Indonesia Hadapi Tujuh Masalah Utama
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia sementara ini sedang bergelut menangani berbagai masalah utama dalam industri ekonomi digital. Upaya itu dilakukan agar Indonesia bisa menjadi pelaku ekonomi digital, tidak semata pasar dunia internasional.
Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), ada tujuh masalah utama, yakni perlindungan konsumen, keamanan siber, pendidikan dan sumber daya manusia (SDM), logistik (pengiriman), infrastruktur komunikasi, modal, serta perpajakan.
”Ada ratusan masalah sebenarnya. Tetapi, tujuh hal itu masalah utamanya,” kata Staf Khusus Menteri Lis Sutjiati Kemkominfo, dalam diskusi panel pertama bertema ”Indonesia’s Start-Ups Ecosystem: An Emerging Powerhouse in ASEAN” pada Indonesia-Australia Digital Forum di Jakarta, Kamis (1/2).
Indonesia-Australia menggelar forum itu pada 31 Januari-1 Februari. Forum bertujuan membahas kesehatan digital, keamanan siber, industri kreatif, pemerintahan yang cerdas, teknologi finansial, dan perusahaan rintisan kedua negara.
Terkait isu perlindungan konsumen, kepercayaan investor, penjual, dan konsumen masih rendah karena belum ada aturan yang baku dan sistem transaksi yang aman.
Keamanan siber juga belum optimal karena kesadaran konsumen belum tinggi dan belum ada standar keamanan transaksi elektronik.
Keamanan siber juga belum optimal karena kesadaran konsumen belum tinggi dan belum ada standar keamanan transaksi elektronik.
Sumber daya manusia masih belum mampu bersaing akibat karier di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) belum populer, akses dan kurikulum pendidikan di bidang itu terbatas, serta lulusan memilih bekerja di luar negeri.
Masalah di bidang logistik disebabkan tingginya biaya pengiriman, layanan logistik bagi ekonomi digital belum ada, dan penetrasi pasar masih di kota-kota besar saja. Infrastruktur komunikasi Indonesia juga belum menjangkau seluruh daerah.
Untuk modal, Indonesia masih minim akses permodalan untuk perusahaan rintisan dan skema pinjaman konvensional tidak cocok dengan model bisnis ekonomi digital.
Sementara perpajakan dipandang memberatkan dengan proses yang rumit dan belum ada insentif pajak yang mendukung industri kecil.
Lis menyatakan, masalah belum teratasi karena 12 kementerian dan lembaga terkait masih berusaha berkolaborasi. Setiap kementerian dan lembaga memiliki kebijakan masing-masing yang belum tentu sejalan.
Kedua belas kementerian dan lembaga itu terdiri dari Kementerian Koordinator Perekonomian; Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan; Kemkominfo; Kementerian Perhubungan; Kementerian Keuangan; Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM); serta Kementerian Badan Usaha Milik Negara.
Selain itu, terdapat Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Siap tidak siap, Indonesia tidak bisa menunggu lagi untuk terjun ke industri ekonomi digital.
Agar semua kementerian dan lembaga berkoordinasi, pemerintah telah menyusun Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (Road Map e-Commerce) Tahun 2017-2019. Perpres memberi arahan penyiapan dan pelaksanaan elektronik dagang (e-dagang).
Indonesia pasar besar bagi berbagai potensi ekonomi dunia internasional. Negara ini adalah negara dengan populasi terbesar keempat di dunia. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2016, sebanyak 132,7 juta orang dari 256,2 juta penduduk telah terkoneksi dengan internet.
”Siap tidak siap, Indonesia tidak bisa menunggu lagi untuk terjun ke industri ekonomi digital,” ujar Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, dalam konferensi pers pada Indonesia-Australia Digital Forum. Indonesia dinilai telah menjadi salah satu negara ekonomi digital kawasan Asia Tenggara.
Ia menambahkan, banyak investasi asing masuk ke empat perusahaan rintisan lokal kategori unicorn atau perusahan dengan nilai valuasi lebih dari 1 miliar dollar AS saat ini. Kondisi itu menunjukkan ketertarikan dunia internasional kepada Indonesia.
Misalnya, kantor berita Reuters memberitakan, perusahaan induk Google bernama Aphabet Inc baru-baru ini berinvestasi pada Gojek, perusahaan aplikasi transportasi, hingga 100 juta dollar AS atau berkisar Rp 1,3 triliun.
Kejadian serupa juga terjadi pada Tokopedia, Bukalapak, dan Traveloka.
Pemerintah berusaha mengakomodasi investor asing dengan membuat aturan yang lebih sederhana. Ketertarikan perusahaan asing dinilai dapat mendorong investor lokal ikut tertarik berinvestasi pada perusahaan rintisan lokal lainnya.
Peningkatan investasi memberikan dampak besar pada pertumbuhan industri ekonomi digital Indonesia.
Dalam Perpres No 74/2017, pendanaan perusahaan rintisan dapat berasal dari kredit usaha rakyat (KUR), hibah, urun dana, dan pendanaan asing. Untuk keamanan, pemerintah tidak mengizinkan investor asing menyuntik dana kurang dari Rp 10 miliar karena masih kategori UKM.
Investor yang menyuntik lebih dari jumlah itu hingga Rp 100 miliar dapat memiliki kepemilikan modal 49 persen. Jika di atas Rp 100 miliar, investor dapat memiliki modal hingga 100 persen.
”Investasi langsung luar negeri dalam e-dagang mencapai 15-20 persen per tahun,” kata Kepala BKPM Thomas Lembong.
