Terancam Banjir, Tanah Longsor, dan Penyakit
GENEVA, SENIN — Setidaknya 100.000 pengungsi Rohingya berkumpul di kamp-kamp berlumpur yang kumuh di Bangladesh. Mereka juga berada dalam bahaya besar akibat terancam banjir, tanah longsor, dan penyakit.
Menurut laporan misi kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Senin (29/1), tanah longsor sangat mungkin terjadi karena musim hujan sudah semakin dekat di negara itu.
Lebih dari 900.000 warga Rohingya telah memadati kamp-kamp darurat di daerah penampungan Cox’s Bazar, Bangladesh, setelah 688.000 warga dari etnis tersebut datang lagi pada akhir Agustus 2017.
Gelombang pengungsian baru pada akhir Agustus tahun lalu terjadi setelah aparat militer Myanmar menggelar operasi besar untuk memburu para militan Rohingya.
Namun, operasi militer tersebut oleh PBB disebut sebagai ”pembersihan etnis” setelah mengetahui banyaknya pengaduan dan laporan dari lapangan tentang kekerasan terhadap etnis Rohingya.
Peta bencana tanah longsor dan banjir menunjukkan setidaknya 100.000 orang berada dalam bahaya besar dan mereka perlu direlokasi ke daerah baru.
Para aktivis atau pegiat kemanusiaan yang melayani pengungsi Rohingya di kamp-kamp darurat di Cox’s Bazar mengatakan, kamp penampungan sungguh tidak memadai untuk melindungi pengungsi.
”Peta bencana tanah longsor dan banjir menunjukkan setidaknya 100.000 orang berada dalam bahaya besar dan mereka perlu direlokasi ke daerah baru,” demikian laporan PBB.
Kurangnya ruang baru tetap menjadi masalah utama untuk relokasi pengungsi karena tempat yang disiapkan sejak awal sudah sangat padat untuk penampungan.
Kondisi kehidupan pengungsi pun sangat sulit karena juga tidak ada ruang baru untuk perluasan layanan kesehatan dan penyediaan fasilitas pendukung lainnya.
Penyakit
Selain itu, tingkat kepadatan warga memicu masalah lain, yakni munculnya berbagai penyakit, seperti wabah difteri yang saat ini melanda pusat permukiman sementara para pengungsi itu.
Meskipun vaksinasi sudah dilakukan untuk menghambat ancaman kolera, sebanyak 4.865 orang terkena wabah tersebut dan kemungkinan terancam difteri. Sebanyak 35 orang telah meninggal.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memvaksinasi lebih dari 500.000 warga Rohingya untuk mencegah difteri. Petugas kesehatan memvaksinasi 350.000 anak lagi pada Sabtu (27/1).
WHO juga memiliki 2.500 dosis antitoksin untuk mencegah dampak berbahaya dari difteri.
Masalah kesehatan yang baru pun muncul, yakni penyakit gondong atau pembengkakan pada kelenjar parotis akibat infeksi virus.
Masalah kesehatan yang baru pun muncul, yakni penyakit gondong atau pembengkakan pada kelenjar parotis akibat infeksi virus.
Kelenjar parotis berfungsi memproduksi air liur dan terletak tepat di bawah telinga. Saat terjadi gondongan, bagian sisi wajah penderita akan terlihat membesar.
Penyakit gondongan merupakan penyakit menular yang umumnya diderita anak-anak. Penyakit ini disebabkan virus dari keluarga paramyxovirus.
Menurut WHO, terjadi peningkatan kasus gondongan dalam beberapa minggu ini.
Pengungsi Rohingya dan warga lokal tidak pernah divaksinasi untuk menangkal penyakit tersebut. Meski jarang membawa kematian, penyakit tersebut dapat menyebabkan komplikasi, seperti meningitis.
Mayoritas pengungsi Rohingya, hampir 585.000 orang, memadati area yang disebut Kutupalong-Balukhali.
PBB menegaskan, daerah yang kini menjadi lokasi penampungan pengungsi Rohingya tidak layak untuk penampungan karena tingginya ancaman bencana banjir dan tanah longsor.
Banjir dan tanah longsor pada musim hujan mendatang akan membuat situasi yang buruk jauh lebih buruk.
”Banjir dan tanah longsor yang mungkin terjadi pada musim hujan mendatang akan membuat situasi yang buruk jauh lebih buruk.”
Semua jalan ke kamp pengungsi tidak dapat diakses sekalipun dengan truk. Program Pangan Dunia PBB (WFP) mempertimbangkan untuk menggunakan tenaga manusia guna mengangkut makanan.
Pemerintah Bangladesh menyediakan 2.000 hektar lahan baru untuk penampungan pengungsi Rohingya di daerah Ukhia.
”Mitra kemanusiaan sekarang membangun infrastruktur yang diperlukan dalam kondisi yang menantang, dengan ruang yang sangat terbatas,” demikian laporan PBB. (AFP/REUTERS)