”Petehku Isen Mulang”, Pesan 100 Tahun Mengenang Tjilik Riwut
Petehku isen mulang adalah sebuah ungkapan dari Tjilik Riwut yang menjadi slogan dan kekuatan masyarakat Kalimantan Tengah. Ungkapan itu berarti ”Pesanku Jangan Menyerah” yang saat ini menjadi slogan dan kekuatan masyarakat Kalimantan Tengah. Siapa sebenarnya sosok Tjilik Riwut?
Bagi masyarakat suku Dayak, Tjilik Riwut adalah legenda. Namun, bagi bangsa Indonesia, Tjilik Riwut adalah pahlawan nasional. Ia adalah gubernur pertama Provinsi Kalimantan Tengah yang diangkat langsung oleh Presiden Soekarno pada 30 Juni 1958.
Nama Tjilik Riwut begitu melegenda di Kalimantan Tengah. Selain menjadi nama bandara dan nama jalan, Tjilik Riwut memiliki sejumlah kisah perjalanan hidup yang mengagumkan. Tak hanya berkarisma sebagai pemimpin, putra asli Dayak Ngaju itu juga dikenal sebagai sosok yang magis.
Penghuni Bukit Batu
Lahir di sebuah desa di Kasongan, Kabupaten Katingan, pada 2 Februari 1918, Tjilik Riwut dikenal sangat menyukai hutan, bahkan sering menyebut dirinya sendiri ”orang hutan”. Sosok magisnya muncul karena kegemarannya masuk keluar hutan dan bertapa. Ia dikenal sangat mencintai adat budaya Dayak.
Hal itu membuat Tjilik Riwut memiliki begitu banyak gelar adat yang disematkan tokoh-tokoh Dayak. Salah satunya, Anak Nyaru Hapatar Batu, Antang Liang Habalu Kilat, Mangkalewu Bukit Batu, yang berarti Anak Dewa Petir Bertangga Batu, Burung Elang Berambut Kilat, Penghuni Bukit Batu.
Bukan tanpa alasan, gelar adat itu disematkan kepadanya karena semasa hidup, Tjilik Riwut kerap melakukan pertapaan di Bukit Batu yang berada di Kasongan. Saat ini tempat itu dijadikan obyek wisata dan berubah nama menjadi ”Pertapaan Pahlawan Nasional Tjilik Riwut”.
Dalam buku Maneser Panatau Tatu Hiang, Tjilik Riwut, (2003), Tjilik Riwut menuliskan bahwa tempat itu merupakan tempat Riwut Dahiang, ayah Tjilik Riwut, berdoa kepada Yang Kuasa agar diberikan anak laki-laki. Sebelum Tjilik Riwut lahir, semua anak laki-laki Riwut Dahiang meninggal dunia di usia balita.
Setelah berdoa, Riwut Dahiang mendapatkan wangsit bahwa ia akan diberikan anak laki-laki yang akan mengemban tugas khusus kelak. Lalu, Tjilik Riwut lahir dan sejak kecil ia selalu dibawa ayahnya berdoa di Bukit Batu.
Bukit Batu menjadi tempat favorit Tjilik Riwut bermain semasa kecil dan berdoa sejak ia remaja hingga dewasa. Di tempat itulah, Tjilik Riwut mendapatkan wangsit untuk pergi ke Pulau Jawa untuk melakukan tugas, yang menurut Tjilik Riwut saat itu adalah berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Sampai saat ini, baik warga Kalimantan Tengah maupun di luar Kalimantan kerap mendatangi tempat itu untuk meminta wangsit, berdoa, dan lainnya. Tempat tersebut juga sering menjadi lokasi perayaan kebudayaan suku Dayak Ngaju.
Terjun payung
Sebutan ”orang hutan” memang sesuai dengan perilakunya semasa hidup. Baginya, hutan adalah spirit hidup orang Dayak dan tempat bermain Tjilik Riwut semasa kecil. Bahkan, ia pernah melakukan perjalanan mengelilingi Pulau Kalimantan tiga kali dengan berjalan kaki, masuk keluar hutan, dan menyusuri sungai dengan rakit.
Kegemarannya masuk keluar hutan menjadi keuntungan bagi Tjilik Riwut saat berjuang setelah kemerdekaan. Ia menggunakan keahliannya itu untuk mengusir Belanda dari Pulau Kalimantan.
PM Laksono dan kawan-kawan dalam buku Pergulatan Identitas Dayak dan Indonesia-Belajar dari Tjilik Riwut (2006) menuliskan, pada tahun 1947, Gubernur Kalimantan yang saat itu dijabat Muhammad Nur pernah kebingungan karena pemerintah sipil Hindia-Belanda (NICA) menutup berbagai akses ke Kalimantan.
Muhammad Nur kemudian menujuk Tjilik Riwut, yang saat itu berpangkat mayor, menjadi salah satu pemimpin pasukan terjun TNI. Tjilik Riwut sendiri yang membuat strategi agar pasukan tentara bisa masuk melalui wilayah utara Kalimantan.
