JAKARTA, KOMPAS — Biaya politik yang tinggi dan kegagalan partai politik dalam kaderisasi memicu terus terjadinya korupsi politik yang melibatkan sejumlah kepala daerah di Tanah Air. Jika persoalan mendasar ini tidak diatasi, kepala daerah akan terus melakukan korupsi dan ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko, Rabu (7/2) di Jakarta, mengatakan, kasus korupsi di Jombang yang melibatkan Bupati Nyono Suharli Wihandoko adalah salah satu saja modus korupsi yang terjadi di daerah. Cara Nyono mengutip uang dari jaminan kesehatan yang diberikan negara kepada setiap pusat kesehatan masyarakat (puskemsas) di wilayahnya adalah upayanya untuk memenuhi biaya politik yang tinggi itu.
”Ini, kan, cara mereka (kepala daerah) mencari uang untuk bisa maju ke dalam proses politik. Selalu ada celah untuk melakukan itu selama problem di hulu tidak diperbaiki. Saat ini seharusnya rakyat Jombang mengajukan gugatan ke pengadilan atas tindakan bupatinya dan gugatan itu diperbolehkan karena hak-hak dasar mereka dirampas oleh kepala daerah,” ujar Dadang.
Korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah pun tidak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa tahun ini merupakan tahun politik. Sebanyak 171 daerah akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak. Segala upaya akan dilakukan oleh politisi dan kepala daerah untuk memenuhi biaya politik yang tinggi menjelang pilkada.
Akan tetapi, Dadang mengingatkan, pengumpulan dana untuk tahun politik itu pun sudah mulai dilakukan kepala daerah sejak jauh-jauh hari sebelum perhelatan politik itu berlangsung. ”Kalau pilkada dilakukan sekarang, harus dilihat bahwa pengumpulan uang atau upaya kepala daerah mencari uang untuk biaya politik itu sudah dilakukan sejak dua tahun lalu,” katanya.
KPK diharapkan makin mencermati modus-modus korupsi di daerah yang kemungkinan terkait dengan upaya kepala daerah untuk berkuasa atau mengembalikan modal politik.
Membajak demokrasi
Dadang mengakui, potensi korupsi sangat besar dilakukan oleh orang-orang yang dipilih rakyat dalam pemilihan umum (pemilu) dan pilkada. Mereka yang dipilih melalui mekanisme demokratis justru membajak akses publik pada pelayanan dan kesejahteraan melalui alokasi sumber daya publik. Penyelewengan itu tidak hanya dilakukan dengan mengutip atau memotong anggaran dinas, tetapi juga melalui korupsi perizinan yang terkait dengan sumber daya alam (SDA) wilayah tersebut.
Orang yang dipilih rakyat untuk menyejahterakan mereka melalui proses demokratis ternyata justru menjadi orang yang merampok dan memangkas akses rakyat pada kesejahteraan. Para kepala daerah terpilih itu pun menjadi pencoleng demokrasi. Sejumlah kepala daerah yang ditangkap oleh KPK menunjukkan kecenderungan itu, misalnya dengan mengambil komisi dari proyek-proyek infrastruktur, bermain mata dengan korporasi dalam mengeluarkan izin pengelolaan SDA, hingga melakukan jual-beli jabatan guna memerkaya diri sendiri ataupun untuk mempertahankan kekuasaan melalui pilkada.
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, problem kaderisasi parpol menyumbang munculnya kepala daerah korup. Mekanisme pemilihan calon dalam pilkada menjadi urusan parpol semata sehingga publik tidak memiliki kemampuan untuk melakukan kontrol atas mekanisme tersebut.
”Parpol tidak melihat apakah seseorang calon itu memiliki kompetensi, ataukah kader partai, tetapi ukurannya apakah calon itu memiliki cukup uang untuk mencalonkan diri. Hal inilah yang memicu para kepala daerah mengumpulkan uang sebanyak mungkin karena mereka harus menanggung sendiri biaya kampanye hingga membeli suara pemilih. Ekosistem politik kita mendukung hal itu terjadi,” ujarnya.
Pelaksana harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati Iskak mengatakan, KPK telah melakukan kajian terkait dengan korupsi politik tersebut. Biaya politik yang tinggi dinilai merupakan salah satu faktor yang membuat korupsi kepala daerah terjadi.
”Selain itu, kajian KPK juga menunjukkan bahwa problem pengaderan di dalam parpol juga sangat berpengaruh dalam memicu korupsi,” kata Yuyuk.
Kajian KPK juga menunjukkan bahwa problem pengaderan di dalam parpol juga sangat berpengaruh dalam memicu korupsi.
Berkaitan dengan korupsi Jombang, penyidik KPK hingga Selasa ini masih melakukan penggeledahan di empat titik, yakni di ruang kerja bupati, ruang dinas bupati, kantor dinas kesehatan, serta kantor dinas perizinan dan penanaman modal. Sejumlah dokumen yang terkait perizinan dan dana kapitasi dikumpulkan oleh penyidik, begitu juga barang bukti elektronik. ”Tim masih bergerak di lapangan,” kata Yuyuk.
Dalam kasus Jombang ini, Bupati Nyono diduga menerima uang Rp 343 juta dari pelaksana tugas Kepala Dinas Kesehatan Inna Selistyowati yang akan digunakan untuk biaya kampanye. Nyono akan mencalonkan diri kembali sebagai bupati dalam Pilkada 2018 dari Partai Golkar.
Adapun uang itu dikumpulkan Inna dengan memotong atau mengutip dana kapitasi dari 34 puskesmas di Jombang. Dana kapitasi adalah besaran uang yang diterima oleh setiap fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) atau puskesmas per bulan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dijalankan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.