Kebutuhan Generasi Milenial Bergeser
JAKARTA, KOMPAS — Populasi kaum muda di perkotaan yang meningkat turut memengaruhi pergeseran kebutuhan hunian. Mereka mencari hunian di pusat kota atau yang memiliki akses transportasi umum memadai.
Rumah juga tidak sekadar hunian, tetapi menjadi aset yang sewaktu-waktu bisa disewakan atau dijual. Generasi yang lahir pada 1980-1999 ini menggemari apartemen atau rumah susun.
- English Version: Meeting the Needs of the Millennial Generation
Berdasarkan pantauan Kompas sepanjang pekan lalu hingga Senin (29/1), pilihan lain yang disasar kelompok usia produktif ini adalah hunian di pinggiran kota, tetapi memiliki kemudahan akses transportasi.
”Ada kecenderungan generasi milenial memilih apartemen yang dilengkapi dengan kemudahan akses ataupun berlokasi di tengah kota. Pilihan ini sejalan dengan gaya hidup yang praktis,” kata Anton Sitorus, Head of Research Savills Indonesia.
Menghuni apartemen juga berdampak terhadap gaya hidup. Sebab, ada perbedaan antara tinggal di apartemen atau rumah susun dan rumah tapak. Perbedaan itu, di antaranya, pengaturan kepemilikan ruang bersama dan kewajiban membayar biaya layanan bulanan yang dihitung sesuai luas unit. Bangunan apartemen juga memiliki umur kelayakan bangunan sehingga ada saatnya harus dipugar. ”Konsekuensi ini sudah disadari karena generasi ini maju dalam akses informasi,” ujar Anton.
Wakil Ketua Umum Bidang Perundang-undangan dan Regulasi Properti Dewan Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia Ignesjz Kemalawarta mengemukakan, pergeseran kultur demografi Indonesia, digitalisasi, dan tren hunian di masa mendatang perlu dicermati. Pada 2030, populasi Indonesia akan didominasi generasi muda yang akrab dengan internet serta akses informasi yang semakin luas. ”Orang yang mencari properti akan didominasi mereka yang melek digital,” ujarnya.
Hunian di masa mendatang dituntut serba praktis dan cerdas. Ketersediaan jaringan internet telah menjadi bagian utama dari infrastruktur rumah. Hal itu berbeda dengan infrastruktur perumahan di masa lalu, yang hanya mencakup air, jalan, dan listrik. Pengembang juga mesti memperhatikan akses transportasi sesuai keinginan konsumen.
”Perubahan paradigma properti harus dicermati. Pola pembangunan properti harus diubah agar tidak tergilas zaman,” ujar Ignesjz.
Terobosan
Harga lahan di perkotaan yang semakin mahal membuat perumahan baru, baik rumah tapak maupun rumah susun, dibangun di pinggiran kota. Kondisi ini, antara lain, berdampak terhadap kenaikan harga rumah di pinggiran kota.
Survei konsultan properti Savills Indonesia di kawasan Jabodetabek pada triwulan IV-2017 menunjukkan, harga jual hunian di kawasan urban, seperti Serpong, Cibubur, Sentul, dan Bekasi, naik cukup tinggi.
Di kota-kota penyangga Jakarta hampir tidak ada lagi rumah dengan harga di bawah Rp 200 juta per unit, baik rumah tapak maupun apartemen. Apartemen tipe studio seluas 20-25 meter persegi dijual minimal Rp 250 juta per unit. Adapun di Jakarta, harga apartemen dengan tipe sama Rp 400 juta.
Laju kenaikan harga rumah di perkotaan yang tidak diimbangi dengan daya beli memicu krisis pemenuhan kebutuhan rumah. Pada 2015, kekurangan rumah di Jakarta mencapai 1,3 juta unit. Akibatnya, rumah sewa atau kontrakan menjadi andalan hunian bagi sebagian kaum urban.
Indonesia Property Watch merilis, sebanyak 53,87 persen penduduk Jakarta tidak menempati rumah milik sendiri. Mereka ada yang tinggal di rumah kontrakan dan rumah milik orangtua ataupun saudara.
Di Surabaya, pengembang menawarkan hunian terintegrasi sarana publik yang mengakomodasi permintaan pasar dari generasi milenial.
General Manager Citraland Surabaya Andy Sugiharjo mengatakan, saat ini generasi milenial di Surabaya menyasar apartemen. Sebab, harganya lebih murah daripada rumah tapak. Satu unit apartemen tipe studio Rp 300 juta-Rp 500 juta per unit, sedangkan rumah tapak paling murah Rp 700 juta per unit.
”Generasi milenial karakternya suka jalan-jalan dan berbelanja sehingga kami harus menyediakan fasilitas itu di kawasan yang sama,” kata Andy.
Kelas ”tanggung”
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengemukakan, bonus demografi memunculkan masyarakat ”kelas tanggung” di perkotaan. Masyarakat ”tanggung” ini berpenghasilan sedikit di atas kategori masyarakat berpenghasilan rendah sehingga tidak mendapatkan subsidi rumah. Namun, kelas masyarakat ini kesulitan membeli rumah nonsubsidi yang harganya jauh di atas rumah bersubsidi.
Di Singapura, sistem penyediaan rumah bagi masyarakat menengah bawah dilakukan pemerintah dengan pola validasi sasaran masyarakat yang berhak. Harga rusun yang disediakan pemerintah terjangkau masyarakat berpenghasilan tertentu. Jika penghasilan keluarga meningkat, ada kewajiban menjual kembali rusun itu kepada pemerintah dan pindah ke hunian yang sesuai penghasilan mereka.
Secara terpisah, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan, pemerintah menyadari persoalan keterbatasan kemampuan orang muda untuk bisa mendapatkan rumah. Generasi milenial terpaksa membeli rumah di pinggiran kota atau malah kota lain.
”Pemerintah menyadari hal ini. Kami akan mengembangkan beberapa skema pembiayaan, misalnya pembiayaan yang berbasis tabungan,” kata Basuki.
(LKT/NAD/ETA/SYA)