Satu Langkah Menuju Peralihan Cantrang
TEGAL, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan langsung ”menjemput bola” dalam menindaklanjuti perintah Presiden Joko Widodo, terkait peralihan dari alat tangkap cantrang ke alat yang ramah lingkungan. Tim khusus memetakan permasalahan dengan mendata dan memverifikasi para pemilik kapal cantrang, dimulai dari Kota Tegal, Jawa Tengah.
Hingga Minggu (4/2) pagi, di kantor Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari, Kota Tegal, Tim Khusus Alih Alat Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) masih mendata dan memverifikasi para nelayan sekaligus pemilik kapal cantrang. Setelah mendata dan memverifikasi berkas-berkas, tim mewawancarai nelayan secara mendalam kemudin mengecek fisik kapal.
Berdasarkan rekapitulasi KKP, hingga Sabtu (3/2) pukul 18.41, ada 215 pemilik kapal yang mendaftar untuk didata dan diverifikasi. 187 di antaranya sudah diwawancarai. Cek fisik itu meliputi nama, ukuran, serta tanda selar kapal, telah dilakukan pada 241 kapal (131 pemilik).
Dalam pendataan dan verifikasi, nelayan juga dipersilakan mengisi dan menandatangani surat pernyataan kesanggupan beralih alat tangkap. Itu merupakan wujud komitmen untuk meninggalkan cantrang dan beralih ke alat tangkap ramah lingkungan, sesuai pilihan mereka sendiri. Sejauh ini, 156 pemilik kapal menyatakan sanggup, sedangkan 31 menolak.
Ketua Tim Khusus Alih Alat Tangkap KKP Laksamana Madya (Purn) Widodo mengatakan, dari pendataan, verifikasi, dan wawancara kepada para pemilik kapal, rata-rata sudah siap dan mengetahui peraturan terkait cantrang.
”Namun, hingga saat ini mereka belum bisa mengatakan butuh waktu berapa lama untuk beralih. Tidak apa-apa, karena yang penting sudah ada itikad baik untuk mau beralih,” kata Widodo.
Widodo menambahkan, pihaknya hanya memfasilitasi orang-orang yang merupakan pemilik kapal. Jika yang mendaftar bukan si pemilik langsung, akan ditolak. Hal itu untuk mendapat data yang benar-benar akurat, termasuk bagaimana cara mereka membeli kapal. Setelah Tegal, tim akan bergeser secara bertahap ke Kabupaten Batang, Pati, Rembang (Jateng), dan Lamongan (Jatim).
Menurut Widodo, tim khusus dari KKP dibentuk untuk mendata dan memverifikasi kapal untuk menindaklanjuti perintah Presiden Joko Widodo saat bertemu dengan perwakilan nelayan dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Jakarta, Rabu (17/1). Dalam pertemuan itu, disepakati, nelayan cantrang boleh beroperasi hingga peralihan alat tangkap selesai.
Kendati demikian, untuk memberikan izin, KKP terlebih dahulu mendata kapal nelayan cantrang. ”Di Tegal, misalnya, diperkirakan ada 471 kapal yang diduga melakukan mark down. Artinya, meski di surat tertera 30 GT (gross tonage), ada yang 58, 100, dan lainnya. Tugas kami mengecek dan memverifikasi ulang. Sebab, untuk berlayar, kapal 30 GT ke bawah hanya membutuhkan izin daerah. Namun, di atas 30 GT izin dari pusat,”ucap Widodo.
Susi meninjau
Pada Jumat (2/2), Susi Pudjiastuti sempat beraktivitas di pesisir Kota Tegal dan meninjau langsung pendataan dan verifikasi para nelayan. Ia mendapat pengawalan ketat dari kepolisian dan TNI.
Saat memasuki kantor PPP Tegalsari, sejumlah nelayan yang memadati lokasi parkiran berteriak ”cantrang” ke arah Susi. Namun, Susi tak memedulikannya dan langsung masuk ke dalam kantor.
Di dalam kantor, yang dijadikan tempat memverifikasi berkas dan wawancara, Susi sempat menyapa sejumlah pemilik kapal. ”Nelayan harus jujur. Kalau kapalnya besar, jangan mengaku kecil. Kalau enggak ada modal, pinjam ke bank, kan, ada BRI. Mumpung pemerintah sedang memfasilitasi,” kata Susi, yang kemudian langsung meninggalkan lokasi.
Di sela-sela press briefing, Jumat, Susi menuturkan, masa peralihan memang tidak ditentukan hingga 2018, tetapi dirinya mempertanyakan, mengapa harus lebih dari setahun.
