Pengusaha Keluhkan Mahalnya Lahan di Kawasan Industri
Oleh
Winarto Herusansono
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Kalangan pengusaha di Jawa Tengah menilai harga lahan di kawasan industri terlalu tinggi.
Hal tersebut membuat sebagian pengusaha enggan berinvestasi. Mereka berharap, pembangunan jalan tol dapat menumbuhkan kawasan industri dan memperlancar jalur distribusi.
Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Tengah Agung Wahono, Jumat (2/2), mengemukakan, di sekitar ruas tol Semarang-Salatiga sepanjang 17,6 kilometer telah dirancang kawasan industri Harjosari, Bawen, Pringapus, hingga Tenggaran, Kabupaten Semarang.
”Sayang sekali setelah jalan tol di ruas Semarang-Salatiga berfungsi setahun terakhir, impian pengusaha merasakan kawasan industri yang lokasinya memiliki akses langsung ke jalan tol belum juga terwujud. Kendala ada pada mahalnya nilai lahan setelah adanya jalan tol,” ujar Agung.
Dia menyatakan, pengusaha di Jateng masih memerlukan kawasan industri, menyusul bermunculannya industri manufaktur di sejumlah daerah, seperti di Grobogan, Boyolali, Jepara, Demak, Salatiga, Kabupaten Semarang, Kendal, dan wilayah Solo Raya.
Kawasan industri bagian dari zona industri di suatu daerah yang sudah dilengkapi infrastruktur dan sarana pendukung.
Sejak perencanaan adanya pembangunan jalan tol, pengusaha optimistis akan ada harapan baru mendapatkan lokasi guna pengembangan industrinya seiring dengan jalan tol yang identik dengan kelancaran distribusi barang.
Kawasan industri bagian dari zona industri di suatu daerah yang sudah dilengkapi infrastruktur dan sarana pendukung, seperti lokasi, akses jalan, ketersediaan sumber tenaga listrik, jaringan air bersih, serta keabsahan lahan.
Namun kenyataannya, hal itu sulit diwujudkan, menyusul kenaikan harga lahan setelah jalan tol berfungsi. Lahan di tepian jalan tol tidak ada lagi yang nilainya di bawah Rp 800.000 per meter persegi. Terlebih untuk ukuran kawasan industri.
Wakil Ketua Bidang Investasi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Tengah Didik Soekmono, yang juga pengusaha PT Tanah Mas Semarang, menjelaskan, kawasan industri yang sebelumnya disiapkan untuk mendukung laju perekonomian dengan adanya jalan tol ternyata meleset.
Kelemahan mendirikan pabrik atau tempat produksi di zona industri itu, tidak tersedia studi analisis mengenai dampak lingkungan, tidak mensyaratkan unit pengolah limbah industri atau limbah sampah.
Hal ini karena lemahnya pemerintah daerah menyiapkan lahan akibat tidak memiliki bank lahan yang dikuasai pemda.
Pemerintah daerah juga sudah tidak sanggup membebaskan lahan. Pasalnya, tidak ada lahan kawasan industri, yang harga tanahnya di bawah Rp 500.000 per meter persegi.
Dengan harga tinggi, pengusaha skala regional tentu tidak mampu sekiranya juga harus masuk ke kawasan industri seperti di Kendal yang sudah dilengkapi dengan pelabuhan mandiri.
Faktor harga lahan yang mahal ini menjadi pemicu banyak pengusaha memilih mengembangkan dan mendirikan pabrik baru di zona industri.
Dengan harga yang masih terjangkau, area zona industri di kawasan perdesaan menjadi pilihan realistis bagi pengusaha. Tidak heran, zona industri di sejumlah kabupaten menjadi favorit diincar pengusaha. Mereka telah memilih lokasi tersebut 3-4 tahun sebelumnya.
”Kelemahan mendirikan pabrik atau tempat produksi di zona industri itu, tidak tersedia studi analisis mengenai dampak lingkungan, tidak mensyaratkan unit pengolah limbah industri atau limbah sampah. Akses jalan tinggal menyambung ke jalan kampung atau jalan kabupaten,” ujar Didik.