Siasat Papan Generasi Milenial
Membeli rumah di pinggiran kota membawa persoalan baru, yakni masalah transportasi menuju tempat kerja. Akhirnya banyak kalangan menyewa rumah atau rusun yang dekat tempat kerja.
Harga rumah di kota-kota besar yang melambung membuat kelompok usia produktif bergeser ke pinggiran kota. Mereka mencari cara untuk bisa memiliki rumah dengan harga terjangkau. Namun, saat rumah sudah terbeli, apa daya, persoalan lain menghadang. Lokasi rumah yang jauh dari tempat kerja membuat generasi milenial harus kembali mencari siasat baru.
Bagi Putri (30), membeli rumah merupakan keberhasilan yang membuatnya puas. Perempuan yang lahir dan besar di kawasan Pasar Rebo, Jakarta Timur, itu mesti berhemat agar bisa mengumpulkan uang muka untuk membeli rumah. Baru dua tahun lalu impian membeli rumah menjadi kenyataan.
- English Version: Millennial Generation\'s Housing Strategy
Putri membeli rumah bersubsidi di dekat Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten. Dia harus mengangsur cicilan kredit rumah Rp 800.000 per bulan.
Namun, memiliki rumah bukan berarti masalah selesai karena rumah itu jauh dari lokasi kerjanya di kawasan Jakarta Pusat. Putri mesti mengendarai sepeda motor, setidaknya dua jam, dari rumah ke tempat kerjanya. Kawasan rumahnya tidak memiliki akses kendaraan umum. Pilihan lain hanya menggunakan ojek.
Merasa tak sanggup menghabiskan waktu setidaknya empat jam dalam sehari di jalanan, Putri pun memilih menyewa kamar kos di Jakarta Pusat, dekat tempat kerjanya. Pengeluaran bulanan pun jadi berlipat ganda, yakni mencicil kredit rumah dan membayar kos.
Kesulitan membeli rumah yang terjangkau dengan akses mudah ke lokasi kerja juga dialami Sari (32), karyawati swasta, di Jakarta. Sebagai perantau, ia menyewa kamar kos di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, yang bisa ditempuh sekitar 30 menit mengendarai sepeda motor dari kantornya di kawasan Jakarta Pusat.
Sari yang sudah lima tahun bekerja mengaku belum bisa membeli rumah. Alasannya, simpanannya belum mencukupi. Ia mesti membayar biaya sewa kamar Rp 1,5 juta per bulan.
Lain lagi cerita Carolina (28) yang bersama suaminya memutuskan untuk membeli rumah di kawasan Tangerang Selatan, Banten. Keputusan itu berdasarkan pertimbangan harga rumah di DKI Jakarta yang sangat tinggi sehingga tak terjangkau. Harga rumah berukuran 36 meter persegi di Jakarta sekitar Rp 1 miliar. ”Kalau pakai kredit pemilikan rumah bisa bikin stres,” kata karyawati swasta tersebut, Selasa (30/1).
Pasar
Jumlah penduduk usia produktif yang meningkat, termasuk generasi milenial, merupakan potensi besar bagi pasar perumahan. Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda, pasar produktif untuk perumahan saat ini pada kisaran usia 27-34 tahun.
”Pasar ini gemuk dan butuh hunian. Akan tetapi, rumah tak terbeli karena gaji tidak mencukupi. Kenaikan gaji tak sebanding dengan kenaikan harga properti,” ujarnya.
Menurut Ali, tren generasi milenial di Indonesia yang menggunakan uang untuk pelesir, beli ponsel model terbaru, atau penampilan maksimal bisa juga mencerminkan ”pelarian” karena mereka belum mampu mencukupi kebutuhan dasar papan. Sebagian mengandalkan tinggal bersama orangtua atau mencari kontrakan yang dekat dengan lokasi kerja di pusat kota.
Sementara itu, generasi milenial yang sudah membeli rumah bersubsidi di pinggiran kota juga menghadapi dilema. Kerap terjadi, mereka membeli rumah di pinggiran kota tanpa memperhitungkan akses transportasi. Akibatnya, waktu dan biaya habis untuk perjalanan dari rumah ke lokasi kerja.
”Karena lokasi rumah jauh dari kantor dan tidak terkoneksi (transportasi publik), biaya hidup bulanan pun menjadi semakin tinggi. Akibatnya, rumah dikosongkan dan mereka balik lagi menyewa rumah di dekat kantor,” ujarnya.
Menurut Ali, ada kekosongan pasokan bagi masyarakat segmen menengah bawah perkotaan yang memiliki tingkat penghasilan di atas ketentuan subsidi rumah. Namun, mereka tidak memiliki kemampuan untuk membeli rumah nonsubsidi.
Oleh karena itu, perlu solusi bagi masyarakat perkotaan dengan melihat tren hunian. Perlu disediakan rumah susun sederhana sewa (rusunawa), rusun sederhana milik (rusunami), atau rumah di pinggiran dengan kemudahan akses transportasi.
Bagi generasi milenial yang memiliki cukup dana, bisa memilih hunian berupa apartemen atau rusun yang terintegrasi dengan fasilitas publik.
General Manager Citraland Surabaya Andy Sugiharjo menyebutkan, generasi ini memilih apartemen dan rusun karena harga yang lebih terjangkau daripada rumah tapak.
Harga satu unit apartemen tipe studio berkisar Rp 300 juta- Rp 500 juta. Adapun rumah tapak paling murah Rp 700 juta per unit.
Bagi yang tidak memiliki cukup dana untuk membeli apartemen, rumah susun, atau rumah tapak, masih ada pilihan untuk menyewa di rusunawa.
Kesadaran untuk tinggal di rumah susun itu dipilih Kausar Imran (38) yang tinggal di rusunawa di Klatak, Kalipuro, Banyuwangi, Jawa Timur. Bersama istrinya, Endang Wahyu Ningsih, ia menghuni salah satu dari 198 unit rusunawa di bangunan setinggi lima lantai itu.
Satu unit rusunawa memiliki luas 27 meter persegi. Harga sewanya Rp 175.000 per bulan.
”Tinggal di rusunawa merupakan pilihan terakhir. Mau sewa rumah sendiri uangnya tidak cukup,” kata Imran.
(LKT/NAD/GER/SYA/ETA)