Mewaspadai Pergerakan Dow Jones
Sejak Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat, indeks Dow Jones terus melaju. Rekor-rekor baru terus tercipta. Namun, akhir pekan lalu, indeks yang menjadi acuan perdagangan saham ini tumbang sejenak.
Indeks Dow Jones memang luar biasa. Dalam satu tahun pertama Trump menjadi Presiden, indeks yang dibentuk tahun 1896 itu naik 5.000 poin atau sekitar 27 persen. Padahal, data memperlihatkan rata-rata kenaikan indeks hanya 10 persen pada satu periode kepemimpinan.
Sejak Trump terpilih, Dow Jones bahkan membukukan rekor harga tertinggi sebanyak 96 kali. Trump selalu membanggakan kenaikan indeks ini. Pada cuitan-cuitannya di Twitter, Trump antara lain yakin indeks Dow Jones akan tembus angka 30.000.
Dalam berbagai forum, termasuk Forum Davos, beberapa pekan lalu, Trump juga mempromosikan agar para investor segera berinvestasi di AS. Menurut Trump, inilah saat paling tepat berinvestasi di Amerika.
Mengapa saat ini paling tepat? Harus dipahami, salah satu pendorong kenaikan indeks adalah wacana Trump untuk mereformasi regulasi pajak. Pemangkasan pajak korporasi dan pribadi diyakini akan membuat lebih banyak kesempatan bagi korporasi memperluas usahanya.
Kita ambil contoh Apple, produsen telepon pintar iPhone. Menurut riset yang dipublikasikan Financial Times, dengan skema pajak baru, pajak Apple akan turun dari 78,6 miliar dollar AS (setara dengan 60 persen cadangan devisa Indonesia) menjadi 29,3 miliar dollar AS saja.
Artinya, ada penghematan setoran pajak sebesar 47,3 milliar dollar AS. Tarif pajak Apple akan dikurangi dari 35 persen menjadi 21 persen jika usulan reformasi tersebut disetujui Senat.
Apple merupakan salah satu perusahaan AS, yang banyak mendapatkan keuntungan dari penjualannya di luar negeri. Dengan demikian, ada potensi dana sekitar 47 miliar dollar AS yang mungkin akan direpatriasi berdasarkan usulan reformasi pajak tersebut walau Apple belum memberikan sinyal akan adanya repatriasi.
Jadi Apple dan perusahaan Amerika lainnya berpeluang memiliki lebih banyak dana dengan regulasi itu. Sebagian dana akan disimpan atau untuk memperluas bisnisnya.
Sebagian perusahaan juga akan membagikan lebih banyak dana bagi para pemegang sahamnya. Jika dividen itu disimpan, tentu tidak berdampak terhadap perekonomian AS. Namun, jika perusahaan dan para pemegang saham memanfaatkan dana itu untuk ekspansi atau belanja, tentu saja berdampak.
Seperti ekonomi Indonesia, sekitar separuh dari ekonomi AS ditopang oleh konsumsi. Semakin banyak konsumsi, semakin laju ekonominya.
Selain reformasi pajak, tingkat pengangguran selama pemerintahan Trump menurun. Hingga Januari lalu, tingkat pengangguran tercatat 4,1 persen yang merupakan angka terendah sejak 2000. Pertumbuhan ekonomi yang sedang melaju membuat ketersediaan lapangan kerja semakin banyak.
Penurunan tingkat pengangguran juga diimbangi kenaikan upah rata-rata. Berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja AS akhir pekan lalu, upah rata-rata pada Januari 2018 naik 2,9 persen dibandingkan dengan Januari 2017.
Khusus di sektor swasta, ada kenaikan upah 2,8 persen pada tiga bulan terakhir pada 2017 dibandingkan dengan tahun lalu. Ini merupakan pertumbuhan tertinggi sejak krisis terjadi pada 2009.
Trump menjadi Presiden AS seiring kenaikan harga komoditas. Para ekonom juga mengatakan, bisa saja pemerintahan baru berbangga dengan keadaan ekonomi AS saat ini. Namun, sebelum Trump menjadi presiden, sudah ada pemulihan ekonomi dan kenaikan indeks kepercayaan konsumen serta pemulihan di sektor tenaga kerja.
Ada hal-hal di luar kekuatan presiden untuk mengaturnya. Selain itu, kerja dari pemerintah sebelumnya juga baru dirasakan sekarang.
Dow Jones berbalik?
