Regulasi Taksi Daring Harus Dilaksanakan
JAKARTA, KOMPAS—Para pengemudi taksi dalam jaringan (daring) atau online harus menaati regulasi yang ditetapkan kementerian perhubungan untuk menjaga keseimbangan kepentingan antara taksi daring dan konvensional.
Selain itu peraturan yang sudah ada harus segera dilaksanakan dengan upaya penindakan hukum yang tegas dari permerintah.
Sebelumnya, pada 1 November 2017, kementerian perhubungan (Kemenhub) mengeluarkan Peraturan Menteri (PM) Nomor 108 tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
Peraturan ini mengatur beberapa jenis angkutan, yaitu taksi, angkutan pariwisata, angkutan karyawan, angkutan sewa, angkutan permukiman, dan angkutan sewa khusus dengan penggunaan aplikasi berbasis teknologi informasi.
Munculnya PM Nomor 108 tahun 2017 diterbitkan untuk menindak lanjut putusan Mahkamah Agung (MA) No momor 37/P.HUM/2017, 20 Juni 2017 yang mencabut sebagian ketentuan dalam PM 26 Tahun 2017. PM 26 Tahun 2017 ini dinilai merugikan bagi para pengemudi taksi daring.
Namun, setelah ada PM Nomor 108 Tahun 2017 ini, para pengemudi taksi daring masih merasa dirugikan.
Dalam peraturan ini, mereka dituntut untuk memenuhi beberapa ketentuan, seperti harus membuat SIM A umum, melakukan peninjauan pelaksanaan uji kendaraan bermotor (KIR), pembatasan kuota pengemudi, penempelan stiker penanda di mobil, hingga penentuan tarif batas atas dan bawah.
Ribuan pengemudi taksi daring merasa peraturan membuat pengeluaran mereka menjadi bertambah karena harus uji KIR dan membuat SIM A Umum.
Pada, Senin (29/1), ribuan pengemudi taksi daring melakukan aksi protes di depan kantor kementerian perhubungan, Jakarta Pusat.
Mereka merasa peraturan ini membuat pengeluaran mereka menjadi bertambah karena harus uji KIR dan membuat SIM A Umum.
Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik (BKIP) Kemenhub Baitul Ihwan menjelaskan, setelah aksi protes ini, ada mediasi antara aliansi pengemudi taksi daring dengan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
“Dari hasil mediasi ini, Menteri Perhubungan menjelaskan bahwa PM tersebut tidak akan dicabut dan direvisi. PM ini akan mulai berjalan pada 1 Februari 2018,” tuturnya saat dihubungi dari Jakartam Selasa (30/1).
Ihwan menerangkan, sebagian besar aliansi tersebut telah sepakat untuk menjalani PM ini, meski dinilai memberatkan para pengemudi taksi daring.
Selain itu, mulai 1 Februari 2018 akan dilakukan operasi simpatik sebagai masa transisi. Namun, dalam operasi ini, belum ada penegakan hukum yang akan dilakukan selama masa transisi.
“Sistemnya seperti sosialisasi lanjutan kepada para pengemudi karena mereka kurang pemahaman terhadap PM ini. Padahal, kami sudah melakukan sosialisasi terkait PM ini ke dua belas provinsi,” jelasnya.
Ihwan menjelaskan, secara garis besar, PM ini dikeluarkan supaya tidak ada ketimpangan antara pengemudi taksi daring dan konvensional, khususnya dari segi jumlah penumpang dan tarif angkutan.
“Para pengemudi taksi daring protes terhadap PM ini. Namun, jika PM ini kami cabut, maka pengemudi taksi konvensional yang akan protes. Kami seperti di posisi serba salah,” ungkapnya.
Pengemudi taksi daring mempermasalahkan soal penindakan hukum yang hanya sepihak.
Selain itu, pengemudi taksi daring mempermasalahkan soal penindakan hukum yang hanya sepihak. Mereka mengeluhkan, para penyedia jasa aplikasi ini seakan tidak terikat terhadap peraturan menteri perhubungan.
Dirjen Aplikasi Informatika (Aptika) Kominfo Semuel A PAngerapan, menerangkan, untuk regulasi terhadap penyedia jasa aplikasi sebenarnya sudah ada peraturannya.
