Warga Antusias Nikmati Gerhana untuk Tepis Mitos
JAKARTA, KOMPAS -- Sebanyak 392 warga dari berbagai kalangan hadir meramaikan pengamatan gerhana bulan total di Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Taman Mini Indonesia Indah. Pengalaman tidak bisa menikmati gerhana bulan karena mitos mendorong mereka untuk membuktikan kebenaran.
Salah satunya Angel Nasution (46), warga asal Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Perempuan yang lahir dan besar di Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara itu mengaku belum pernah menikmati gerhana bulan dan matahari.
Orang tua dan warga di lingkungannya melarang untuk menikmati gerhana, karena dipercaya akan menimbulkan kebutaan. Angel melanjutkan, mitos itu masih ia temukan ketika ia telah merantau ke Batam, Kepulauan Riau.
"Ini pertama kalinya saya mengikuti acara untuk menyaksikan gerhana bulan," kata Angel yang sudah empat tahun terakhir tinggal di Jakarta.
Hal serupa dialami Rukinah (58), pedagang minuman di Museum Migas Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Ia mengatakan, di Yogyakarta, kampung halamannya, para orang tua melarang anak-anak melihat gerhana. Bagi ibu hamil, perlu dilakukan upacara khusus untuk menghilangkan sial setelah melihat gerhana.
"Sebelumnya, saya tidak berani melihat gerhana," ujar Rukinah.
Baik Rukinah maupun Angel memberanikan diri untuk mengikuti pengamatan gerhana bulan total setelah melihat publikasi di berbagai tempat. Di jalan, mereka melihat spanduk-spanduk acara. Begitu pula di media massa.
"Tadi sore saya melihat di televisi, ada beberapa tempat yang menyelenggarakan acara untuk melihat gerhana. Lokasi TMII paling dekat dengan rumah saya, jadi saya ke sini," kata Angel. Ia tidak mengetahui bahwa momen gerhana bulan total pertama di 2018 ini bertepatan pula dengan fenomena bulan super dan bulan biru. Baginya, yang terpenting, ia bisa keluar rumah saat gerhana berlangsung.
Berbeda dengan Rukinah dan Angel, Naia Prihallysta (13) justru sangat antusias dengan gabungan peristiwa gerhana bulan total, bulan super, dan bulan biru atau kerap disebut bulan super darah biru. Menurut murid SMP Al Izhar, Pondok Labu, Jakarta, itu, momen yang memadukan tiga kejadian sekaligus itu belum tentu terjadi lagi. Oleh karena itu, ia bersedia ikut serta saat mendapat tawaran dari sekolah.
Juliardi (23), guru SMP Al Izhar, mengatakan, sekolahnya bekerja sama dengan PP Iptek untuk menyelenggarakan beberapa kegiatan berbasis sains. Menurut dia, kegiatan mengamati gerhana bulan total secara langsung amat bermanfaat dalam pembelajaran siswa.
"Biasanya kami hanya mengajarkan teori gerhana di kelas, tetapi momen ini merupakan kesempatan yang langka, karena bisa memperlihatkan contoh langsung kepada siswa," kata Juliardi.
Oleh karena itu, sekolahnya mengirimkan 31 murid dan lima guru ke PP Iptek. Mereka juga membawa tiga teropong binokular untuk memfasilitasi murid-murid melihat gerhana bulan.
Selain rombongan SMP Al Izhar, PP Iptek juga diramaikan warga-warga lain. Mereka sudah datang ke lokasi satu jam sebelum rangkaian acara digelar.
Para pengunjung sangat aktif merespon percobaan sains yang dilaksanakan sebelum pengamatan berlangsung. Mereka mengikuti percobaan mencampur bubuk sitrun, asam sitrat, dan air yang dapat memghasilkan karbon dioksida. Karbon dioksida hang dihasilkan dalam sebuah botol kaca itu kemudiam digunakan untuk mengisi udara ke sebuah balon.
Selain itu, mereka juga melakukan percobaan menggunakan gas hexaflouride. Beberapa siswa kaget dengan efek gas hexaflouride yang dapat mengubah suara mereka selama beberapa detik setelah menelannya.
"Selain percobaan sains, kami juga memutarkan film mengenai gerhana, agar para pengunjung memahami kenapa ada gerhana bulan total, bulan super, dan bulan biru," kata Direktur PP Iptek Mochammad Syachrial Annas.
Setelah dua kegiatan itu, para pengunjung memadati pelataran atas PP Iptek. Di pelataran tak beratap itu, dipasang tiga buah teleskop berukuran enam inchi, delapan inchi, dan 14 sentimeter. Koordinator kegiatan pengamatan Wahyuningsih mengatakan, teleskop berukuran delapan inchi disambungkan ke layar televisi untuk mengurangi antrean pengunjung yang ingin menikmati gerhana lewat dua teleskop lainnya.
Sejak sekitar pukul 19.00 hingga 21.30, antrean pengunjung di dua teleskop itu belum habis. Warga tetap antusias menunggu giliran walaupun gerhana bulan total tidak terlalu tampak.
Sepanjang pengamatan, bulan jarang terlihat, malah lebih sering tertutup awan. Hanya sesekali awan bergeser sehingga seperempat bagian bulan bisa terlihat.
