Ma, Bulannya Tak Kelihatan...
Antusias melihat keunikan gerhana bulan total super darah biru juga muncul di Bandung, Jawa Barat. Namun, ”Kota Kembang” kurang beruntung. Bulan bersembunyi di antara awan hitam disertai gerimis.
Almira (6) girang melompat ke sana-kemari. Sesekali dia sampai harus ditegur dan digandeng ibunya agar tidak mengganggu orang lain. Dia tak sabar melihat fenomena angkasa tak biasa, gerhana bulan total super biru darah.
Ditemani ayah dan ibunya, Dedi Jumadi (33) dan Siti Fauziah (32), ketiganya tiba di tempat observasi gerhana bulan total (GBT) Gedung Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), Kota Bandung, sejak pukul 16.00, Rabu (31/1). Padahal, observasi yang dilakukan dengan teropong yang disediakan di atap selasar Sabuga itu menurut rencana dimulai empat jam kemudian.
”Kami sengaja datang lebih awal agar tidak lama mengantre,” ujar Dedi yang sehari-hari bekerja sebagai pengemudi taksi daring.
Meski langit gelap masih muncul lama, keluarga asal Soreang, Kabupaten Bandung, ini sudah antusias. Almira kerap bertanya kepada ayah ibunya tentang apa itu gerhana bulan total. Kedua orangtuanya yang bukan sarjana astronomi pun harus membuka ponsel mereka dan mencari jawaban pertanyaan anaknya melalui situs daring.
Setelah menanti dua jam sambil lesehan di selasar lobi Sabuga dengan kudapan risoles dan kroket, acara pun dimulai. Setelah shalat bersama, Almira dan ratusan peserta lainnya diberikan penjelasan mengenai gerhana bulan dan keantariksaan dari Moedji Raharto, astronom Institut Teknologi Bandung (ITB) yang juga Kepala Observatorium Bosscha 1999-2004, di Auditorium Sabuga.
Acara kemudian dilanjutkan dengan peluncuran buku berjudul Panduan Gerhana yang ditulis Moedji. Pada kesempatan itu, turut hadir Rektor ITB Kadarsah Suryadi memberikan dukungan pada peluncuran buku itu.
”Malam ini kita semua akan melihat peristiwa langka yang terjadi di angkasa kita, yakni terjadi gerhana bulan total dengan tiga fenomena, yaitu bulan super, bulan darah, dan bulan biru yang terjadi pada satu malam. Barangkali ini peristiwa sekali seumur hidup,” ujar Moedji, berupaya ”memanaskan” antusias peserta.
Sementara itu, pada saat bersamaan, di lantai empat selasar atap Gedung Sabuga, panitia gabungan dari Himpunan Mahasiswa Astronomi ITB dan pencinta astronomi mulai mempersiapkan teleskop bintang yang akan digunakan untuk melihat GBT. Malam itu panitia acara observasi GBT itu menyiapkan enam teleskop, masing-masing tiga unit di selasar utara dan selatan.
Koordinator Teleskop, Fahmi Iman Alfarizki, menjelaskan, enam teleskop itu berasal dari Observatorium Bosscha 2 unit, Imah Noong 3 unit, dan Planet Sains 1 unit. Teleskop itu diarahkan ke arah timur lokasi GBT diperkirakan terlihat.
”Kemampuan teleskop ini cukup untuk melihat keindahan GBT,” ujar Fahmi yang merupakan mahasiswa semester VI program studi Astronomi ITB.
Meski semua teleskop sudah terpasang pukul 18.00, panitia tetap harap-harap cemas. Sebab, Kota Bandung diguyur hujan dan gerimis mulai pukul 15.30 hingga 17.30. Bahkan, hingga malam hari awan mendung masih menggantung di langit Kota Bandung.
”Kalau mendung, bulannya tertutup awan jadi tidak kelihatan. Lebih cemas lagi kalau gerimis. Teleskop ini harus segera kami teduhkan karena tidak boleh kena air,” ujar Fahmi.
Kekhawatiran itu menjadi kenyataan. Sekitar pukul 20.00, hujan rintik-rintik turun. Panitia pun buru-buru mengamankan teleskop itu. Padahal, pada saat bersamaan di daerah lain, seperti Jakarta, Aceh, dan Kalimantan, GBT berwarna merah itu sudah menampakkan keindahannya.
Beruntung, sesaat setelah peserta merampungkan shalat, gerimis itu pun rampung. Para peserta pun berangsur naik ke lantai empat selasar atap Sabuga. Panitia pun buru-buru memasang kembali teleskop.
Di antara kerumunan peserta, tampak si kecil Almira yang meski sudah menunggu lebih dari 4 jam masih memancarkan semangatnya. Setelah mengantre, tibalah giliran Almira mengintip keindahan GBT dari teleskop itu. Namun, antusias Almira itu sekejap sirna karena GBT yang dia nanti-nantikan itu tidak terlihat.
”Ma, bulannya tidak kelihatan,” ujar Almira lirih.
Ma, bulannya tidak kelihatan.
Siti buru-buru mengusap kepala Almira, sambil berkata, ”Mungkin bulannya lagi ngambek. Besok mungkin bisa kelihatan lagi. Yuk kita pulang saja.”
Mengetahui kekecewaan peserta, Ketua Panitia Pelaksana Hari Utomo yang juga berada di selasar atap dengan megafon berkata, ”Kita kurang beruntung malam ini karena langit tertutup awan. Namun, jangan khawatir, setelah melihat bulan, silakan menuju ke teater kubah iptek, di sana ada film menarik untuk anak-anak,” ujar Hari.
”Kondisi cuaca ini tidak bisa kita atur kan. Tetapi, setidaknya anak-anak ini punya pengalaman bersentuhan dengan teleskop dan keantariksaan. Harapannya tumbuh minat mereka untuk mendalami sains,” ujar Hari.
Diarahkan menuju teater kubah, peserta menyaksikan dua film berturut-turut berjudul Book of Day dan Red Rock Fun. Senyum Almira yang sempat menghilang itu sekejap terbit kembali saat menyaksikan film tentang negara-negara di dunia dan kereta tambang berdurasi total sekitar 15 menit itu.
”Meski tidak melihat bulan, hari ini Almira senang,” ujar Almira menghibur diri malam itu.