Peristiwa penonton ”dikibuli” atau ditinggal lari bandar pertunjukan menjadi bagian dari dinamika hiburan masyarakat pada era 1960-an. Seperti terjadi di Bandung pada 21 Januari 1967. Band dan penyanyi kondang yang dijanjikan penyelenggara di Gelora Saparua ternyata tidak muncul. Panitia menjanjikan akan menghadirkan Koes Bersaudara, Titiek Puspa, dan Fenty Effendy.
Mereka adalah nama terkenal di zamannya. Koes Bersaudara pada paruh kedua era 1960-an sudah tidak berorientasi pada Everly Brothers. Mereka juga memainkan lagu ala Beatles dan Rolling Stones. Band dari keluarga Koeswoyo berawak Tony, Nomo, Yon, dan Yok ini pada 29 Juni 1965 ditahan atas tuduhan memainkan musik ngak-ngik-ngok. Mereka dibebaskan pada 27 September 1965.
Titiek Puspa pada seputar pertengahan 1960-an terkenal dengan lagu, antara lain, ”Minah Gadis Dusun”, ”Pantang Mundur”, dan ”Si Hitam”. Seperti menjadi perilaku dagang, lagu kondang lalu dijadikan film. ”Minah Gadis Dusun” pun beralih ke layar lebar pada tahun 1966. Disutradarai S Waldy, film ini menampilkan bintang top, seperti Rachmat Kartolo, Tuty S, Dicky Zulkarnaen, Sandy Suwardi Hassan, Marlia Hardi, dan Titiek Puspa sendiri yang kala itu berusia 29 tahun. Sementara Fenty Effendy pada pertengahan 1960-an tergolong sebagai penyanyi praremaja.
Tahun 1967 bisa dikatakan sebagai masa transisi menuju ”kebebasan” di pentas hiburan Indonesia. Orde Baru memperbolehkan lagu Barat dipanggungkan. Radio siaran swasta yang mulai bermunculan di banyak kota boleh memutar lagu apa saja.
Sebelumnya, pada 1965, musik jenis Beatles dan Rolling Stones dilarang diperdengarkan untuk publik. Personel band Koes Bersaudara ditahan atas tuduhan memainkan musik ngak-ngik-ngok. Sebaliknya, lagu daerah naik daun. Musik lenso, misalnya, diberi ruang seluas-luasnya. Jack Lesmana dengan rombongan musik lensonya dipuji Presiden Soekarno. Lilies Suryani memopulerkan lagu ”Mari Berlenso”.
Kini musik apa pun terdengar ingar bingar di negeri ini. Musik daerah terdengar sayup-sayup.... (XAR)