Jangan Sampai Jempol Lebih Cepat Dibandingkan Pikiran
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·3 menit baca
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, selama 2017, terjadi peningkatan hampir 900 persen jumlah pengaduan masyarakat terkait konten negatif, seperti hoaks dan ujaran kebencian. Mengapa hal ini terjadi?
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, saat memberikan kuliah umum terkait ekonomi digital di Universitas Muhammadiyah Cirebon, Jawa Barat, Jumat (2/2), membeberkan bagaimana hoaks demikian mudah menular. ”Itu terjadi karena kita menyebarkan berita bohong atau hoaks tanpa memikirkan terlebih dahulu kebenaran dan dampak berita tersebut,” ujar Rudiantara.
Fenomena tersebut muncul karena pengguna media sosial di Indonesia umumnya ingin jadi yang pertama menyebarkan informasi. ”Mereka mau eksis, tetapi tidak mengetahui apakah informasi itu hoaks atau benar,” kata Rudiantara yang mengaku geram dengan fenomena ini.
Lalu, bagaimana cara mengidentifikasi hoaks dan ujaran kebencian di tengah tsunami informasi? Rudiantara mengatakan, konten itu umumnya memiliki ciri-ciri, yakni di dalam informasi atau berita tersebut terdapat kalimat ”dari grup sebelah”, ”ayo viralkan”, dan mengatasnamakan kelompok tertentu. Isunya terkait SARA, fitnah tentang seseorang, dan berita bohong lainnya.
Jika menemukan tanda-tanda tersebut, pengguna media sosial sepatutnya meragukan berita itu. Bukan malah meneruskan ke beberapa grup karena didorong keinginan untuk eksis. ”Jangan sampai jempol kita lebih cepat daripada pikiran kita,” ujar Rudiantara.
Padahal, hoaks dan ujaran kebencian sangat berpotensi memprovokasi dan mengadu domba masyarakat. Itu sebabnya, sejumlah regulasi mengatur mengenai persoalan ini, seperti Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Surat Edaran Kepala Polri No SE/6/X/2015.
Selama 2017, Polri menangani 3.325 kasus ujaran kebencian dan hoaks. Jumlah itu meningkat dibandingkan 1.829 kasus yang ditangani pada 2016.
Ancaman hoaks dan ujaran kebencian begitu nyata di dunia maya. Pada 2016, lebih dari 97 persen dari 132 juta warganet merupakan pengguna media sosial.
Ada kepentingan apa di balik hoaks? Rudiantara tidak mengetahui pasti. Sebab, hanya pembuat dan penyebar hoaks yang punya alasannya. Namun, ia tidak menutup kemungkinan, hoaks semakin marak saat masa pilkada dan pemilu.
Bahkan, hoaks menjadi sumber pendapatan pihak yang tidak bertanggung jawab. Pertengahan 2017 lalu, misalnya, kepolisian menindak kelompok Saracen, salah satu sindikat yang menjual jasa untuk memproduksi dan menyebarkan hoaks.
Ancaman hoaks dan ujaran kebencian begitu nyata di dunia maya. Pada 2016, lebih dari 97 persen dari 132 juta warganet merupakan pengguna media sosial. Artinya, hampir 50 persen penduduk Indonesia pengguna media sosial sehingga rentan terpapar hoaks dan ujaran kebencian.
Di Jerman, cerita Rudiantara, terdapat undang-undang untuk menyikapi hoaks. ”Ada penalti bagi perusahaan media sosial jika tidak menghapus hoaks dalam 24 jam. Setiap satu hoaks didenda Rp 7,5 miliar,” ujarnya.
Bagaimana dengan Indonesia? ”Di Jerman, hanya butuh 2 atau 3 bulan membuat undang-undang. Di Indonesia, bisa tahunan,” kata Rudiantara.
Dia mengakui, pemerintah tidak bisa sendiri menangkal hoaks dan ujaran kebencian. Untuk itu, pihaknya mengajak semua elemen masyarakat. Pada Januari 2016, Rudiantara datang ke Majelis Ulama Indonesia untuk berdiskusi terkait hoaks dan ujaran kebencian.
Pada Mei 2017, MUI menerbitkan fatwa tentang hukum dan pedoman beruamalah melalui media sosial. Fatwa tersebut antara lain mengharamkan hoaks, penyebaran permusuhan, dan fitnah di media sosial.
Rudiantara juga telah merangkul sejumlah kelompok masyarakat dan tokoh agama dalam Gerakan #Siberkreasi. Menurut dia, secara rutin, tiga bulan sekali, pihaknya berkumpul dengan sejumlah pihak untuk mengevaluasi gerakan ini. Masyarakat juga diminta melapor jika mendapatkan hoaks dan ujaran kebencian ke aduankonten@mail.kominfo.go.id.
Muncul anggapan, perusahaan-perusahaan media sosial cenderung menjadi penumpang gelap (freerider).
Direktur Indonesia New Media Watch Agus Sudibyo dalam opini di Kompas, 14 Oktober 2017, mengatakan, penegakan hukum terkait hoaks dan ujaran kebencian juga harus menyentuh perusahaan media sosial. Muncul anggapan, perusahaan-perusahaan media sosial cenderung menjadi penumpang gelap (freerider).
Mereka mengambil banyak keuntungan dari demokratisasi digital, tanpa menanggung beban tanggung jawab semestinya atas ekses yang muncul. Lalu, tanggung jawab seperti apa yang diharapkan? Perusahaan media sosial, katanya, dapat menyisihkan keuntungan ekonominya guna mendukung program literasi masyarakat.
Ini penting, sebab, literasi media di Tanah Air cukup rendah. Buktinya, mudahnya hoaks dan ujaran kebencian menyebar. Jempol lebih cepat dibandingkan pikiran.