Generasi Milenial Butuh Bantuan Pemerintah
JAKARTA, KOMPAS — Laju harga rumah yang semakin mahal membuat generasi milenial sulit memiliki hunian. Untuk mendapat hunian yang mendukung produktivitas, peran pemerintah dibutuhkan untuk menyiapkan hunian vertikal bersubsidi.
Data Kementerian Koordinator Perekonomian menyebutkan, harga rumah di Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang naik 20 persen setiap tahun. Kenaikan itu tidak sebanding dengan rata-rata kenaikan upah pekerja sebesar 10 persen setiap tahun.
Milenial yang mencapai 80 juta orang dalam data Badan Pusat Statistik pun terancam tidak memiliki hunian.
Untuk menyelesaikan itu, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan, pemerintah harus memfasilitasi rumah susun sederhana milik (rusunami) dan rumah susun sederhana wewa (rusunawa) bersubsidi.
”Kebutuhan rumah akan tinggi. Pilihannya yang memungkinkan hanya subsidi rusunami dan rusunawa dari pemerintah. Karena itu kewajiban pemerintah,” ucap Ali, Selasa (30/1), saat ditemui di Kantor IPW, Pasar Baru, Jakarta Pusat.
Ali mengatakan, Pemerintah Indonesia bisa meniru sistem penyediaan apartemen di Singapura. Pembagian apartemen ditujukan untuk berbagai kelas, dari kelas pekerja yang hanya bisa menyewa dan kelas menengah yang mampu membeli.
Setelah daya beli penerima subsidi meningkat, Pemerintah Singapura akan mencabutnya. ”Kalau untuk yang beli, ya, harus dijual lagi. Jadi subsidinya nanti tepat sasaran,” ucap Ali.
Menurut Ali, hunian bersubsidi perlu dipercepat karena sedang terjadi kekosongan. Saat ini, pasar apartemen dikuasai pihak swasta.
Hunian bersubsidi perlu dipercepat karena sedang terjadi kekosongan. Saat ini, pasar apartemen dikuasai pihak swasta.
Data IPW menyebutkan, harga termurah di Jakarta untuk apartemen sekitar Rp 17 juta per meter. Dengan asumsi itu, apartemen swasta berkisar Rp 400 juta.
Bila tidak segera dimulai, kebutuhan akan semakin banyak dan tidak terkendali. Apalagi, menurut Bank Dunia, wilayah perkotaan yang pada 2014 berjumlah 52 persen penduduk akan meningkat menjadi 68 persen pada 2025.
Milenial jangan takut
Secara terpisah, Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengatakan sudah menyiapkan skema rusunawa dan rusunami untuk semua wilayah di Indonesia.
”Milenial tidak perlu takut tidak punya rumah,” kata Khalawi Abdul Hamid, Selasa (30/1), pada acara Final Donation and Closing Ceremony 100 Thousand Solar Lanterns Project Panasonic, di Jakarta.
Sasaran rusunawa itu dikhususkan bagi masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 7 juta. Penyewaan rusunawa dikenai biaya Rp 500.000 per bulan.
Khalawi mengklaim, rusunawa itu hanyalah nama. Namun, kualitasnya sama seperti apartemen.
Di dalam rusun tipe 36 itu sudah tersedia mebel dan kamar mandi. ”Karena, kan, di peraturan presiden namanya rusunawa. Kalau saya menyebut itu apartemen sewa karena kualitasnya sama seperti punya swasta,” katanya.
Untuk saat ini, milenial yang belum mampu membeli rumah bisa tinggal di rusunawa atau rusunami.
Sementara itu, rusunami dikhususkan untuk masyarakat berpenghasilan di atas Rp 7 juta. Rusunami dihargai Rp 350 juta.
Khawali mengatakan, untuk saat ini milenial yang belum mampu membeli rumah bisa tinggal di rusunawa atau rusunami.
”Milenial, kan, fleksibel. Nanti kalau sudah cukup penghasilan baru beli rumah,” ucapnya.
Menurut Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, pemerintah akan menyiapkan beberapa skema pembayaran untuk membantu milenial.
Salah satunya adalah dengan pembayaran uang muka 1 persen dan bunga 5 persen. ”Uang muka dan bunganya sangat kecil. Selain cicilan, kami juga sedang menyiapkan skema pembayaran melalui tabungan, tetapi masih dikembangkan,” ucapnya.
Pada 2018 menurut rencana akan dibangun 365 menara (tower) rusunawa dan rusunami yang akan dibuat di seluruh Indonesia. Program rusunami akan turut menggandeng pihak swasta.
Meski skema sudah terbentuk, harus ada sistem kelembagaan yang mengawasi agar target yang dituju tepat.
”Jangan sampai dikuasai investor. Pastikan kalau milenial membeli kepada pemerintah, bukan kepada investor,” ucap pengamat perumahan Institut Teknologi Bandung (ITB), Mohammad Jehansyah Siregar.
Jangan sampai dikuasai investor. Pastikan kalau milenial membeli kepada pemerintah, bukan kepada investor.
Menurut Jehansyah, akan banyak yang mengambil kesempatan kalau skemanya hak milik.
Hal itu pernah terjadi pada apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan. Awalnya ditujukan untuk subsidi. Akan tetapi, banyaknya investor yang membeli malah membuat apartemen itu naik harga.
Untuk mengatasi masuknya investor, kata Ali, pemerintah harus menetapkan harga jual apartemen.
Seperti di Singapura, ketika penghuni sudah masuk kategori mampu, apartemen akan dijual ke pemerintah. Harga jualnya sama dengan saat membeli.
Produktivitas milenial
Data IPW menyebutkan, rumah termurah di Jakarta berkisar Rp 500 juta. Untuk mendapatkannya, perlu gaji sekitar Rp 15 juta per bulan.
Menurut konsultan properti, Savills Indonesia, 94 persen milenial digaji di bawah Rp 12 juta atau hanya 6 persen di atas Rp 12 juta.
Untuk itu, kemungkinan milenial untuk membeli rumah hanya di pinggiran Jakarta. Namun, bila melakukan itu, ahli properti, Panangian Simanungkalit, menilai, milenial tidak akan produktif.
Menurut Panangian, jarak yang terlalu jauh dari tempat kerja membuat milenial menghabiskan banyak waktu di jalan.
”Kalau di jalan, dari pinggiran bisa 2-3 jam. Sementara kerja hanya delapan jam. Hampir 30 persen dihabiskan di jalan, kan, jadi tidak produktif. Masa sepertiga umur habis hanya untuk perjalanan ke kantor,” katanya.
Selain waktu, kata Panangian, uang milenial juga akan habis untuk biaya transportasi. Untuk itu, hunian vertikal adalah jawaban bagi milenial.
”Tidak perlu memaksa membeli rumah di pinggiran. Rugi biaya dan tenaga selama perjalanan,” ucapnya. (DD04/DD06)