Pelaksanaan otonomi khusus perlu dievaluasi. Pemerintah daerah perlu didampingi agar dana itu tepat sasaran. Kerja bersama yang berkelanjutan juga penting agar bencana itu tak terulang.
JAKARTA, KOMPAS — Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Diah Indrajati menyatakan, munculnya krisis kesehatan di Asmat menunjukkan perlunya evaluasi terhadap pelaksanaan otonomi khusus di Papua. Salah satu aspek yang perlu dievaluasi adalah penggunaan dana otsus Papua yang digelontorkan pemerintah pusat dengan jumlah cukup besar sejak tahun 2002.
Diah ditemui dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 bertema ”Memajukan Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat Papua” di Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Senin (29/1).
Menurut Diah, tahun 2017, berdasarkan data Kemendagri, alokasi dana otonomi khusus (otsus) Papua mencapai Rp 5,5 triliun. Dana itu masih ditambah dengan dana tambahan infrastruktur yang tahun lalu mencapai Rp 2,4 triliun. ”Dana otsus itu sudah diperintahkan oleh undang-undang bahwa penggunaannya harus diprioritaskan untuk bidang pendidikan dan kesehatan. Dana otsus dan dana tambahan infrastruktur dari tahun ke tahun kian meningkat,” ujarnya.
Diah menambahkan, Kemendagri telah membentuk tim internal untuk mengevaluasi pelaksanaan otsus di Papua. ”Kelihatannya memang harus ada pendampingan dan pendekatan khusus supaya dana otsus bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kebutuhan masyarakat Papua,” katanya.
Deputi II Kantor Staf Presiden Yanuar Nugroho mengatakan, kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk di Asmat bisa jadi hanya puncak gunung es dari persoalan kesehatan di Papua. Yanuar menilai, persoalan yang muncul di Asmat saat ini juga berkait dengan persoalan tata kelola pemerintahan di level pemerintah daerah (pemda). ”Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu mendampingi pemda guna meningkatkan kapasitas pemda,” ucapnya.
Penanganan krisis kesehatan di Kabupaten Asmat tidak bisa hanya berhenti pada pengobatan, tetapi perlu upaya jangka panjang untuk mengubah pola hidup dan kebersihan lingkungan. Belum diterapkannya pola hidup sehat serta lingkungan yang kotor berpotensi memicu berbagai penyakit.
Kondisi itu, di antaranya, bisa ditemui di Agats, ibu kota Kabupaten Asmat. Dari pantauan Kompas, Senin, ada lokasi permukiman kumuh di sekitar Pasar Dolok. Di sana, anak-anak mandi dan bermain di sungai yang kotor. Sebagian tubuh mereka terkena gatal-gatal. Area bermain di kampung selama ini terbatas. Sebab, daratan kampung itu didominasi lumpur.
Tampak juga anak-anak makan nasi bungkus di pinggir jalan tepat di samping tong sampah. Nasi bungkus itu langsung diletakkan di papan di pinggir jalan tanpa alas piring.
Di salah satu sudut Agats, anak-anak bermain di tempat sampah. Mereka mencari sampah yang bisa dijadikan mainan. Ada juga anak yang berbaring di jalan tanpa memakai baju. Adapun para ibu memandikan anak di ruang tamu.
Pola hidup yang tidak sehat juga terlihat pada orangtua pasien di Rumah Sakit Umum Daerah Agats. Orangtua pasien merokok sambil menggendong anaknya di teras rumah sakit. Anak-anak bebas mengonsumi mi instan yang diberikan orangtuanya.
Tak hanya pola hidup, lingkungan masyarakat pun kumuh. Sampah berserakan di sekitar permukiman. Bahkan ada warga yang membuang sampah di halaman rumah.
Ditangani menyeluruh
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengatakan, persoalan KLB campak dan gizi buruk di Asmat tidak bisa diselesaikan hanya melalui pendekatan kesehatan. Sebab, persoalan kesehatan yang muncul itu terkait dengan kondisi lingkungan dan tata ruang di wilayah tersebut.
Menteri Sosial Idrus Marham mengatakan, untuk menangani kejadian luar biasa campak dan gizi buruk di Papua dibutuhkan solusi terpadu dan menyeluruh yang meliputi masalah kesehatan dan lingkungan, ketersediaan bahan pangan, infrastruktur, dan tata kelola pemerintahan.
Uskup Keuskupan Asmat Mgr Aloysius Murwito saat berkunjung ke Redaksi Kompas, Senin, mengatakan, bencana kemanusiaan di Papua perlu ditangani dalam jangka panjang. Ketika masa tanggap darurat usai, pemerintah tetap harus memperhatikan kondisi mereka.
Hal yang tak bisa diselesaikan dalam jangka menengah dan panjang adalah menanamkan cara hidup sehat. Setelah itu, diperlukan pembangunan infrastruktur dan jaringan komunikasi. ”Di sana, ketersediaan air bersih minim. Air sumur berwarna abu-abu. Jaringan telepon pun susah,” katanya.
Mgr Aloysius didampingi para pengurus Yayasan Widya Cahaya Nusantara, sebuah yayasan yang membantu warga Papua. Rombongan diterima Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo. (HRS/ESA/NIT)