Operasi penerjunan itu dikenal dengan nama MN 1.001 atau yang kerap disebut operasi Muhammad Nur dengan 1.001 cara. Strategi mengantar tentara Indonesia melalui jalur udara dianggap ”gila” tetapi efektif. Tentara Belanda tidak menyadari masuknya tentara Indonesia, apalagi Tjilik Riwut tahu betul seluk-beluk hutan di Kalimantan Tengah.
Operasi itu berhasil membawa pasukan tentara Indonesia masuk ke Kalimantan Tengah. Mereka mengajak semua masyarakat Dayak bergerilya mengusir tentara belanda.
Sebelas tahun setelah kepergiannya, pada tahun 1998 pemerintah menetapkan Tjilik Riwut menjadi pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden No 107/TK/1998 tertanggal 6 November 1998. Namanya diabadikan menjadi nama bandara di Palangkaraya dan nama jalan Trans-Kalimantan yang panjangnya mencapai 200 kilometer.
Keberhasilannya itu mengibarkan nama Tjilik Riwut sampai ia diangkat menjadi gubernur pada periode 1958-1967. Tjilik Riwut kemudian meninggal pada 17 Agustus 1987 di umur 69 tahun.
Lalu, 11 tahun setelah kepergiannya, pada tahun 1998 pemerintah menetapkan Tjilik Riwut menjadi pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden No 107/TK/1998 tertanggal 6 November 1998. Namanya diabadikan menjadi nama bandara di Palangkaraya dan nama Jalan Trans-Kalimantan yang panjangnya mencapai 200 kilometer.
”Bapak memiliki perjuangannya sendiri dengan tema ’Petehku Isen Mulang’ itu menunjukkan perjuangan dengan semangat yang sama harus kita lakukan saat ini di era yang semuanya serba baru ini,” kata Nila Riwut dalam perayaan 100 tahun mengenang Tjilik Riwut di Palangkaraya, Jumat (2/2).
Wali Kota Palangkaraya Riban Satia, yang hadir dalam kegiatan itu, mengatakan, Tjilik Riwut merupakan sosok yang tidak bisa dilupakan. Ia adalah bagian dari sejarah perjuangan bangsa dan bapak pembangunan Kalimantan Tengah.
”Pesan beliau untuk pantang menyerah dan terus berjuang itu kita maknai kembali agar setiap lapisan masyarakat Kalimantan Tengah bersama-sama berjuang demi kesejahteraan bersama.”
Berbagai macam koleksi, foto, dan buku-buku tentang Tjilik Riwut saat ini bisa dilihat di Gallery dan Resto Tjilik Riwut di Palangkaraya.
Angka 17
Nila Riwut mengatakan, ayahnya sangat fanatik dengan angka 17. Sebagian besar perjalanan hidupnya berhubungan dengan angka itu. Berikut 10 contoh betapa fanatiknya Tjilik Riwut akan angka 17:
- Operasi MN 1.001 yang dipimpin Mayor Tjilik Riwut di Desa Sambi, Pangkalan Bun, dilakukan pada 17 Oktober 1947. Peristiwa bersejarah tersebut ditetapkan sebagai Hari Jadi Pasukan Khas TNI AU.
- Desa Pahandut, yang kemudian menjadi Kota Palangkaraya, ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah, adalah desa yang ke-17 dihitung dari Sungai Kahayan.
- Provinsi Kalimantan Tengah dengan Tjilik Riwut sebagai gubernur pertama adalah Provinsi yang ke-17 di Indonesia.
- Provinsi Kalimantan Tengah lahir pada masa kabinet yang ke-17.
- Peletakan batu pertama Kota Palangkaraya sebagai ibu kota Kalimantan Tengah dilaksanakan pada 17 Juli 1957. Sebagai catatan, saat itu Tjilik Riwut membuka wacana pemindahan ibu kota kepada Presiden Soekarno.
- Pada saat menjadi Gubernur KDH Tk I Provinsi Kalimantan Tengah, Tjilik Riwut mempunyai telepon yang bernomor 17 dan mobil dinas bernomor polisi KH 17.
- Pembangunan gereja katedral umat Katolik pertama di Palangkaraya, konstruksi bangunannya mencerminkan angka 17-8-1945, di mana bangunannya berbentuk segi delapan.
- Tjilik Riwut mengakhiri masa jabatannya sebagai Gubernur KDH Tk I Kalimantan Tengah pada 17 Februari 1967.
- Nama lengkap istri Tjilik Riwut, Clementine Suparti, terdiri dari 17 huruf.
- Pada 17 Agustus 1987, tepat pada pukul 04.45 Wita, Tjilik Riwut wafat di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Nila Riwut mengatakan, semua peristiwa yang terjadi pada tanggal 17 sebagian besar terjadi karena kebetulan atau tanpa disengaja. Kegemarannya dengan angka 17 merupakan bentuk kebanggan dan kebahagiaan Tjilik Riwut akan hari kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.