JAKARTA, KOMPAS – Desakan agar Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat mundur semakin kuat. Publik menilai Ketua MK telah menodai wibawa MK, dan sebaiknya mundur agar tidak makin merusak kredibilitas MK yang lebih dulu tercoreng karena kasus korupsi yang menimpa mantan Ketua MK Akil Mochtar dan hakim konstitusi Patrialis Akbar.
Pada 16 Januari 2018, Dewan Etik mengumumkan dijatuhkannya sanksi ringan untuk Arief Hidayat. Sanksi ringan berupa teguran lisan itu dijatuhkan kepada Arief karena menghadiri pertemuan dengan pimpinan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tanpa undangan resmi di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta, 23 Oktober 2017. Arief memenuhi undangan itu setelah ditelepon Ketua Komisi III DPR ketika itu Bambang Soesatyo.
Setelah pertemuan di Hotel Ayana Midplaza tersebut, Arief kembali menghadiri undangan di Komisi III DPR terkait pencalonan dirinya kembali sebagai hakim konstitusi, November 2017. Elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan MK lalu melaporkan dugaan adanya lobi politik di dalam pertemuan itu kepada Dewan Etik MK. Arief diduga melakukan lobi politik untuk memuluskan dirinya kembali terpilih sebagai hakim konstitusi dari DPR.
Sanksi yang dijatuhkan Dewan Etik MK kepada Arief, Januari lalu, itu merupakan sanksi kedua yang diberikan kepadanya. Pada tahun 2016, Arief juga diberi sanksi teguran lisan karena mengirimkan memo atau surat katabelece kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) saat itu, Widyo Pramono, terkait dengan seorang jaksa muda asal Trenggalek, Jawa Timur, Zainur Rohman.
Peneliti ICW Emerson Yuntho, Selasa (30/1) di Jakarta, mengatakan, dua kali sanksi etik yang dijatuhkan Dewan Etik kepada Arief seharusnya cukup untuk membuat Ketua MK itu mundur dari jabatannya. Pilihan mundur sebagai Ketua MK adalah pilihan bijaksana demi menjaga kepercayaan publik terhadap institusi pengadil norma undang-undang tersebut.
”Jika Arief masih mempertahankan diri sebagai hakim dan Ketua MK, hal ini justru sungguh memalukan dan membuat malu MK. Selain itu, ngototnya Arief tetap bertahan sebagai hakim MK hanya akan menimbulkan persepsi negatif terhadap Arief dan juga MK secara institusi. Dua kali pelanggaran etik kepada Ketua MK adalah noda hitam pekat untuk MK yang sulit dihapuskan,” kata Emerson.
Jika Arief masih mempertahankan diri sebagai hakim dan Ketua MK, hal ini justru sungguh memalukan dan membuat malu MK.
Dari catatan Koalisi Selamatan MK, Arief sebenarnya telah tiga kali dilaporkan melanggar kode etik hakim konstitusi. Pertama, terkait dengan adanya memo atau surat katabelece. Kedua, soal belum diserahkannya laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketiga, soal dugaan adanya lobi-lobi politik di DPR.
Langgar prinsip universal
Desakan agar Arief mundur juga muncul dari tokoh-tokoh lain yang kemudian viral di sejumlah media sosial. Desakan mundur juga diungkapkan mantan Ketua Komisi Yudisial (KY), Suparman Marzuki, yang juga telah menulis artikel di harian Kompas, 25 Januari lalu. Menurut Suparman, Arief melanggar tiga ketentuan sekaligus, yakni konstitusi, UU MK, dan prinsip kode etik hakim universal yang terangkum di dalam The Bangalore Principles.
Arief dinilai tidak memenuhi ketentuan di dalam Pasal 24 C Ayat 5 UUD 1945 mengenai keharusan hakim konstitusi untuk memenuhi syarat integritas dan sikap yang tidak tercela. Ia juga dianggap melanggar Peraturan MK No 02/PMK/2003 tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim MK, yakni pada Pasal 2 Ayat 1 dan Ayat 2 tentang keharusan menjunjung tinggi dan mematuhi sumpah jabatan yang telah diucapkan. Sesuai dengan kode etik itu, seorang hakim wajib melaksanakan tugas dengan jujur dan adil, penuh pengabdian dan penuh rasa tanggung jawab kepada diri sendiri, masyarakat, bangsa, negara, dan Tuhan Yang Maha Esa, serta keharusan menjauhkan diri dari perbuatan tercela dan menjaga wibawa selaku negarawan, bebas dari pengaruh mana pun, arif dan bijaksana, serta tidak memihak (imparsial) dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Arief juga melanggar Pasal 3 Ayat 1 Huruf d dalam Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim MK. Pasal itu mengharuskan hakim konstitusi menjaga jarak untuk tidak berhubungan langsung ataupun tidak langsung, baik dengan pihak yang berperkara maupun dengan pihak lain dan tidak mengadakan kolusi dengan siapa pun yang berkaitan atau dapat diduga berkaitan dengan perkara yang akan atau sedang ditangani sehingga dapat memengaruhi obyektivitas atau citra mengenai obyektivitas putusan yang akan dijatuhkan.
”Ketiga, Arief juga melanggar The Bangalore Principles yang telah diadopsi Peraturan MK No 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Prinsip yang dilanggar antara lain adalah prinsip independensi. Kehadiran Arief Hidayat dalam pertemuan dengan DPR Komisi III menjelang pemilihan dirinya sebagai hakim MK periode berikutnya membuat dirinya patut diduga atau setidak-tidaknya tidak bisa dipercaya independen dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang menghadapkan DPR sebagai pihak dalam pengujian UU, sekaligus rentan untuk diintervensi kekuasaan legislatif (DPR),” kata Suparman.
Menurut Suparman, Arief melanggar prinsip-prinsip utama lainnya dalam The Bangalore Principles, yaitu prinsip ketidakberpihakan, prinsip integritas, serta prinsip kepantasan dan kesopanan.
Peneliti politik LIPI, Syamsuddin Haris, mengatakan, seorang hakim, apalagi ketua MK, sudah jelas harus mundur ketika melanggar etik. Arief pun dinilai tidak perlu menunggu sidang, bahkan teguran Dewan Etik, baru mundur. Senada dengan tokoh lainnya, ia berpendapat membiarkan Arief bertahan dengan jabatan hanya akan membiarkan keruntuhan MK itu sendiri.
Mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan, dijatuhkannya sanksi kepada Arief menandai tragedi dalam penegakan hukum di Tanah Air. ”Pak Arief, dengar dan perhitungkan desakan moral kekuatan masyarakat sipil agar Anda segera mundur sebagai hakim MK. Hak moral konstitusional Anda ataupun kroni-kroni Anda sudah hilang. Tiga kali tragedi moral di MK ini seharusnya sebagai pelajaran terakhir bagi Presiden, DPR, dan MA untuk pemilihan hakim MK ke depan,” ungkapnya.