Cium Terakhir untuk Aurel
”Bapak berangkat kerja dulu, ya,” ujar Asep Tajudin (39) sambil mencium kening dan pipi anak bungsunya, Aurel (2).
Seperti biasa, Asep selalu berpamitan dengan mencium anak bungsunya lalu pergi bekerja. Namun, perasaannya mengatakan hal berbeda hari itu, Senin (5/2). Ia enggan melangkahkan kaki ke SMK Bambu Pasundan, Cigombong, Kabupaten Bogor, tempatnya bekerja sebagai staf kontraktor.
”Saya sudah keluar rumah, tetapi masuk lagi masuk lagi, sekitar empat kali saya ulangi seperti itu,” ujar Asep. Akibat banyak menunda, Asep yang biasa berangkat ke kantor pukul 07.00 baru keluar rumah pukul 08.00. Ia pun sampai di sekolah sudah pukul 09.00.
Sesampai di sekolah, Asep tak mengerjakan apa-apa. Bahkan, kunci pintu ruang kerjanya enggan ia buka. Ia hanya mengobrol dengan petugas pengamanan sekolah. Namun, pikirannya melayang ke rumah. Ia sedang ingin menghabiskan waktu dengan keempat anak dan istrinya Nani Nuraini (35).
Tiga dari empat anaknya, Alan (17), Aldi (8), dan Aurel, memang berada di rumah saat ia pergi. Sementara itu, Adit (9), sudah berangkat ke sekolah sejak pukul 06.30. ”Awalnya saya tidak mengizinkan Adit pergi ke sekolah karena hujan deras sejak pagi. Akan tetapi, ia tetap sekolah dan sudah pulang sebelum pukul 12.00,” ucapnya dengan suara parau.
Sambil menahan air mata agar tidak jatuh ke pipinya, Asep melanjutkan cerita tentang momen-momen terakhir bersama keluarga kecil yang ia bangun sejak 17 tahun lalu itu. Dalam keterbatasan ekonomi, ia selalu ingin membahagiakan anak dan istrinya. Salah satunya dengan memberikan sepenuh waktu dan hidup bagi mereka.
Sayang, kini hal itu tak lagi bisa Asep lakukan. Istri dan keempat anaknya meninggal dunia karena tertimbun tanah longsor pada Senin sekitar pukul 12.30. Mereka yang berdomisili di Kampung Maseng, RT 002 RW 008, Desa Warung Menteng, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, tidak bisa lari dari longsoran tanah. Rumah mereka berada di tepi tebing jalur kereta api rute Bogor-Sukabumi Kilometer 13+800. Hanya berjarak 500 meter dari Stasiun Maseng.
Asep menyesal, terlambat pulang saat mendapatkan kabar terjadi tanah longsor di rumahnya. Ia mengira, rumah kontrakan yang baru ditempati selama dua bulan itu hanya kejatuhan sedikit tanah. Sebab, hal itu pernah terjadi pada hari pertama mereka pindah. ”Saya mengira hanya longsor kecil, ada tanah yang mungkin menutupi selokan, jadi saya tidak bergegas dan tidak mencari kendaraan tercepat, saya malah naik angkutan umum,” ujar Asep.
Ia terkejut ketika sampai di rumah. Ia mendapati puluhan orang sudah memenuhi Kampung Maseng. Mobil-mobil aparat berjajar. Rumahnya pun telah tiada, rata dengan tanah.
Saat itu saya sempat mendengar Ibu Nani dan anak-anaknya meminta tolong, tetapi suara itu hilang saat longsor kedua terjadi. Yang tersisa hanya suara tanah jatuh, bruk....
Tanah longsor yang terjadi dua kali dalam waktu setengah jam itu meratakan tiga rumah. Selain rumah Asep, ada pula rumah Igit (24) dan Sujana (42). Igit dan tiga anggota keluarganya, Resma (13), Ihsan (15), dan Anggi (15), dapat menyelamatkan diri dengan berlari kencang sebelum longsor kedua berlangsung.