Pada akhir pekan lalu, indeks Dow Jones ditutup turun dalam. Akhir pekan menjadi kelabu di bursa saham AS. Indeks Dow Jones yang tadinya perkasa turun 666 poin.
Selain Dow Jones, dua indeks utama di Wall Street, yaitu S&P 500 dan Nasdaq, juga melorot. Padahal, seperti Dow Jones, kedua indeks itu juga terus menanjak dan membukukan rekor.
Penurunan di bursa saham membuat imbal hasil obligasi pemerintah berdurasi 10 tahun yang menjadi acuan harga naik menjadi 2,8450 persen. Posisi tersebut merupakan posisi tertinggi sejak Januari 2014.
Kenaikan imbal hasil pada pasar obligasi bisa jadi membuat para investor melirik pasar surat utang karena imbal hasil yang lebih menarik.
Penyebab penurunan indeks tersebut antara lain kekhawatiran suku bunga akan lebih cepat naik dibandingkan prediksi para ekonom dan analis. Kenaikan upah mendorong belanja sehingga harga semakin tinggi karena banyak permintaan. Inflasi pun menjadi lebih tinggi.
Laju inflasi yang lebih tinggi, di atas target bank sentral sebesar 2 persen, dikhawatirkan membuat bank sentral lebih cepat menaikkan suku bunganya. Pejabat bank sentral bahkan telah memberikan sinyal, kenaikan suku bunga dapat lebih dari tiga kali pada 2018 ini untuk mengantisipasi laju inflasi.
Ketika bank sentral menaikkan suku bunga, tentu berimbas pada kenaikan suku bunga kredit juga. Korporasi dan konsumen rumah tangga yang terbiasa dengan tingkat suku bunga rendah akan membayar biaya utang uang lebih tinggi.
Jika berutang, jumlah bunga yang harus dibayarkan akan menjadi lebih tinggi. Biaya yang lebih tinggi akan memangkas keuntungan perusahaan.
Pejabat bank sentral bahkan telah memberikan sinyal, kenaikan suku bunga dapat lebih dari tiga kali pada tahun 2018 ini untuk mengantisipasi laju inflasi.
Salah satu faktor kenaikan harga saham adalah laba yang lumayan tinggi. Jika ada tambahan biaya, terjadi pemangkasan laba sehingga harga saham turun. Biasanya, kenaikan suku bunga membuat investor saham khawatir dan menarik dananya.
Kenaikan suku bunga juga merisaukan pasar obligasi. Ketika suku bunga meningkat, investor di pasar surat utang juga meminta kupon bunga lebih tinggi. Jika tidak dinaikkan, obligasi yang bisa ditawarkan tidak laku. Kenaikan suku bunga kupon obligasi ini juga menambah biaya utang.
Selain masalah suku bunga, masalah politik juga memengaruhi pasar saham. Suasana politik yang kurang baik membuat investor menjadi tidak nyaman.
Indeks Dow Jones harus dipahami tidak hanya memengaruhi perilaku para investor di pasar saham AS, tetapi juga di pasar lain, seperti Asia, termasuk Indonesia.
Tentu, tidak selamanya pasar saham Indonesia tergantung dan selaras dengan pasar saham di AS. Akan tetapi, ketika ada kekhawatiran di AS, para investor juga menyesuaikan portofolio, termasuk di pasar Indonesia. Porsi investor global di bursa saham Indonesia pun sekitar 33 persen.
Jika melihat indeks Dow Jones Futures yang masih melemah, dalam pekan ini mungkin saja pasar saham di Indonesia pun melemah. Indeks Harga Saham Gabungan yang sempat memecahkan rekor pekan lalu mungkin saja akan turun dan menguji level resisten pada posisi 6.549.
Ketika terjadi penurunan pasar saham, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan para investor di Bursa Efek Indonesia. Namun, strategi tersebut bergantung pada posisinya sebagai trader yang bertransaksi saham dengan cepat atau sebagai investor jangka yang cenderung menyimpan saham.
Melindungi keuntungan yang sudah di tangan, misalnya, dapat menjadi pilihan. Jika harga saham sudah cukup tinggi, di tengah gejolak seperti ini tidak ada salahnya mengambil keuntungan.
Investor dapat menjual sebagian besar sahamnya agar tidak rugi ketika harga saham turun. Selain itu, investor jangka panjang juga dapat mengakumulasi kembali saham-saham yang harganya sudah turun. Langkah lainnya adalah menanti pasar tenang kembali dan baru mulai membeli atau menjual saham-saham.