kita kepada kesadaran: betapa rentan dan rapuhnya manusia.
- English Version: Spreading and Nurturing Kindness
Eling mangka eling...
Eling mangka eling...
Ahung...
Ahung...
Ahung...
Bagian doa itu diulang, yang mengajak manusia terus ingat kepada Sang Pencipta. Doa lebih panjang berisi permohonan ampun dan kesejahteraan kembali dianugerahkan kepada manusia.
Doa-doa itu tidak hanya dalam bahasa Sunda, tetapi juga bahasa Bali dan Batak. Hampir satu jam permohonan itu diserukan, diiringi dengan musik khas Sunda, yang keluar dari alat musik gesek, petik, tabuh, dan getar, seperti rebab, kecapi, karinding, rebana, gendang, lonceng kecil, dan angklung.
Doa, yang diucapkan dari nada lirih menyayat hingga berteriak, terasa harmonis dengan alunan iringan bunyi.
Malam itu, penerangan berasal dari lampu minyak. Itu pun hanya di pusat upacara. Lingkungan sekitar gelap, pekat, dan dingin karena berada di bantar barat Danau Telaga Warna, yang tepi timurnya dinding tebing Gunung Pangrango.
Itulah ritual doa pada upacara Mapag Uga Tujuh Gunung yang berlangsung Sabtu (27/1) selama dua jam, pukul 22.00-00.00. Sekitar 300 orang mengikuti puncak ”ruwat gunung” di wilayah Bogor, yang bergabung dalam komunitas Bhakti Nusantara. Mereka datang dari daerah di Pulau Jawa, Sumatera, dan Bali.
Ruwatan di sini adalah upaya membersihkan batin dan pikiran dari hal-hal buruk. Menyadari betapa kecilnya manusia di hadapan alam semesta dan Sang Pencipta.
Upacara dominan menggunakan adat Sunda Wiwitan dan Sunda Buhun karena berlokasi di Bogor. Tuan rumahnya tokoh spiritual dan pelestari budaya Sunda yang bergabung dalam sejumlah pedepokan dan paguyuban kebudayaan Bogor.
Empat orang dari mereka yang memimpin tarawangsa (ritual doa) ialah Ki Gola, Ki Sumantri, Ki Gingin, dan Ki Engkos.
Ki Sumantri (Bambang Sumantri) mengatakan, ruwat gunung di Telaga Warna di Gunung Pangrango itu merupakan rangkaian terakhir kegiatan sejak Juni 2017. Enam ruwatan gunung sebelumnya dilakukan di Gunung Sodong di Leuwiliang, Gubung Eusing dan Munara di Rumpin, Gunung Pancar di Babakan Madang, Gunung Salak di Tenjolaya, dan Leuweung Larangan di Caringin.
Doa bersama
Setengah jam sebelum upacara, belasan peserta inti, dengan perlengkapan upacara di tangan, berdoa bersama. Itu setelah sebagian besar peserta datang mengenakan busana adat daerahnya masing-masing, atau setidaknya berkain atau selendang/songket khas.
Doa berlangsung di serambi belakang Naya Resto. Kabut tebal yang menerobos ruang dalam restoran dua lantai itu sirna. Pemandangan kebun teh dan danau pun terlihat jelas.
Kabut kembali turun ketika upacara dimulai Ki Sumantri. Indonesia, ujarnya dalam pengantarnya, sejak dulu kaya budaya lokal yang dipertahankan dan dipraktikkan sehingga alam lestari dan menyejahterakan. Berikutnya, peserta dipandu membaca Pancasila dan menyanyikan lagu ”Indonesia Raya”.
Acara juga dibuka oleh Gola Kinara Bargawa alias Ki Gola, yang meminta peserta berdoa menurut agama dan keyakinan masing-masing.
Menekung (berdoa) pun dimulai dan Ki Gola bergantian dengan Ki Gingin, Ki Sumantri, dan Ki Engkos berdoa dalam bahasa Sunda khas Wiwitan dan Buhun. Sekali-sekali peserta menyelingi berdoa dalam bahasa daerahnya, yang berkesinambungan karena ada jembatan saling mengingatkan melalui ”Eling mangka eling... Ahung....”
Menekung selesai, ada pemercikan air di atas kepala dan alat upacara karena ada peserta yang beragama Hindu, yang menutup doanya dengan pemangku adat memercikkan air.
Acara dilanjutkan dengan tarawangsa, ritual menari. Dengan selendang di bahu atau diikat di pinggang, mereka menari diiringi alat musik yang sama. Gerak tarinya tak banyak macam, tetapi ditarikan sepenuh hati.
Upacara usai, para peserta mengambil berbagai makanan dan minuman untuk disantap bersama. Saat itu pukul 00.00. Para peserta juga membawa pulang bibit tanaman dan pohon.
Awal mula
Seusai upacara, Ki Gola menjelaskan, adat ruwat gunung itu ada sejak dulu kala di sejumlah daerah, dengan tata cara adat lokal. Hilang atau tak dikenal lagi, terkikis kebudayaan asing.
Keliru paham soal budaya-budaya lokal, katanya, membuat alam turut rusak. Manusia merasa makhluk paling sempurna, boleh semaunya pada alam.
”Karena itu, kami mencoba menghidupkan kembali budaya lokal, nilai-nilai kearifan lokal. Ruwat gunung ini untuk menjaga nilai bahwa gunung, alam semesta ini, diciptakan mulia oleh Tuhan Yang Maha Agung. Alam semesta memberi kehidupan atau keperluan hidup manusia,” kata Ki Gola.
Sekretaris Jenderal Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Nahdlatul Ulama Abdullah Wong mengatakan, upacara adat ini diharapkan mengilhami masyarakat untuk melakukan hal sama, sesuai tradisi dan nilai yang diyakininya. Demi mengingatkan pentingnya alam dan rasa syukur.
”Upacara adat tadi memakai bunga-bunga, dupa, itu simbol. Manusia memang perlu simbol. Benda-benda itu bukan untuk mendatangkan makhluk-makhluk apa gitu, tetapi untuk menyimbolkan manusia harus berperilaku baik atau harum dan menyebarkan kebaikan ke alam semesta,” tuturnya.
Berbagai makanan dan minuman dalam upacara adalah simbol terima kasih kepada alam semesta dan Penciptanya karena memberi kehidupan.
”Tarian itu pun lambang kegembiraan karena diberi kehidupan, sedangkan pohon untuk ditanam. Tebar dan tanamlah keharuman dan kebaikan untuk alam semesta, tanda syukur pada alam dan Penciptanya,” kata Abdullah.