Peningkatan investasi memberikan dampak besar pada pertumbuhan industri ekonomi digital Indonesia.
Indonesia sebagai pelaku
Pemerintah berupaya mengembangkan perusahaan rintisan lokal untuk dapat bersaing. Pemerintah menargetkan ada 1.000 usaha rintisan digital pada 2020.
Pembinaan kepada perusahaan rintisan akan dilakukan melalui pengadaan ahli TIK dari beberapa negara, seperti India, untuk diberikan pendampingan kepada mereka agar dapat menjadi perusahaan rintisan unicorn.
Target 1.000 usaha rintisan digital pada 2020 merupakan bagian dari program Indonesia menjadi pemimpin ekonomi digital Asia Tenggara dan energi digital Asia pada tahun 2020.
Selain itu, pemerintah juga menargetkan memiliki 1 juta petani dan nelayan, 8 juta UKM, dan 187 kota/kabupaten untuk masuk ke dunia digital.
”Saat ini jumlah perusahaan rintisan yang telah masuk tahap inkubasi adalah 44 perusahaan,” kata Rudiantara.
Banyak perusahaan rintisan yang baik, tetapi tidak tahu cara mencari investor.
Pemerintah meluncurkan Gerakan Nasional 1000 Startup Digital pada tahun 2016. Tahap inkubasi merupakan salah satu program dalam gerakan tersebut di mana perusahaan rintisan dibina dalam model bisnis, konsep produk, dan pangsa pasar.
Terdapat tiga tahap dalam gerakan tersebut, yaitu konsultasi, inkubasi, dan akselerasi. Mereka didampingi perusahaan rintisan unicorn lokal.
Setelah itu, perusahaan akan dikomersialkan agar investor tertarik. Banyak perusahaan rintisan yang baik, tetapi tidak tahu cara mencari investor.
Dalam pertemuan tertutup pada Indonesia-Australia Digital Forum, Rudiantara menyatakan akan segera mengkaji dan membina beberapa perusahaan rintisan. Lalu, pemerintah akan mengajukannya kepada investor Australia dalam dua atau tiga bulan ke depan.
Rudiantara menyatakan, Australia sebenarnya tidak berada dalam agenda pemerintah untuk bekerja sama dengan negara luar terkait ekonomi digital pada tahun 2018. Hanya saja, banyak investor Australia menyatakan tertarik dengan pasar Indonesia dalam pertemuan itu.
Australia ingin berinvestasi dalam bidang pelayanan kesehatan digital. ”Indonesia telah memiliki beberapa perusahaan rintisan di bidang tersebut, yakni Halo Doc dan Go Dok,” katanya. Pemerintah juga akan menyarankan investasi di bidang yang menjadi prioritas pemerintah, yaitu pendidikan dan pariwisata.
Indonesia dan Australia memiliki semangat yang sama demi mendorong layanan publik menuju digital.
Menteri Pembantu Perdana Menteri Australia Bidang Transformasi Digital Michael Keenan menyatakan, Indonesia dan Australia memiliki semangat yang sama demi mendorong layanan publik menuju digital. Australia juga menekankan investasi kepada perusahaan rintisan untuk membantu perekonomian negeri.
”Ambisi besar diperlukan sebuah negara sebagai pemacu untuk terus bertumbuh,” kata Editorial Director Asia The Economist Intelligence Unit (EIU) Charles Ross, beberapa waktu yang lalu.
Terlepas apakah target tercapai dalam dua tahun lagi, Indonesia masih perlu memperhatikan sektor SDM dan infrastruktur.
Progres
Dalam laporan EIU berjudul ”Connecting Commerce: Business Confidence in the Digital Environment” tahun 2018, sebanyak 36 persen eksekutif perusahaan di Jakarta percaya masalah terbesar berada pada kekurangan SDM.
Laporan dibuat dengan mewawancarai 2.620 eksekutif senior serta lebih dari 28 pemimpin dan pakar perusahaan di 45 kota seluruh dunia. Masih menggunakan laporan yang sama, kondisi infrastruktur Jakarta berada di posisi ke-9 dari 45 kota dunia.
”Untuk SDM, pemerintah memberi beasiswa luar negeri kepada 20 orang,” kata Rudiantara.
Indonesia dinilai belum memiliki tenaga ahli bidang digital yang cukup.
Sebanyak 10 orang dikirim ke India dan sisanya ke Tiongkok. Keduanya dinyatakan sebagai negara yang ahli di bidang digital. Selain itu, pemerintah juga membahas penerapan kurikulum digital sejak SMP.
Rudiantara menambahkan, pemerintah juga merencanakan pemudahan kedatangan pekerja asing dengan kecakapan khusus. Indonesia dinilai belum memiliki tenaga ahli bidang digital yang cukup.
Sementara itu, pemerintah menargetkan pembangunan jaringan serat optik nasional melalui proyek Palapa Ring ke 34 provinsi selesai tahun 2019. Pembangunan akan mendukung kecepatan internet di seluruh kota dan kabupaten guna mendorong kegiatan perekonomian.
Progres proyek Palapa Ring bagian barat telah mencapai 97 persen, bagian tengah 70 persen, dan bagian timur 30-35 persen. Bagian timur dinyatakan paling sulit karena banyak pegunungan.
”Konektivitas bagi negara dengan penduduk besar penting guna mobilisasi,” ujar CEO perusahaan telekomunikasi terbesar Australia, Telstra, Andy Penn.
Menurut dia, dunia telah memasukkan masa revolusi industri yang baru sehingga semua hal bisa terhubung dan otomatis. (DD13)