Harus Ada Definisi yang Jelas dari Frasa Penghinaan Presiden
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemunculan kembali pasal tindak pidana penghinaan kepada presiden, wakil presiden, dan pemerintah dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang hingga kini masih dibahas DPR dan pemerintah dinilai dapat mengancam demokrasi. Oleh karena itu, jika pasal tersebut nantinya tetap ada, definisi penghinaan presiden harus dijelaskan secara rinci.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi menilai, definisi penghinaan yang belum rinci dijelaskan dalam pasal penghinaan presiden dapat berakibat pembatasan terhadap partisipasi politik masyarakat. Menurut dia, penyampaian orasi, kritik terhadap pemimpin negara masih dibutuhkan.
”Harus dijelaskan definisi menghinanya. Yang ditakutkan kalau kritik dan memberikan penilaian terhadap presiden itu dianggap penghinaan. Memang ada pihak yang bukan mengkritik presiden, tetapi sudah menghina dengan tidak pantas, itu memang perlu didiskuikan lebih lanjut bagaimana langkah pengaturannya. Akan tetapi, batasannya harus jelas,” kata Veri di Kantor Kode Inisiatif, Jakarta, Minggu (4/2).
Dalam draf RKUHP per 10 Januari 2018, ditemukan pasal 263, 264, 284, dan 285 yang mengatur bahwa setiap orang yang melakukan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, baik secara langsung di muka umum maupun melalui sarana teknologi informasi, dapat dipidana penjara paling lama lima tahun. Adapun jika penghinaan tersebut ditujukan pada pemerintah, pelaku diancam hukuman pidana paling lama 3 tahun.
Inti dari pasal tersebut sebelumnya telah tercantum dalam pasal 134, 137, 154, 155 KUHP, dan 136 bis KUHP. Ancaman pidana penjara jika menghina presiden atau wakil presiden adalah paling lama 6 tahun. Sementara itu, jika penghinaan ditujukan kepada pemerintah, ancaman pidananya paling lama 7 tahun.
Namun, Mahkamah Konstitusi pada 2006 dan 2007 telah menghapus semua pasal tersebut dari KUHP.
Managing Director Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menilai, kehadiran pasal-pasal yang berisi larangan penghinaan presiden, wakil presiden, dan pemerintah dapat menekan adanya kritik dan pendapat terhadap kebijakan presiden dan wapres. Selain itu, pengadaan kembali pasal-pasal tersebut jelas memperlihatkan adanya pembangkangan terhadap konstitusi di Indonesia karena ketentuan di dalam pasal tersebut telah dibatalkan MK sebelumnya.
Erasmus mencontohkan, tindakan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Zaadit Taqwa yang pada Jumat (2/2) melakukan aksi pemberian kartu kuning berisi kritik kepada Presiden Jokowi saat menghadiri Dies Natalies UI di Balairung dapat dipidana apabila pasal penghinaan terhadap presiden di RKUHP tetap disahkan.
Terdapat perbedaan sifat yang sangat fundamental antara kedudukan raja/ratu dalam UUD Kerajaan Belanda, yang tidak dapat diganggu gugat, dengan kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden RI menurut UUD 1945.
Menurut Erasmus, pasal-pasal penghinaan presiden dapat dijadikan alat represi penguasa terhadap masyarakat sipil. Ihwal aksi tersebut, sebelumnya Presiden Joko Widodo menganggap apa yang dilakukan Zaadit ialah hal yang lumrah dilakukan oleh aktivis mahasiswa. Ia pun tidak mempermasalahkannya.
Warisan kolonial
Menurut Erasmus, kemunculan pasal penghinaan terhadap presiden, wakil presiden, dan pemerintah dalam KUHP sebelumnya merupakan warisan pemerintahan kolonial Belanda. Oleh karena, itu adanya kembali pasal-pasal tersebut dalam RKUHP tidak mencerminkan semangat pembaruan KUHP yang salah satunya bertujuan melakukan dekolonialisasi hukum di Indonesia.
”Secara historis, pasal ini disebut sebagai pasal lesse majeste (melindungi martabat keluarga kerajaan Belanda) yang bermaksud menempatkan kepala negara tidak bisa diganggu gugat atau tidak boleh dikritik,” kata Erasmus.
”Terdapat perbedaan sifat yang sangat fundamental antara kedudukan raja/ratu dalam undang-undang dasar Kerjaan Belanda, yang tidak dapat diganggu gugat, dengan kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden RI menurut UUD 1945 dan dengan memperhatikan prinsip dalam dalam KUHP mengenai ’asas kesamaan di depan hukum’. Selain itu, kita juga tidak mengenal adanya forum previlegiatum (hak khusus yang dimiliki oleh pejabat-pejabat tinggi untuk diadili oleh suatu pengadilan yang khusus/tinggi dan bukan oleh pengadilan negeri) dalam peradilan di Indonesia,” kata Erasmus.
Miko Ginting, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mengatakan, selain semangat dekolonialisasi, tujuan awal pembaharuan KUHP yang memang belum pernah terjadi sejak 1963 ialah melakukan demokratisasi hukum, konsolidasi hukum, dan penyesuaian terhadap norma hukum baru di Indonesia dan dunia internasional.
”Dengan munculnya kembali pasal lesse majeste ini, tentu tidak sejalan dengan semangat dekolonialisasi dan demokratisasi hukum,” kata Miko.
Perbedaan delik
Anggota Panitia Kerja (Panja) RKUHP dari Fraksi Partai Nasdem Teuku Taufiqulhadi menilai, pasal lesse majeste tetap diperlukan kehadirannya dalam KUHP yang baru nantinya. Menurut dia, hal itu tidak akan membatasi hak masyarakat sipil untuk berekspresi karena adanya perbedaan delik dalam pasal di RKUHP yang akan disahkan, dengan pasal lesse majeste yang pernah ada di KUHP sebelumnya.
”Dahulu, kan, deliknya delik biasa, delik umum (dapat diproses tanpa adanya laporan). Akan tetapi, sekarang ini delik aduan. Kalau misalnya presiden merasa tidak dihina dan tidak melaporkan, ya tidak akan diproses secara hukum,” kata Taufiq.
Menurut Taufik, siapa pihak yang berhak mengadu jika ada dugaan tindak pidana penghinaan presiden masih didiskusikan hingga saat ini. Apakah harus presiden dan wakil presiden yang dapat mengadu atau bisa dilaporkan oleh lembaga yang mewakilinya.
”Jika nanti ada laporan (penghinaan), bukan berarti aparat keamanan langsung bisa memidana. Itu pun harus memenuhi unsur-unsur penghinaan,” kata Taufiq. (DD14)