Perempuan dalam Pusaran Korupsi di Riau
Cap Riau sebagai salah satu daerah terkorup di Indonesia tidak terbantahkan. Tiga gubernur Riau dari Saleh Djasit (era 1998-2003), Rusli Zainal (2003-2013), dan Annas Maamun (2014) terbukti melakukan korupsi dan dijebloskan ke penjara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Di level penguasa kabupaten tercatat Bupati Arwin AS (Siak), Burhanuddin (Kampar), Tengku Azmun Jaafar (Pelalawan), Raja Thamsir Rahman (Indragiri Hulu), Herliyan Saleh (Bengkalis), Ramlan Zas (Rokan Hulu), dan terakhir Bupati Rokan Hulu Suparman sudah merasakan derita di sel penjara. Di tingkat kepala daerah saja, sudah 10 pejabat di Riau terbukti korup.
Bahkan, Tengku Azmun diadili dalam dua kasus korupsi berbeda, yaitu kasus suap bidang kehutanan dan korupsi pengadaan lahan perkantoran Bupati Pelalawan Bhakti Praja. Hanya, di kasus yang kedua, Azmun dinyatakan bebas di tingkat Pengadilan Negeri. Kini jaksa masih menunggu putusan kasasi dari Mahkamah Agung.
Di jajaran legislatif, mantan Ketua DPRD Riau Djohar Firdaus sampai saat ini masih berada di penjara karena suap pengesahan APBD Riau tahun 2014.
Kalau ditambah dengan anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota se-Riau, deretan jumlah peserta korupsi berjemaah di Riau semakin bertambah panjang. Bahkan, saking hebatnya korupsi di Riau, pembangunan tugu Antikorupsi di Pekanbaru—yang peresmiannya disaksikan Ketua KPK Agus Rahardjo dan Jaksa Agung HM Prasetyo pada akhir 2016—juga ikut dikorupsi.
Dari nama-nama pejabat tinggi korup itu, hampir seluruhnya berjenis kelamin laki-laki. Hanya satu di antaranya yang perempuan, yaitu anggota DPRD Bengkalis, Rismayeni.
Namun kini muncul fakta baru. Pada kuartal III-2017, Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Riau Sugeng Riyanta menetapkan dua pejabat perempuan dari Badan Pendapatan Daerah Provinsi Riau sebagai tersangka. Pejabat itu adalah Deliana, Sekretaris Bapenda Riau, dan Deyu A, Kepala Subbagian Pengeluaran.
Pada awal Februari 2018, Sugeng kembali menetapkan tiga tersangka dari Bapenda Riau dalam kasus sama. Ketiganya juga berjenis kelamin perempuan, yaitu AA, Y, dan DA. Jadi, ada lima tersangka dalam kasus korupsi di Bapenda Riau.
Kasus yang mendera lima perempuan itu terkait uang persediaan dan ganti uang di lingkungan kantor tersebut pada tahun 2015/2016 yang totalnya Rp 1,3 miliar. Uang itu awalnya berasal dari potongan tunjangan unit pelaksana tugas sebesar 10 persen.
Dana yang dikumpulkan antara lain berasal dari Subbagian Keuangan Bapenda Riau sebesar Rp 885 juta, bidang pajak Rp 105 juta, bidang retribusi Rp 99 juta, serta dari bidang pembukuan dan pengawasan Rp 74 juta. Seluruh uang itu dikumpulkan bendahara di kas kantor.
Saking hebatnya korupsi di Riau, pembangunan tugu Antikorupsi di Pekanbaru juga ikut dikorupsi.
Uang itu kemudian dimanfaatkan untuk keperluan di luar kedinasan. Selain pejabat di Bapenda, berbagai pihak di luar juga disebut-sebut menerima aliran dana dimaksud. Sempat beredar sejumlah nama penerima dana, misalnya dari instansi legislatif, pejabat pusat, kepolisian, kejaksaan, dan sejumlah wartawan.
Sampai saat ini, kasus Deyu dan Deliana masih berlangsung di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Namun, belum lagi selesai perjalanan kasus itu, Kejati Riau sudah menetapkan tiga tersangka lain yang seluruhnya perempuan.
Muncul pertanyaannya, mengapa begitu banyak perempuan menjadi tersangka korupsi di Bapenda Riau itu?
Pengamat sosial Riau, Doktor Rawa El Amady, mengungkapkan, kasus korupsi di Kantor Bapenda Riau dapat dikategorikan sebagai kejahatan multilevel berbentuk piramida. Artinya, korupsi itu dilakukan secara berjemaah yang melibatkan pucuk pimpinan sampai ke level bawah.
”Mengapa perempuan yang terjerat, itu disebabkan area pengambilan keputusan di level menengah Bapenda Riau banyak diisi kaum perempuan. Mereka ikut terlibat dan dilibatkan atasannya, baik secara sadar maupun tidak. Kalau tidak mau, mereka akan tercampak. Namun, mereka juga menikmati hasil korupsi itu,” kata Rawa.
Menurut Rawa, fenomena korupsi multilevel piramida itu sudah berlangsung lama. Pada tahun 2005, dia pernah melakukan riset yang menemukan sinyalemen bahwa hampir seluruh pegawai yang ingin memiliki jabatan lebih tinggi harus menyetor sejumlah uang kepada pejabat yang mengurusi bidang kepegawaian. Seluruh level ikut terlibat.
Tidak kenal jender
Pada akhir abad ke-20, muncul penelitian di India yang menyebutkan bahwa perempuan lebih tahan terhadap godaan korupsi. Makanya, muncul gerakan yang meminta pemerintah di berbagai negara ketiga melibatkan lebih banyak perempuan di segala bidang.
Apakah penelitian di India itu berlaku universal atau benarkah perempuan lebih tahan terhadap godaan korupsi?
”Tidak. Selama ini korupsi oleh perempuan sebenarnya banyak, tetapi tidak terungkap. Biasanya penegak hukum hanya menyasar tersangka dari pengambil keputusan tertinggi, yang lebih banyak laki-laki, sedangkan pejabat di level bawah biasanya hilang atau tidak disentuh,” kata Rawa.
Rawa mengatakan, kasus korupsi di Indonesia, termasuk Riau, melibatkan banyak perempuan. Data KPK menunjukkan, sedikitnya 30 perempuan ternama di Indonesia tersangkut korupsi.
Sebut saja anggota DPR Angelina Sondakh, mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Miranda S Goeltom, mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, dan Neneng Sri Wahyuni, istri Nazaruddin, mantan Bendahara Partai Demokrat.
”Berapa banyak perempuan Indonesia yang mendiamkan atau tidak mau tahu dari mana suaminya mendapatkan uang banyak. Bahkan, tidak sedikit perempuan yang membantu suaminya melakukan korupsi. Uang korupsi juga banyak mengalir kepada perempuan simpanan. Tingkat konsumerisme tinggi dan gaya hidup hedonis perempuan juga mendukung korupsi tumbuh subur,” kata Rawa.
Jadi, intinya, korupsi tidak mengenal jenis kelamin.