Gramedia Terus Berinovasi Hadapi Tantangan Zaman
JAKARTA, KOMPAS — Gramedia Asri Media merayakan hari ulang tahun ke-48 dengan karnaval kostum, Jumat (2/2). Acara itu dimeriahkan oleh perwakilan karyawan dari delapan unit bisnis perusahaan ini.
Berawal dari sebuah toko seluas 25 meter persegi di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, minat baca masyarakat coba ditingkatkan. Kini, setelah 48 tahun, Gramedia tetap setia menjaga asa di tengah tantangan zaman yang semakin berat.
General Manager Corporate Secretary PT Gramedia Asri Media Yosef Adityo Nugroho mengatakan, ketika didirikan pada 2 Februari 1970, usaha yang mulanya berfokus pada penjualan buku impor itu mengalami masa sulit. Salah satunya pada 1998, di tengah krisis ekonomi, gonjang-ganjing politik, dan sentimen antaretnis, beberapa toko Gramedia dibakar massa. Tingkat inflasi yang mencapai lebih dari 70 persen juga menyebabkan kesulitan dalam berproduksi.
Ketika didirikan pada 2 Februari 1970, usaha yang mulanya berfokus pada penjualan buku impor itu mengalami masa sulit.
”Kami berusaha bertahan saat itu. Meski karyawan tidak mendapatkan bayaran yang tinggi, tidak ada satu pun karyawan yang dipecat,” kata Yosef di sela-sela perayaan ulang tahun ke-48 Gramedia di Jakarta, Jumat (2/2). Dalam perayaan itu, hadir pula Direktur Operasional PT Gramedia Asri Media V Sugiarto, Chief Executive Officer Kompas Gramedia Lilik Oetama, Direktur Grup Ritel dan Penerbitan Y Priyo Utomo.
Yosef melanjutkan, memasuki era digital, tantangan kian berat. Gramedia yang sebelumnya fokus pada penerbitan dan penjualan buku harus berhadapan dengan perkembangan ekonomi digital. ”Pertumbuhan Gramedia pada 2016 dan 2017 stagnan, hanya tiga persen,” ujarnya.
Yosef mengakui, Gramedia belum siap menghadapi tantangan perubahan ekonomi konvensional ke ekonomi digital. Salah satunya, pada momen Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) 2017, Gramedia mendapatkan banyak protes dari pelanggan karena sistem penjualan yang kacau. Para pembeli tidak mendapatkan buku yang sesuai dengan pesanan mereka.
”Kami masih gagap dalam melaksanakan ekonomi digital,” kata Yosef. Ia menambahkan, hingga saat ini Gramedia masih menyelesaikan pengiriman buku kepada para konsumen.
Sugiarto menambahkan, tantangan Gramedia ke depan tidak hanya pada ranah ekonomi, tetapi juga budaya baca masyarakat. Menurut dia, minat baca masyarakat saat ini rendah. Derasnya arus informasi berkat perkembangan teknologi membuat masyarakat lebih menyukai bacaan singkat ketimbang buku-buku yang memuat konten komprehensif.
Berdasarkan Survei Kajian Budaya Masyarakat yang dilakukan Perpustakaan Nasional di 12 provinsi, 28 kabupaten/kota, dan total 3.360 responden pada 2015, hanya 35 persen masyarakat yang meluangkan waktu untuk membaca di waktu senggang. Sebanyak 65 persen lainnya menghabiskan waktu dengan menonton televisi, bermain gim, dan beraktivitas di jejaring sosial.
Persentase itu menurun dibandingkan hasil survei serupa pada 2013. Masyarakat yang meluangkan waktu untuk membaca di waktu senggang mencapai 51 persen, sedangkan 49 persen lainnya menghabiskan waktu untuk kegiatan lain.
Rata-rata waktu membaca masyarakat juga masih rendah. Sebanyak 63 persen masyarakat membaca selama kurang dari dua jam per hari. Jumlah halaman yang dibaca per minggu di bawah 100 halaman. Bahkan, dana yang dikeluarkan untuk berbelanja buku berada di rentang Rp 0-Rp 200.000.