Berdasarkan perkiraan PP Iptek, puncak gerhana berlangsung pada pukul 20.00. Pada saat itu pula, penantian pengunjung sedikit terbayar. Gerhana bulan total dapat terlihat jelas dengan mata telanjang. Selama 15 menit, bulan tampak merah, menunjukkam dirinya yang sedang dalam posisi bulam super darah biru. Namun, jika menggunakan teleskop, fenomena itu terlihat hingga pukul 21.00.
Meski gerhana bulan total hanya terlihat dalam beberapa menit, antusiasme pengunjung sama sekali tidak surut. Setiap orang siap sedia memotret dengan telepon genggam. Tidak sedikit pula mereka yang membawa kamera profesional beserta tripod. Mereka berdiri berjajar, memenuhi sayap kanan pelataran atas PP Iptek.
Ketika mendapat kesempatan mencoba melihat gerhana bulan lewat teleskop, sekitar pukul 21.45, yang tampak hanya tiga perempat bagian bulan. Warnanya pun sudah putih terang, tidak ada lagi merah yang tersisa.
"Ini sudah masuk fase gerhana sebagian, jadi terlihatnya seperti bulan sabit biasa saja," kata Wahyuningsih yang berlatar belakang pendidikan astronomi.
Memasuki fase itu, satu persatu pengunjung undur diri. Bulan masih bersinar terang, diiringi gerimis yang mulai turun.
Taman Ismail Marzuki
Ratusan warga memenuhi halaman Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Jakarta untuk menyaksikan fenomena alam bertemunya bulan purnama, bulan biru, dan gerhana bulan dalam satu waktu bersamaan. Antusiasme mereka diwadahi pula oleh Himpunan Astronomi Amatir Jakarta yang memasang 11 teleskop refraktor dan reflektor yang masing-masing berukur 900 mm agar warga bisa lebih jelas menyaksikan fenomena yang hanya terjadi 152 tahun sekali itu.
Berdasarkan pengamatan Kompas di Taman Ismail Marzuki, Rabu (31/1), warga sudah mulai memenuhi kawasan Taman Ismail Marzuki sejak sebelum Magrib atau sekitar pukul 18.00. Mereka datang berbondong bersama teman maupun keluarga. Ada yang membawa kamera dengan lensa cukup panjang agar bisa mendokumentasikan fenomena itu. Ada pula yang hanya datang untuk melihat atau menikmati dengan kasat mata.
Suasana di sana pun cukup semarak. Warga antusias bertanya pada para pengamat yang berasal dari Himpunan Astronomi Amatir Indonesia. Di sisi lain, mereka juga rebutan untuk bisa mengintip lewat viewfinder teleskop yang tersedia agar bisa melihat fenomena itu lebih jelas.
Salah satu pengunjung Suci Anggrayani (26) ketika ditemui mengatakan, fenomena ini sangat langkah. Bisa dibilang, hanya sekali seumur hidup bisa menyaksikannya.
Untuk itu, ia bertekad datang ke Taman Ismail Marzuki agar bisa merasakan semangat warga melihat fenomena itu dan bisa melihat lebih jelas fenomena itu lewat teleskop yang tersedia. "Namun, sayangnya, cuaca mendung sehingga penampakan bulannya tidak jelas," ujarnya.
Pengawas teleskop nomor 10 sekaligus anggota Himpunan Astronomi Amatir Indonesia Fernanda menuturkan, timnya membawa 15 teleskop refraktor dan reflektor yang disebar di halaman Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki. Sebanyak 4 teleskop khusus untuk petugas pengamat, sedangkan 11 teleskop disediakan untuk warga yang ingin melihat fenomena itu.
Peralatan itu telah disiapkan sejak pukul 16.00. Adapun proses pengamatan dimulai sejak pukul 18.00.
Menurut Fernanda, fenomena kali ini sangat langkah. Sebab, terjadi pertemuan tiga fenomena dalam satu waktu bersamaan, yakni bulan purnama, bulan biru, dan gerhana bulan. Fenomena seperti itu hanya terjadi 152 tahun sekali. "Kalau bulan purnama saja, atau bulan biru saja, atau gerhana bulan saja, bisa terjadi setiap tahun ataupun dalam rentang waktu lebih cepat. Namun, bila bulan purnama, bulan biru, dan gerhana bulan terjadi bersamaan, itu hanya terjadi 152 tahun sekali," ucapnya.
Atas dasar itu, para peneliti ataupun pengamat astronomi antusias mengamati fenomena itu. Dari fernomena tersebut, mereka bisa melihat warna bulan yang berbeda dari biasanya, yakni lebih merah karena cahaya matahari dibiaskan oleh atmosfer bumi. Mereka pun bisa melihat kontur bulan lebih jelas karena memang saat yang bersamaan posisi bulan dan bumi ada di jarak cukup dekat, yakni 350.000 kilometer. "Kita bisa mempelajari kondisi bulan yang banyak dari fenomena tersebut," kata Fernanda.
Fernanda menjelaskan, fenomena itu mulai terjadi sejak pukul 18.00. Mengalami masa puncak atau bulan purnama penuh pada pukul 20.30. Dan berakhir sekitar pukul 23.00.
Pengamatan fenomena itu bisa dilakukan di hampir semua wilayah Indonesia. Tempat terbaik di dataran tinggi yang bercuaca cerah dan minim polusi cahaya. "Namun, kali ini di Jakarta, cuaca mendung dan ada polusi cahaya. Akibatnya, pengamatan tidak bisa optimal. Bulan lebih banyak tertutup awan," terangnya. (DD01/DRI/DD09)