Indonesia Butuh Investasi Lebih Besar pada Sektor Manufaktur
Oleh
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, Indonesia butuh investasi lebih banyak pada sektor manufaktur. Terkait itu, perbankan diminta lebih gencar menyalurkan kredit investasi ke dunia usaha.
Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia per November 2017 yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penyaluran kredit investasi secara tahunan (year on year/YOY) hanya tumbuh 4,51 persen. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kredit konsumsi yang tumbuh 10,20 persen dan kredit modal kerja yang naik 7,49 persen.
Rendahnya penyaluran kredit investasi berdampak pada lambatnya pertumbuhan industri manufaktur. Ujungnya, perekonomian tak bisa tumbuh lebih cepat. Selama periode 2014-2017, pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen. Padahal, perekonomian Indonesia memiliki potensi untuk tumbuh lebih tinggi hingga 7 persen.
Chief Economist Bank Mandiri Anton Hermanto Gunawan, Kamis (1/2) di Jakarta, mengatakan, sektor manufaktur perlu didorong untuk memacu perekonomian.
Menurut Anton, sektor manufaktur yang potensial antara lain bidang otomotif dan tekstil. ”Investasi sektor swasta masih kurang,” kata Anton.
Sementara itu, pengamat perbankan Paul Sutaryono berpendapat, investasi berpeluang meningkat seiring status Indonesia yang menyandang peringkat investasi (investment grade) dari lembaga pemeringkat global S&P, Moddy’s, dan Fitch Ratings sekaligus.
Menurun
Lemahnya sektor manufaktur juga terindikasi dari rendahnya penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), penyerapan tenaga kerja tercatat 1,17 juta orang pada 2017. Angka tersebut turun sekitar 216.000 orang atau 15,5 persen dibanding penyerapan tenaga kerja tahun 2016 yang sebanyak 1,39 juta orang.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan, realisasi investasi yang tumbuh 13,1 persen sepanjang 2017 lebih banyak masuk ke sektor pada modal dibandingkan sektor riil.
Bhima mengatakan, porsi investasi di sektor industri pengolahan atau manufaktur terus merosot dari 54,8 persen menjadi 39,7 persen. ”Kalau investor yang masuk lebih tertarik ke sektor jasa daripada ke industri manufaktur, penyerapan tenaga kerjanya pasti turun,” kata Bhima. (DD08)