Inovasi
Sugiarto melanjutkan, untuk bertahan di tengah tantangan yang kian sulit, inovasi menjadi keharusan. Selama beberapa waktu terakhir, Gramedia mengubah konsep toko buku menjadi wadah inspirasi. Toko bukan sekadar tempat untuk menjual buku, melainkan juga tempat untuk berbagai kegiatan. Salah satunya kegiatan wisata buku untuk siswa taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD).
”Kami juga menyelenggarakan kegiatan mendongeng untuk mengajak anak-anak menjadi pembaca-pembaca baru,” kata Sugiarto.
Gramedia mengubah konsep toko buku menjadi wadah inspirasi. Toko bukan sekadar tempat untuk menjual buku, melainkan juga tempat untuk berbagai kegiatan.
Menurut Yosef, anak-anak di sejumlah daerah kesulitan mengakses buku. Untuk mengurangi kesulitan tersebut, Gramedia membuat Kompetisi Komunitas Membaca Gramedia. Kompetisi itu bertujuan untuk memilih komunitas-komunitas yang aktif membina masyarakat setempat untuk meningkatkan aktivitas membaca.
”Kami sudah menjaring 800 komunitas baca yang tersebar dari Aceh sampai Nabire, Papua,” ujar Yosef. Menurut dia, jumlah itu menandakan masih ada masyarakat yang gemar membaca dan menyebarkan kegemarannya kepada masyarakat.
Selain berusaha meningkatkan minat baca, Gramedia juga berusaha meningkatkan minat masyarakat untuk menulis melalui kegiatan Gramedia Writers Festival. Festival yang dilaksanakan setiap tahun itu mengumpulkan beberapa penulis pemula yang karyanya belum pernah diterbitkan penerbit profesional. Mereka dilatih selama beberapa hari, kemudian karya terbaik yang terpilih akan diterbitkan.
”Kegiatan itu sudah berjalan selama tiga tahun terakhir. Setiap tahun setidaknya ada 100 penulis yang ikut serta,” ujar Yosef.
Sebagai bentuk adaptasi dengan perkembangan dunia digital, Gramedia membuat sistem kerja sama baru dengan para penulis. Produk yang dihasilkan tidak hanya buku dalam versi cetak, tetapi juga versi digital. Setiap buku yang akan dicetak juga mesti didampingi dengan produk pernak-pernik terkait dengan buku tersebut.
”Kami sudah mendigitalkan 15.000 judul buku,” ujar Yosef. Sementara itu, pencetakan buku mencapai 5.000 judul per tahun.
Namun, kata Yosef, digitalisasi buku terbatas pada buku-buku yang sudah pernah diterbitkan. Penerbitan versi digital juga masih menjadi pilihan kedua, yaitu jika naskah penulis tidak lolos seleksi oleh editor cetak.
Optimistis
Meski diterpa berbagai tantangan, Gramedia masih optimistis. Menurut Sugiarto, dominasi generasi milenial dalam komposisi karyawan membawa optimisme tersendiri. Sebanyak 68 persen dari total karyawan berusia di bawah 25 tahun. ”Dengan banyaknya generasi muda, kami akan cepat beradaptasi dengan perubahan-perubahan,” ujarnya.
Editor komik M&C Risma Megawati mengatakan, peluang pengembangan di bidang komik lokal masih tinggi. Komik lokal sudah menjadi salah satu bacaan populer di kalangan milenial. Komikus berbakat yang telah memiliki basis pembaca pun sudah banyak.
”Potensi pembacanya juga sangat tinggi karena sekarang tersedia platform digital untuk membaca komik lokal, misalnya webtoon dan Instagram,” ujar Risma. Namun, hingga saat ini pengembangan yang dilakukan M&C masih sebatas menggunakan akun media sosial komikus untuk promosi dalam jaringan (daring). (DD01)