Begitu pula Sujana, ia yang sedang sendiri di rumah sadar akan terjadinya tanah longsor ketika mendengar suara pohon tumbang. ”Saat keluar dari rumah dan melihat tanah longsor, saya meloncat ke atas atap rumah,” kata Sujana.
”Saat itu saya sempat mendengar Ibu Nani dan anak-anaknya meminta tolong, tetapi suara itu hilang saat longsor kedua terjadi. Yang tersisa hanya suara tanah jatuh, bruk...,” ujarnya.
Menurut Sujana, beberapa warga RT 002 sempat turun untuk menolong. Mereka berlari berkejaran dengan tanah yang bergeser dengan amat cepat. Upaya mereka pun tidak berjalan mulus, Sujana sendiri sempat terjepit balok dari reruntuhan rumah. Beberapa warga juga tertimbun tanah hingga setinggi lutut.
Setelah berjibaku selama hampir setengah jam, mereka selamat. Namun, keluarga Asep tidak terlihat.
Tim penyelamat (SAR) gabungan yang terdiri dari Kepolisian, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Badan SAR Nasional (Basarnas), dan sejumlah relawan tidak dapat menemukan istri dan empat anak Asep. Pada hari pertama, mereka pun dinyatakan sebagai korban yang hilang.
Saat keluar dari rumah dan melihat tanah longsor, saya meloncat ke atas atap rumah.
Tim SAR gabungan yang terdiri dari 300 orang itu pun melanjutkan pencarian pada Selasa (6/2) pukul 07.00. Komandan Korem 061 Surya Kencana Kolonel Infanteri Muhammad Hasan mengatakan, untuk memudahkan pencarian, mereka menggunakan ekskavator untuk menggali tanah dan mengerahkan dua anjing pelacak.
Sejumlah pejabat daerah pun hadir mendampingi tim untuk mencari keluarga Asep yang hilang. Beberapa di antaranya adalah Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dan Bupati Bogor Nurhayanti.
”Berkat keterangan Pak Asep mengenai titik lokasi kediamannya dan kepekaan anjing pelacak, kami berhasil menemukan anggota keluarganya dalam keadaan sudah meninggal dunia,” kata Hasan.
Tim SAR menemukan mayat Nani, Aldi, dan Aurel pada pukul 10.30. Namun, mayat Adit dan Alan belum ditemukan seluruhnya hingga pencarian dihentikan pada pukul 17.00, hanya ditemukan beberapa bagian tubuhnya. Hujan deras mengguyur Kampung Maseng sejak pukul 14.00 dan belum berhenti hingga pukul 18.00.
”Kami khawatir hujan deras menyebabkan tanah longsor terjadi kembali saat para petugas tengah bekerja,” kata Hasan.
Camat Cijeruk Hidayat Saputradinata mengatakan, kecamatan yang terdiri dari sembilan desa itu rawan longsor karena memiliki karakteristik tanah yang labil. Warga di Kampung Maseng yang tinggal di tepi-tepi tebing pun telah diungsikan sementara agar tidak menempati rumahnya. Longsor susulan bisa terjadi kapan saja.
Selama evakuasi berlangsung, petugas pun berkali-kali mengingatkan warga agar tidak melintas di tepi tebing, terutama di sebelah rel kereta api sepanjang 50 meter yang tanah di bawahnya longsor.
Warga tak berizin
Hidayat mengakui, warga Kampung Maseng RT 002 RW 008 yang terdiri dari 20 kepala keluarga (KK) atau 100 jiwa tidak satu pun memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Mereka mengambil risiko tinggal di tebing rel kereta api demi mendapatkan lahan tempat tinggal.
Adapun lahan yang mereka tempati adalah milik PT PJKA yang kini berubah nama menjadi PT KAI. Luas lahan itu kira-kira 2.000 meter persegi. Selain untuk tempat tinggal, warga juga menjadikan sebagian areal untuk menanam singkong.
