JAKARTA, KOMPAS — Al-Jabiri, Eropa dan Kita merupakan buku kumpulan tulisan Muhammad Abed al-Jabiri terkait tafsir kontemporer manhaji Islam Nusantara. Al-Jabiri (1935-2010) dikenal sebagai intelektual publik dan aktivis kelahiran Maroko.
Al-Jabiri telah menghasilkan 30 buku, puluhan artikel jurnal, dan ratusan tulisan di koran. Ia mendalami berbagai aliran filsafat, metodologi, dan pendekatan modern di Eropa. Selain itu, Al-Jabiri juga menguasai segenap seluk beluk kekayaan tradisi Arab-Islam dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Al-Jabiri mengetahui cara menghidupkan tradisi Islam dalam konteks kekinian, tetapi tidak tenggelam di masa lalu. Ia belajar ke Eropa, tetapi tahu dan sadar pada tradisi dan kekinian.
Al-Jabiri mengetahui cara menghidupkan tradisi Islam dalam konteks kekinian, tetapi tidak tenggelam di masa lalu. Ia belajar ke Eropa, tetapi tahu dan sadar pada tradisi dan kekinian.
Ahmad Baso, editor dan penerjemah Al-Jabiri, Eropa dan Kita, mengatakan, Al-Jabiri telah menemukan sebuah metodologi melalui pendekatan struktural.
”Ia tidak sekadar mengecap sebuah ide, tetapi mencernanya sehingga relevan dengan kekinian dan kepentingan kita,” kata Ahmad dalam acara bedah buku yang diselenggarakan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) di Kramat Jati, Jakarta Timur, Jumat (2/2).
Menurut Ahmad, Al-Jabiri mampu membuahkan pemikiran sesuai dengan konteksnya dan dapat diaktualisasikan sesuai dengan masanya. Ia menjelaskan, Al-Jabiri belajar dari filsuf Eropa, khususnya Perancis, tetapi Al-Jabiri mampu mencernanya dan menyesuaikan dengan kondisi di Maroko.
Hal itu berlaku juga di Indonesia. ”Kita harus mampu mencerna ilmu dari luar dan mengangkatnya sesuai dengan pandangan kita masing-masing,” kata Ahmad.
Ahmad mengatakan, Al-Jabiri memiliki metodologi yang kuat dalam memandang tradisi, yaitu secara subyektif dan obyektif. Keduanya tidak dapat dipisahkan dan harus aktual.
Sulit dipahami
Al-Jabiri dikenal sebagai pemikir yang sulit dipahami. Idenya sporadis dan kajiannya menggunakan metodologi yang serius.
Intelektual muda Nahdlatul Ulama dan Ketua Moderate Muslim Society Zuhairi Misrawi mengatakan, Al-Jabiri menggunakan tradisi untuk memecahkan masalah sesuai dengan zamannya. Ia selalu mengonstekstualkan tradisi sesuai dengan situasi kekinian dan tidak kaku.
Al-Jabiri dikenal sebagai pemikir yang sulit dipahami. Idenya sporadis dan kajiannya menggunakan metodologi yang serius.
Tradisi dimaknai dan menjadi kekuatan untuk perubahan ke arah yang lebih baik. ”Tradisi digunakan untuk merespons masalah yang terjadi saat ini, seperti korupsi dan kemiskinan,” kata Zuhairi.
Sebuah tradisi dapat relevan pada waktu tertentu, tetapi belum tentu tradisi tersebut relevan saat sekarang sehingga perlu rasionalitas dan subyektivitas. ”Kita harus mampu memecahkan masalah yang terjadi pada masa sekarang,” kata Zuhairi.
Zuhairi mengajak setiap orang mau membuka cakrawala dengan mempelajari berbagai ilmu. Dengan ilmu tersebut, setiap orang diharapkan dapat mengatasi masalah yang terjadi pada masa sekarang.
Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU Abdul Moqsith Ghazali berpandangan, banyak perdebatan tentang pemikiran Al-Jabiri. ”Tidak ada uji coba terhadap metode tafsir Al Quran yang dilakukan oleh Al-Jabiri,” kata Abdul.
Abdul mengatakan, Al-Jabiri kuat secara metodologi, tetapi lemah dalam tafsir. Oleh karena itu, perlu ada metodologi sederhana yang dapat diterapkan secara umum.
Menurut Abdul, butuh waktu yang lama untuk memahami pemikiran Al-Jabiri. Apalagi, Indonesia tidak memiliki kedekatan dengan budaya Perancis sehingga perlu ada buku pengantar untuk memahami pemikiran Al-Jabiri. (DD08)