Sejumlah Pekerja Migran Kecewa
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pekerja migran di sektor formal, yaitu perawat dan pengasuh jompo hasil Kesepakatan Kemitraan Ekonomi (EPA) Indonesia-Jepang (IJEPA), merasa kecewa. Mereka menilai pekerjaan tidak sesuai ekspektasi dan keberatan harus mengikuti kembali tes agar dapat bekerja di Indonesia.
IJEPA merupakan kerja sama government to government yang ditandatangani pada 26 Juli 2007. Program ini mengirim perawat dan tenaga medis dari sejumlah daerah untuk bekerja di Jepang. Sementara Jepang juga sedang kekurangan tenaga kerja di bidang medis.
Lusi (29), calon pengasuh jompo angkatan VIII, menyatakan, ia kecewa karena sebelum diberangkatkan. Ia mengira akan menjadi perawat yang bertugas mengurusi orang lansia. Akan tetapi, ia ternyata tidak boleh mempraktikkan pengetahuan medis yang dimilikinya.
”Saya merasa dibatasi. Ketika ada orang lansia yang, misalnya, sedang mengalami gagal pernapasan, saya tidak boleh memberikan bantuan pernapasan buatan,” kata Lusi di sela acara Penyelenggaraan Pameran Bursa Kerja Perawat-Caregiver dan Acara Pelaporan Perawat-Caregiver yang Telah Kembali ke Tanah Air. Acara tersebut diselenggarakan Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia di Jakarta, Senin (5/2).
Menurut dia, jiwa melayaninya sebagai seorang perawat membuatnya tidak tahan karena tidak dapat berbuat apa-apa. Apalagi, pengawas yang mengampunya dan teman-teman sesama pengasuh jompo bukan merupakan orang lulusan ilmu keperawatan.
Ia hanya dapat bertindak sesuai perjanjian dalam kontrak, seperti memberikan makan pada jam tertentu atau memandikan lansia. Tindakan medis yang ia boleh lakukan hanya sebatas mengukur suhu tubuh ataupun tekanan darah.
Lusi adalah lulusan Diploma III (D3) STIKES Bethesda Yakkum, Yogyakarta, angkatan tahun 2007. Ia mendaftar program IJEPA pada 2014 dan berangkat ke Jepang tahun 2015. Setelah dua tahun, ia memutuskan kembali ke Indonesia untuk menikah.
”Sebenarnya saya seharusnya mengikuti ujian nasional Jepang untuk caregiver pada 2019,” ujarnya. Jika ia kembali bekerja di Jepang, ia tidak ingin kembali menjadi pengasuh jompo.
Merlin (27), calon pengasuh jompo angkatan VI, menyatakan hal serupa. Bekerja sejak tahun 2013-2018 di Jepang ternyata tidak sesuai harapannya.
Ia mengatakan, jenis pekerjaan yang ia lakukan tidak sesuai dengan pengetahuan keperawatan yang ia miliki. Kegiatan yang ia lakukan dinilai dapat dilakukan siapa pun karena merupakan pekerjaan sederhana.
Misalnya, ia bertugas memberi makan, memandikan, dan mengajak jalan-jalan orang lansia. Tugas-tugas itu ia nilai tidak sesuai dengan kemampuan yang ia miliki.
Perempuan lulusan Universitas Advent Indonesia (UNAI), Bandung, angkatan 2008 itu juga menyatakan tidak ingin lagi menjadi pengasuh jompo ketika kembali ke sana.
Sementara Andite (31), perawat angkatan VI, menyatakan, ia berharap tidak lagi mengikuti tes untuk mendapatkan surat izin praktik perawat (SIPP) dan surat tanda registrasi (STR) agar dapat bekerja di Indonesia.
SIPP adalah bukti perawat dapat melakukan praktik keperawatan secara perseorangan dan/atau berkelompok. STR adalah bukti tenaga kesehatan telah memiliki sertifikat kompetensi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 17 tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/MENKES/148/I/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat, perawat harus memiliki SIPP dan STR.
Andite telah mengikuti ujian nasional profesi perawat di Jepang selama beberapa kali dan akhirnya lulus pada Maret 2017. Ujian tersebut tidak mudah karena banyak orang Jepang yang gugur.
Setelah lulus, Andite mendapatkan sertifikasi yang menyatakan ia dapat praktik sebagai perawat di Jepang. Ia dapat bekerja hingga pensiun tanpa harus menjalani tes lagi.
Program IJEPA berisi beberapa poin terkait perjanjian ekonomi kedua negara, salah satunya adalah dibukanya akses pasar kerja Jepang bagi tenaga-tenaga di sektor formal. Kendati demikian, pekerja harus memenuhi akreditasi dan sertifikasi yang berlaku di Jepang.
Secara umum, prosedur yang harus dilalui oleh para calon calon perawat dan pengasuh jompo adalah mereka harus memiliki latar belakang minimal lulusan diploma III (D3) akademi perawat atau strata I (S-1) Fakultas Ilmu Keperawatan univeristas di Indonesia dan telah bekerja minimal dua tahun.
Sementara pengasuh jompo harus minimal lulusan diploma III (D3) akademi perawat, tetapi tidak harus memiliki pengalaman. Mereka mendaftar melalui dan dikirim oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Setelah lulus seleksi administrasi, mereka akan diwawancarai.