”Kami tidak bisa memaksa mereka untuk pindah karena sudah puluhan tahun tinggal di sana dan mereka juga sudah membentuk RT RW dan diperkenankan membuat kartu keluarga,” kata Hidayat yang menjabat sebagai camat sejak 2016.
Jamsari (65), warga setempat, mengatakan telah tinggal di Kampung Maseng sejak dilahirkan. Kedua orangtuanya, keluarga Parta, merupakan penduduk pertama yang mendirikan bangunan di tepi rel kereta. Rumah seluas 12 meter persegi peninggalan orangtuanya masih ia tempati hingga saat ini.
Jamsari memiliki dua anak dan 11 cucu yang tinggal bersamanya. Oleh karena itu, ia pun menambah luas rumahnya dengan membuat lantai tambahan dengan dinding bilik bambu yang menempel di tebing rel kereta.
Selain Jamsari, warga lain juga kerap menambah bangunan di area mudah longsor itu. Bahkan, mereka menjadikannya ladang usaha. Salah satunya rumah yang ditempati Asep.
Menurut Asep, pemilik rumahnya bernama Fauzi yang sekarang tinggal di Jakarta. Sebelum tinggal di rumah Fauzi, Asep mengontrak rumah ayah Fauzi yang bersebelahan dengan rumah Jamsari. Keduanya menempel di tebing rel kereta.
Jamsari menambahkan, untuk tinggal di sana, mereka membayar uang sewa lahan tahunan. ”Seingat saya, selama 2011-2016 saya selalu membayar uang sewa sebesar Rp 600.000 kepada petugas. Kami selalu diberi tanda terima pembayaran,” ujarnya.
Menurut Asep, tarif sewa didasarkan pada luas tanah yang digunakan. Meski mengontrak, ia pun dibebankan biaya sewa tanah oleh pemilik rumah. Dari rumah seluas 48 meter persegi, Asep membayar sewa tanah sekitar Rp 100.000-Rp 120.000 per tahun.
”Kami sadar selama ini tinggal di lahan yang bukan milik kami, tetapi mau bagaimana lagi, kami tidak punya uang untuk membeli tanah di tempat lain. Jadi, ketika ada lahan kosong, kami tempati saja,” kata Jamsari. Mayoritas warga Kampung Maseng bekerja sebagai buruh serabutan. Pendidikan tertinggi mereka adalah tingkat SMP.
Bupati Bogor Nurhayanti mengatakan, selama ini telah memantau lokasi hunian warga. Apalagi, 24 dari 40 kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor merupakan wilayah rawan bencana.
”Kami akan merelokasi warga yang tinggal di daerah rawan bencana,” kata Nurhayanti. Akan tetapi, ia belum bisa menjelaskan secara detail mengenai rencana tersebut.
Kami akan merelokasi warga yang tinggal di daerah rawan bencana.
Para warga Kampung Maseng, termasuk Jamsari, bersedia dipindahkan. Mereka sadar tinggal di daerah rawan bencana menyimpan ancaman yang bisa terjadi kapan saja.
”Cukup keluarga saya saja yang menjadi contoh, jangan sampai ada yang mengalami lagi,” kata Asep.
Bagi Asep, tanah longsor memang bukan hanya meratakan tempat tinggal, tetapi juga merenggut nyawa seluruh keluarganya. Lebih dari itu, tanah longsor juga mengubur mimpi-mimpi indah Asep demi masa depan keturunannya.
Ia masih menitikkan air mata saat mengingat beberapa hari lagi seharusnya Alan, anak pertamanya, akan dibelikan mobil angkutan umum oleh pamannya.
Alan yang sudah lulus SMP memang aktif belajar menyetir dan bermaksud menekuni profesi sebagai pengemudi angkutan umum.
Air matanya pun semakin berlinang saat mengingat Aurel, anak terakhir yang mendapat kecup sayang darinya. (DD01)