“Hal ini terkandung dalam penyelenggara sistem elektoronik. Kewenangan kami sebatas sistem keamanan data penumpang, ketersediaan sistem aplikasi yang handal, dan perhitungan tarif yang bisa dipertanggungjawabkan ketika diaudit,” tuturnya saat ditemui di kantor Kominfo, Jakarta Pusat.
Semuel menjelaskan, koordinasi antara kemenhub masih sebatas pembuatan dashboard untuk mendata jumlah pengemudi taksi daring ini.
“Nantinya data tersebut akan diberikan kepada para pemerintah daerah untuk pengaturan kuota taksi daring di wilayahnya,” ungkapnya.
Menurut Semuel, PM Nomor 108 tahun 2017 ini tidak menghambat iklim perkembangan penyedia jasa transportasi daring.
“Regulasi yang dibuat kemenhub ini perlu ditaati oleh ditaati dan saya rasa PM ini telah mengakomodir semua pihak,” jelasnya.
Dihubungi terpisah, Kordinator Forum Komunikasi Pengemudi Online (FKPO) Aries Rinaldy menerangkan, dirinya masih belum bisa menerima hasil dari mediasi Senin lalu.
“Aksi protes yang kami lakukan memang dimediasi oleh menteri perhubungan, namun sebenarnya kami tetap ingin PM ini dicabut,” ungkapnya saat dihubungi dari Jakarta.
Aries menuturkan, untuk uji KIR ini memakan biaya dan prosesnya rumit. Selain itu, untuk membuat SIM A umum, memakan biaya cukup besar, sekitar RP 1 juta rupiah. “Belum lagi proses pembuatan SIMnya yang lama,” jelasnya.
Arie juga menjelaskan, sebenarnya para pengemudi taksi online ini tidak ingin dianggap sebagai moda transportasi umum.
“Sebenarnya sistem kami dengan pelanggan seperti sewa menyewa, dan kami tidak ada trayeknya,” ungkap Aries.
Aries juga menyayangkan, ada beberapa poin dari PM Nomor 26 Tahun 2017 yang sudah dicabut MA dan dimasukan kembali ke PM Nomor 108 tahun 2017.
Pemerintah berencana untuk melakukan operasi simpatik selama enam bulan.
“Pemerintah berencana untuk melakukan operasi simpatik selama enam bulan, namun hal ini bukanlah harapan kami,” jelasnya.
Ketegasan pemerintah
Peneliti Institut Studi Transportasi Deddy Herlambang menjelaskan, pemerintah harus tegas terhadap peraturan yang telah dibuat.
“PM ini sudah ada, dan seharusnya pemerintah segera melakukan penindakan hukum terhadap pelanggaran yang ada nantinya,”jelasnya.
Menurut Deddy, langkah pemerintah dalam membuat PM ini sudah tepat, karena selama ini tidak ada regulasi yang mengatur pengemudi tranportasi daring.
“Jika tidak diatur jumlah permintaan dan penawarannya, hal ini kan merugikan banyak pihak, tidak hanya pengemudi transportasi konvensional, tetapi juga pengemudi transportasi daring,” jelasnya.
Deddy menambahkan, persaingan saat ini bukan hanya persaingan antara pengemudi taksi konvensional dan pengemudi taksi daring.
“Persaingannya sudah antar operator penyedia jasa. Bahkan sesama pengemudi taksi daring ini juga saling bersaing,” tuturnya.
Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna mengatakan, PM Nomor 108 tahun 2017 harus bisa diterapkan di semua daerah.
“Pengawasan PM ini harus merata dan dilakukan oleh pemerintah daerah, khususnya untuk uji KIR dan kuota. Karena biasanya yang banyak pertentangan terhadap taksi daring ini ada di daerah,” ungkapnya.
Kami berharap peraturan menteri ini bisa tegas dalam penegakan hukumnya.
Ketua DPD Organda DKI Jakarta Safruan Sinungan mengatakan, PM Nomor 108 ini merupakan peraturan yang telah ditunggu-tunggu oleh pengemudi taksi konvensional.
Menurutnya, pemerintah cukup terlambat dalam menysusun PM ini.
“Sudah lama kami menjerit karena trasnportasi daring tidak ada peraturannya. Saat ini, persaingan horizontal antara transportasi konvensional dan transportasi daring tidak terelakan. Kami berharap PM ini bisa tegas dalam penegakan hukumnya,” ungkapnya. (DD05)