Keluarga Miskin Dimanfaatkan Jadi Kurir Narkoba
MEDAN, KOMPAS — Jaringan pengedar narkoba internasional memanfaatkan keluarga miskin menjadi kurir narkoba. Hal itu disimpulkan karena hampir semua kurir yang ditangkap polisi Sumatera Utara berasal dari keluarga miskin yang sekaligus menjadi pencandu narkoba.
Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara Inspektur Jenderal Paulus Waterpauw mengungkapkan hal tersebut saat memusnahkan barang bukti narkoba hasil tangkapan Oktober 2017 hingga Januari 2018 di Medan, Kamis (1/2).
Sebanyak 70,9 kilogram (kg) sabu, 112 kg ganja, 2.280 butir ekstasi, dan 600 butir happy five dimusnahkan. Petugas juga menunjukkan 64 pengedar yang ditangkap dalam 37 kasus peredaran gelap narkotika.
Empat pengedar ditembak mati dalam periode itu. Kasus tersebut di luar yang ditangani kepolisian resor dan kepolisian sektor di jajaran Polda Sumut.
Barang bukti sabu, pil ekstasi, dan tablet happy five tersebut dimusnahkan dengan cara direbus dalam tong besar. Sementara, ganja dimusnahkan dengan cara dibakar.
Paulus bersama pejabat Polda Sumut, Badan Narkotika Nasional Provinsi Sumut, dan Kejaksaan Tinggi Sumut secara simbolis ikut memusnahkan narkoba tersebut.
Setelah memusnahkan barang bukti itu, Paulus pun menginterogasi para pengedar mewakili anak-anak, ibu rumah tangga, pemuda, dan seorang berusia lanjut (kakek).
”Beginilah narkoba menggerogoti bangsa kita. Sebagian besar dari mereka ini pencandu yang menjadi pengedar. Narkoba itu menyerang anak-anak hingga kakek-kakek. Orang miskin hingga kaya. Pengangguran hingga pejabat,” kata Paulus.
Beginilah narkoba menggerogoti bangsa kita. Narkoba menyerang anak-anak hingga kakek-kakek, orang miskin hingga kaya, dan pengangguran hingga pejabat.
Paulus pun tampak serius menanyai seorang pengedar yang seharusnya masih duduk di bangku kelas XII SMA di sebuah sekolah di Aceh Utara.
Pengedar berinisal SP berusia 18 tahun itu tertangkap di Medan ketika membawa 100 gram sabu dari Aceh Utara. ”Saya bolos sekolah beberapa hari untuk mengantar sabu dari Aceh ke Padang, Sumatera Barat,” kata SP kepada Paulus.
SP mengatakan bahwa dirinya setidaknya sudah dua kali membawa sabu dari Aceh ke Padang dengan naik bus. Ia mendapat upah dan operasional Rp 10 juta setelah menjual sabu 100 gram tersebut dengan harga Rp 60 juta.
Menurut pengakuan SP, ia berada di bawah perintah bandar yang tidak dia kenal dan hanya berbicara kepadanya lewat sambungan telepon.
SP diminta mengambil dan mengantar sabu kepada orang yang juga tidak ia kenal. Jaringan pengedar sabu terputus-putus agar bandar sulit dilacak petugas.
Polisi cukup prihatin melihat profil para pengedar yang belakangan didominasi anggota keluarga yang terbelenggu kemiskinan.
Paulus juga berbincang dengan seorang pengedar berinisal M (35), warga Medan, yang merupakan seorang ibu rumah tangga.
Polisi menemukan sebuah kotak kardus berisi 300 gram sabu dan 64 kilogram ganja di dalam rumahnya.
Polisi menangkap M ketika mencuci pakaian di rumah tetangganya. Sementara, suaminya yang sehari-hari kerja serabutan masih buron. ”Tiga anak saya sekarang telantar, Pak,” kata M kepada Paulus.
Paulus mengatakan, polisi cukup prihatin melihat profil para pengedar yang belakangan didominasi anggota keluarga yang terbelenggu kemiskinan. Ia juga menyesalkan karena anak sekolah sudah ikut jadi pengedar.
Paulus mengajak agar guru-guru di sekolah peka terhadap tingkah laku para muridnya yang janggal. Guru harus memberi perhatian khusus jika ada murid yang mencurigakan, seperti sering bolos, sulit konsentrasi, dan wajahnya pucat.
”Fenomena ini sangat menakutkan karena anak sekolah tidak hanya sebagai penyalah guna, tetapi bergabung dalam jaringan peredaran gelap narkotika internasional,” katanya.
Pemberantasan
Paulus mengatakan, mereka masih akan terus menerapkan tembak mati di tempat, khususnya bagi pengedar yang tergabung dalam jaringan internasional.
”Tidak ada ampun bagi pengedar anggota jaringan internasional. Kami akan berikan tindakan tegas (tembak mati) kepada mereka,” katanya.
Menurut Paulus, hingga kini Indonesia masih dalam status darurat narkoba dengan jumlah pencandu 6,4 juta jiwa. Sumut merupakan salah satu tempat peredaran gelap narkoba terbesar.
Selain itu, Sumut juga menjadi salah satu pintu masuk dan tempat transit utama narkoba yang hendak dikirim ke daerah-daerah di Nusantara. Karena itu, penindakan di Sumut sangat penting.
Sumut menjadi salah satu pintu masuk dan tempat transit utama narkoba yang hendak dikirim ke daerah-daerah di Nusantara.
Direktur Reserse Narkoba Polda Sumut Komisaris Besar Hendri Marpaung mengatakan, pihaknya saat ini terus mengembangkan strategi untuk memberantas narkoba di Sumut.
Mereka telah memetakan pintu-pintu masuk narkoba yang sebagian besar masuk dari pelabuhan tikus di pantai timur Sumut dan Aceh. Sebagian sabu diedarkan di Sumut dan sebagian lagi dikirim ke daerah lain.
Kepala Bidang Pemberantasan BNN Provinsi Sumut Agus Halimudin menyatakan, pihaknya juga berkomitmen memberantas narkotika dengan menindak tegas para pengedar.
Namun, selain penindakan, ia juga mengajak masyarakat ikut berperan dengan melakukan upaya pencegahan agar tidak semakin banyak pencandu narkoba di Indonesia.
Para pengedar tetap nekat karena permintaan dalam negeri sangat tinggi dengan harga yang cukup tinggi. Harga sabu di tingkat pengguna mencapai Rp 1,5 juta per gram.