Para calon lalu akan mengikuti pelatihan bahasa Jepang selama enam bulan di Jakarta. Setelah itu, mereka akan berangkat ke Jepang dan menerima pelajaran bahasa Jepang selama enam bulan lagi dan uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat kerja.
Mereka akan bekerja sebagai asisten pada rumah sakit, fasilitas klinik kesehatan, atau panti jompo. Masa pelatihan calon perawat selama tiga tahun dan pengasuh jompo empat tahun.
Para calon akan mendapatkan gaji dengan kisaran Rp 20 juta-Rp 25 juta per bulan untuk perawat dan Rp 15 juta-20 juta per bulan bagi pengasuh jompo. Namun, mereka harus melewati ujian perawat dan pengasuh jompo level nasional untuk dapat terus bekerja di negara tersebut. Seluruh biaya dari pelatihan, keberangkatan, gaji, dan tunjangan ditanggung Pemerintah Jepang.
Berdasarkan data dari Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia, total penerimaan calon perawat dan pengasuh jompo dari Indonesia dari tahun 2008-2017 adalah 2.116 orang. Angkat tersebut terdiri dari 622 calon perawat dan 1.494 calon pengasuh jompo. Jumlah calon yang lulus ujian nasional selama tahun 2008-2017 adalah 460 orang, terdiri dari 130 perawat dan 330 pengasuh jompo.
Salah informasi
Kasubdit Kerja Sama Antar-Instansi Direktorat Pelayanan Penempatan Pemerintah Deputi Bidang Penempatan BNP2TKI Akhmad Syihabuddin menyatakan, pekerja telah disosialisasikan deskripsi pekerjaan mereka sebelum berangkat.
Direktur Pelayanan Penempatan Pemerintah BNP2TKI Hariyadi Agah menambahkan, kekecewaan yang dirasakan calon pengasuh jompo karena di Indonesia belum ada jurusan pendidikan yang khusus menangani orang lanjut usia (lansia). Oleh karena itu, terjadi pemerataan persyaratan bagi seluruh lulusan keperawatan.
”Selain itu, negara maju seperti Jepang menerapkan standar pelayanan orang lansia yang berbeda dengan Indonesia,” kata Hariyadi. Misalnya, Jepang tidak memperbolehkan keluarga memberi makan kepada orangtua. Aturan itu tidak diterapkan di Indonesia.
Menurut dia, hal remeh yang dianggap di Indonesia, seperti dalam melakukan kegiatan sehari-hari, justru dilakukan secara profesional di Jepang. Kekagetan yang dirasakan calon pengasuh jompo merupakan hal yang wajar.
Ketika pekerja telah lulus ujian nasional, gaji dan tanggung jawab mereka dalam ranah medis akan bertambah. Mereka juga tidak lagi memerlukan pendampingan dari mentor.
Kepala Bidang Pendayagunaan SDM Kesehatan Luar Negeri Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kementerian Kesehatan Diono Susilo mengatakan, pekerja yang lulus ujian nasional perawat di Jepang tetap harus mengikuti ujian untuk SIPP dan STR.
”Konteks kasus kesehatan di Indonesia berbeda dengan Jepang,” kata Diono. Namun, pemerintah telah berusaha membantu para pekerja migran dengan cara memudahkan prosedur perpanjangan SIPP dan STR yang masih berlaku. Mereka tidak perlu melewati ujian lagi.
Saling menguntungkan
Kerja sama ekonomi bilateral Indonesia-Jepang merupakan kegiatan ekonomi yang saling menguntungkan kedua negara. Indonesia dapat mengirim tenaga kerja di sektor formal yang belum terserap dan Jepang dapat mengatasi kekurangan tenaga perawat dan pengasuh jompo.
Lusi mengapresiasi pengalaman bekerja yang ia dapatkan selama di Jepang. Menurut dia, Jepang sebagai negara maju telah memiliki budaya yang lebih tertib jika ia bandingkan dengan Indonesia. Budaya yang ia pelajari adalah manajemen yang baik, tepat waktu, disiplin, teliti, dan antre yang ia rasa akan berguna dilakukan di Indonesia.
Segala prosedur dilakukan sesuai jadwal dan aturan. Sementara budaya antre ia rasakan ketika bersosialisasi. ”Saya belajar antri di sana. Tetapi, ketika di Indonesia malah tidak bisa dipraktekkan,” ujarnya.
Ia mencontohkan, ketika berusaha menghentikan kendaraan sejajar garis zebra cross depan lampu lalu lintas di Indonesai, ia justru diklakson oleh kendaraan dari depan untuk maju.
Sekretaris Utama BNP2TKI Hermono berharap, pekerja dapat belajar mengenai medis dan sikap kerja di Jepang, lalu menerapkannya ketika kembali di Indonesia. ”Mereka dapat menjadi agent of change untuk perubahan impelementasi keperawatan yang lebih baik,” ujarnya.
First Secretary Ecoonomic Section Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia, Shinichiro Honda, menyebutkan, Jepang memang masih mengalami kekurangan pekerja di bidang medis. Sementara itu, jumlah orang lansia semakin bertambah. (DD13)