UMKM Diharap Mampu Cari Akses Permodalan Alternatif
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) didorong untuk bisa mencari akses permodalan selain melalui perbankan. Semakin beragamnya akses permodalan, diharapkan bisa mendorong pelaku usaha untuk berkembang.
Selain itu pada 2018, UMKM di bidang kuliner, fashion, dan kriya diproyeksi menjadi UMKM yang paling banyak menyumbang produk domestik bruto.
Kepala UKM Center Universitas Indonesia (UI) Zakir S Machmud menerangkan, saat ini pangsa kredit UMKM paling banyak diberikan kepada usaha menengah.
”Sekitar 45,4 persen kredit diberikan kepada usaha menengah, kemudian sebesar 29,6 persen untuk usaha kecil, dan 25 persen untuk usaha mikro,” kata dia dalam acara UMKM Outlook bertajuk ”From Micro to Hero: Should be Bankable, More Creative, and Techno Literate?” di Menteng, Jakarta, Rabu (31/1).
Pada 2016, jumlah UMKM di Indonesia sebanyak 56 juta pelaku usaha. Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan, ada kebutuhan kredit nasional sebesar Rp 1.700 triliun per tahun bagi pelaku UMKM.
Lembaga keuangan yang ada, khususnya perbankan, hanya mampu memenuhi Rp 700 triliun dari kebutuhan tersebut sehingga ada gap tiap tahun.
Zakir mengatakan, pangsa kredit UMKM menurut jenis penggunaan sebesar 73 persen untuk modal kerja dan sebesar 27 persen untuk kredit investasi. Sektor perdagangan masih menguasai pangsa kredit UMKM dengan total Rp 460,17 triliun pada Juni 2016.
”Seperti yang kita tahu, UMKM sulit mendapatkan akses permodalan dari bank karena banyak syarat yang belum terpenuhi, seperti sistem pembukuan dan manajemen keuangan yang belum tertata, hingga jaminan aset yang belum memadai,” ungkapnya.
Pada 2018, Zakir berharap para pelaku UMKM dapat menggunakan akses permodalan lain, seperti melalui koperasi, pegadaian, pasar modal, dan teknologi finansial (tekfin).
”Adanya akses permodalan ini bukan berarti menjadi subtitusi perbankan, melainkan sebagai pelengkap. Karena bagaimanapun, bank masih menjadi pemberi modal utama dalam UMKM. Apalagi dengan bunga rendah sebesar 7 persen untuk kredit usaha rakyat (KUR),” jelasnya.
Dihubungi terpisah, Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan Regulasi dari Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Ari Juliano mengatakan, pada 2018-2019 diprediksi akan semakin banyak investor untuk memberikan akses modal bagi pelaku UMKM.
”Bisa berupa modal ventura, kemudian filantropi dan bantuan hibah. Nantinya, semakin banyak investor yang mulai berani memberikan modalnya ke UMKM potensial meski UMKM ini belum menunjukkan profitnya,” katanya.
Ari menegaskan, 90 persen pelaku ekonomi kreatif merupakan pelaku UMKM yang juga masih mencari investor untuk permodalan.
Para pelaku ekonomi kreatif ini berani mencari investor untuk keperluan bisnis jangka panjang. ”Mereka menggunakan bantuan perbankan jika sedang membutuhkan dana cepat saja,” katanya.
Potensi ekonomi kreatif
Ari mengatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan Bekraf, eknomi kreatif telah menyumbang sebesar Rp 922 triliun untuk produk domestik bruto (PDB) pada 2016.
Jumlahnya meningkat dari tahun 2015 yang sebesar Rp 852 triliun. ”Jumlahnya diharapkan bisa meningkat pada 2019 menjadi Rp 1.000 triliun,” katanya.
Kemudian, industri ini telah menyerap 16,9 juta tenaga kerja pada 2016, jumlahnya meningkat pada 2015 yang sebesar Rp 15,9 juta orang.
”Sebesar 75 persen penyumbang PDB berasal dari subsektor kuliner, fashion, dan kriya,” katanya.
Ari menambahkan, ada beberapa industri kreatif yang jumlah pemasukan untuk negaranya masih kecil, tetapi potensional. Industri ini adalah film, musik, dan aplikasi.
”Seperti di daerah Singkawang, Kalimantan, ternyata anak mudanya telah mampu memproduksi film panjang dan ditayangkan di bioskop lokal mereka. Selain itu, kami juga mendorong untuk menjadikan Ambon sebagai ’Kota Musik Dunia’ karena kultur musik yang sangat melekat di masyarakatnya,” ungkap Ari.
Regulasi pemerintah
Manajer Capacity Building UKM Center UI Fahnia Chairawaty menjelaskan, regulasi pemerintah saat ini belum jelas untuk mengatur sektor UMKM.
”Banyak UMKM di daerah yang terhambat karena Dinas UMKM di daerahnya tidak kompatibel serta mempersulit izin usaha. Selain itu, pemerintah juga harus memiliki porsi yang pas bagi para pelaku UMKM,” ungkapnya.
Bantuan akses modal harus diatur agar sesuai dengan porsi ideal yang ditetapkan pemda. ”Jadi pelaku UMKM ini tidak terkesan ’disuapin’ terus oleh para pemda, mereka bisa lebih tangguh dalam melakukan usahanya,” kata Fahnia.
Koordinasi antarkementerian lembaga juga menjadi masalah dalam pengembangan UMKM ini.
Ari mengatakan, kementerian lembaga terkadang hanya terfokus di beberapa daerah untuk mengembangkan UMKM sehingga peran pemerintah pusat tidak merata ke setiap daerah.
”Masih ada ruang-ruang yang belum tersentuh kementerian sehingga hal ini harus diatur. Kemudian, saat ini kami sedang menyiapkan rencana induk pengembangan ekonomi kreatif. Rencana ini sudah digodok dan dalam tahap finalisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,” ungkapnya.
Selain itu untuk memperkuat industri ekonomi kreatif, Ari menjelaskan, saat ini telah disusun RUU Ekonomi Kreatif.
”RUU Ekonomi Kreatif telah masuk program legislasi nasional di tahun ini, diharapkan bisa memperkuat peran lembaga yang mengatur ekonomi kreatif ini,” jelasnya. (DD05)