”Persoalannya, kan, bank. Bank ada. Uangnya tinggal minta ke bank. Kalau masih ada utang, kan, ada restrukturisasi. (Utang) yang lama mau tunda dulu pembayarannya, tidak apa-apa,” katanya.
Lebih lanjut, Susi mengatakan, melalui pendataan dan verifikasi, nantinya akan terdata untuk berikutnya ada penerbitan Sertifikat Laik Operasi (SLO). ”(Intinya) mereka mau beralih atau tidak? Kalau setuju beralih, diterbitkan. Waktunya pilih, 6 bulan, 1 tahun, atau 1,5 tahun. Sebagian tidak mau beralih, tetapi sebagian lagi mau,” kata Susi.
Widodo menambahkan, saat ini, sebenarnya waktu yang tepat bagi nelayan cantrang untuk beralih, pasalnya KKP memberi berbagai kemudahan. Selain terkait perizinan yang akan dipermudah, KKP juga menggandeng sejumlah bank, di antaranya BRI, BNI, dan Bank Jateng. Bank-bank tersebut, kata Widodo, akan memberi insentif kemudahan peminjaman.
Misalnya, apabila masih ada tanggungan, sejumlah kemudahan permodalan akan diberikan. ”Para nelayan masih memiliki aset dan lainnya, yang bisa diagunkan. Sebab, ternyata, berdasarkan verifikasi, mereka bukanlah nelayan kekurangan. Sejumlah nelayan memiliki rumah relatif besar, juga punya tabungan. Artinya, bukan nelayan yang kesulitan,” ucap Widodo.
Salah seorang nelayan, Muhammad Fauzi (30), mengungkapkan, pada prinsipnya, dirinya mau beralih dan mendukung pembatasan cantrang. Namun, sulit untuk menentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk beralih karena segalanya harus siap. Menurut dia, meski ada bantuan dari pemerintah, sulit secara mental untuk kembali mengutang karena saat ini dirinya pun masih memiliki utang di bank.
Sementara itu, Juru Bicara Aliansi Nelayan Indonesia Hadi Santoso menekankan, tidak ada penolakan peralihan cantrang ke alat tangkap yang ramah lingkungan dari organisasinya. Namun, butuh waktu peralihan hingga semua siap.
”Sebab, banyak yang harus disiapkan. Menyiapkan berbagai hal ini perlu waktu lebih dari setahun,” katanya.
Solusi komprehensif
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Sjarief Widjaja mengatakan, berdasarkan wawancara, terungkap bahwa keuntungan para pemilik kapal cantrang sangat besar. ”Misalnya, kapal ukuran 80 GT beroperasi dengan bekal Rp 400 juta dan meraih pendapatan rata-rata Rp 700 juta. Keuntungan dibagi dua, pemilik serta nakhoda dan ABK (anak buah kapal). Rata-rata memang bukan nelayan kecil,” katanya.
Sjarief menambahkan, seorang pemilik kapal rata-rata mempunya lebih dari satu kapal. Sebagian besar memiliki dua kapal. Ada pula yang memiliki 4-7 kapal. Para nelayan juga terikat dengan berbagai pihak, seperti para penjual ikan dan sejumlah perusahaan. Karena itu, penyelesaian tak hanya soal ”pindah dari cantrang”, tetapi harus dilihat secara komprehensif, termasuk solusinya.
Menurut Sjarief, saat ini, pihaknya masih akan terus memverifikasi dan mempelajari segala permasalahan yang dihadapi para nelayan untuk beralih alat tangkap.
”Permasalahan ini sudah ke individu masing-masing dan penyelesaiannya akan berbeda-beda. Setelah verifikasi tuntas, kami akan datang lagi dengan solusi. Saat ini, solusi sedang kami bangun,” kata Sjarief.
Salah satu solusi yang disiapkan, misalnya, apabila nelayan cantrang mau pindah ke alat tangkap ramah lingkungan yang menangkap cumi-cumi, pihaknya akan berusaha mendatangkan pembeli.
”Jadi akan ada kerja sama antara nelayan, pembeli, dan perbankan. Segitiga kerja sama ini untuk meyakinkan mereka mengganti alat. Penyelesaiannya harus komprehensif,” ucapnya.
Saat ini, KKP mendorong para nelayan mulai bersiap-siap pindah alat tangkap. Sjarief mengatakan, pihaknya mendata siapa saja yang akan merencanakan akan pindah dan siapa yang tidak. Itu terkait dengan izin berlayar selama masa peralihan. Sebab, perizinan tetap beroperasi akan diberikan apabila ada kemauan untuk pindah ke alat tangkap ramah lingkungan.