JAKARTA, KOMPAS — Untuk menangani kejadian luar biasa campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat, Papua, dibutuhkan solusi yang terpadu dan menyeluruh. Masalah kesehatan yang terjadi di Asmat selama ini juga berkaitan dengan berbagai persoalan lain, misalnya kondisi lingkungan, ketersediaan bahan pangan, keterbatasan infrastruktur, dan tata kelola pemerintahan.
”Kata kunci untuk penyelesaian masalah di Asmat adalah terpadu dan menyeluruh,” kata Menteri Sosial Idrus Marham dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 bertema ”Memajukan Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat Papua”, Senin (29/1), di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta.
Menurut dia, ada sejumlah faktor yang memengaruhi kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk di Asmat. Selain masalah kesehatan, seperti rendahnya cakupan imunisasi dan kurangnya layanan kesehatan, ada faktor-faktor lain, semisal kurangnya ketersediaan bahan pangan yang bergizi, kondisi lingkungan yang tidak sehat, dan infrastruktur yang tak memadai.
Idrus mengatakan, sejak persoalan kesehatan tersebut mengemuka di Asmat, pemerintah mulai September 2017 hingga 25 Januari 2018 mengirim tim kesehatan terpadu dan memeriksa kesehatan 12.398 anak di Asmat. Hasilnya ditemukan 646 anak yang menderita campak, 144 anak gizi buruk, 4 anak menderita campak dan gizi buruk, serta 25 anak terduga campak.
Pada 16 Januari 2018, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah mengirimkan 39 tenaga kesehatan yang terdiri dari 11 dokter spesialis, 4 dokter umum, 3 perawat, 2 penata anestesi, dan 19 tenaga kesehatan lain, misalnya ahli gizi dan kesehatan lingkungan. Selama tiga bulan ke depan, Kemenkes akan terus mengirimkan tenaga kesehatan secara bertahap. Selain itu, juga sudah ada 1,2 ton obat yang telah didistribusikan untuk penanganan KLB campak dan gizi buruk.
Kementerian Sosial (Kemensos) juga telah memberikan bantuan senilai Rp 3,99 miliar untuk penanganan persoalan kesehatan di Asmat. Bantuan itu berupa bantuan sembako dan logistik senilai Rp 804 juta, Program Pemberdayaan Komunitas Masyarakat Adat Terpencil senilai Rp 3,1 miliar, serta Program Keluarga Harapan senilai Rp 87,5 juta.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek menambahkan, persoalan KLB campak dan gizi buruk di Asmat tidak bisa diselesaikan hanya melalui pendekatan kesehatan. Sebab, persoalan kesehatan yang muncul itu terkait dengan kondisi lingkungan dan tata ruang di wilayah tersebut. ”Permukiman di sana itu, kan, berada di atas rawa. Jadi, kalau air pasang, segala macam kotoran itu sangat mudah masuk ke rumah,” ujarnya.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes M Subuh menyatakan, ada 17 kabupaten/kota di Papua yang rawan mengalami KLB sejumlah penyakit karena rendahnya cakupan imunisasi dasar di kabupaten/kota tersebut. Selain Asmat, wilayah lain yang rawan terkena KLB antara lain Yahukimo, Pegunungan Bintang, Lani Jaya, Nduga Tolikara, Puncak, Puncak Jaya, Mamberamo Tengah, Mamberamo Raya, Waropen, dan Supiori.
”Kabupaten/kota itu rawan mengalami KLB sejumlah penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dengan imunisasi. Hal ini karena cakupan imunisasi dasar di sana kurang dari 50 persen,” kata Subuh.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sabrar Fadhilah mengatakan, TNI telah mengirimkan tim kesehatan untuk ikut menangani KLB campak dan gizi buruk di Asmat. Jumlah anggota tim tersebut sekitar 260 orang dan akan bekerja di Asmat dalam jangka waktu sekitar 1 tahun. ”Kami siap bekerja sama dengan kementerian dan instansi lain yang terkait,” katanya.
Di Agats, kondisi lingkungan tergolong buruk. Dinding rumah warga banyak yang bolong. Kondisi itu membuat nyamuk mudah masuk ke dalam rumah. Hal itu membuat warga rentan terkena gigitan nyamuk malaria. Apalagi, banyak warga yang tidak menggunakan kelambu.
Kondisi jamban juga tidak sehat. Saat buang air, kotoran langsung jatuh ke tanah. Saat air pasang, kotoran terbawa air dan menyebar ke segala arah, termasuk ke kali yang sering dijadikan tempat bermain anak-anak. Bahkan, ada anak yang buang air di kali.
Bupati Asmat Elisa Kambu mengatakan, program pencegahan akan lebih diintensifkan. Puskesmas hendaknya lebih optimal lagi dalam menjalankan fungsi pencegahannya. ”Contohnya, bagaimana mengajarkan masyarakat pola hidup sehat dan mengajari anak-anak cuci tangan,” ujarnya.
Selama ini, pendampingan kepada masyarakat untuk mencegah berbagai penyakit sudah dilakukan. Namun, hambatannya, saat petugas datang ke rumah-rumah, masyarakat sedang tidak ada di tempat. Dengan kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk ini, masyarakat diharapkan dapat memahami perlunya hidup sehat.
Selain itu, program jangka panjang, khususnya untuk mengatasi masalah gizi buruk, juga akan dilakukan dengan strategi ketahanan pangan. Pemerintah pusat dan daerah akan melakukan intervensi agar masyarakat bisa membangun ketahanan pangan. ”Kami sedang memetakan potensi lokasi yang tepat untuk bercocok tanam dan untuk pengembangan perikanan,” kata Elisa.
Masyarakat Asmat merupakan masyarakat peramu sehingga tidak bisa dengan cepat mengubah menjadi masyarakat pertanian karena memerlukan transisi. Pemerintah memerlukan proses untuk mewujudkan perubahan di masyarakat.
George Corputty, Implementing Manager Landasan Phase II dari lembaga KOMPAK-Bakti, mengatakan, puskesmas semestinya menjadi ujung tombak dalam menjaga kesehatan dan lingkungan masyarakat. ”Pendampingan kesehatan juga bisa dimasukkan dalam muatan lokal di SD,” ujarnya.
Dalam kegiatan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, pendampingan memegang peranan penting. ”Pendamping harus datang dan tinggal serta berbuat di tengah masyarakat. Tidak bisa hanya datang beberapa saat,” ujar George.