BANDA ACEH, KOMPAS – Kasus kejahatan seksual terhadap anak di Provinsi Aceh cukup tinggi. Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak melaporkan pada tahun 2015 terjadi 39 kasus kekerasan, melonjak tinggi pada 2016 menjadi 208 kasus, dan kembali naik menjadi 291 kasus pada 2017. Paparan konten pornografi menjadi faktor dominan pelaku melakukan kejahatan seksual pada anak.
Komisioner Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA) Aceh Firdaus Nyak Idin di Banda Aceh, Rabu (7/2) menuturkan angka kasus kejahatan seksual pada anak yang meningkat setiap tahun menujukkan upaya perlindungan terhadap anak masih lemah. Faktor pemicu belum mampu ditangani oleh para pihak.
Kejahatan seksual terhadap anak di Aceh itu berupa pelecehan seksual, incess, sodomi, eksploitasi seksual, dan pemerkosaan. Para pelaku merupakan orang yang dekat dengan korban seperti saudara, tetangga, dan tenaga pendidik.
Dari sekian banyak faktor, kata Firdaus, pemicu paling dominan adalah perilaku pelaku yang kerap mengakses konten pornografi di internet. Pelaku termotivasi melakukan kejahatan seksual karena terpengaruh tontonan konten pornografi. Kasus terbaru terjadi di Kabupaten Aceh Barat Daya, seorang aparat desa melakukan sodomi terhadap belasan anak setelah mengajak mereka menonton video porno.
Selain karena pengaruh konten porno, sebagian pelaku juga pernah menjadi korban kejahatan seksual. “Dalam kasus sodomi kami menemukan banyak pelaku juga pernah menjadi korban,” ujar Firdaus.
Sekretaris Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Aceh Roslina Rasyid mengatakan, kebiasaan mengakses video porno mendorong pelaku mempraktekkan. Biasanya pelaku akan mencari korban yang lemah dan yang dekat dengannya untuk dijadikan sasaran pelampiasan.
Roslina menambahkan, konten pornografi begitu mudah diakses melalui media sosial. Ribuan konten pornografi bertebaran di jejaring media sosial tanpa ada upaya pencegahan yang serius. Pemerintah masih kalah dengan para penyedia konten pornografi.
Ketua Pusat Studi Gender dan Anak Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Inyatillah mengatakan, disamping penguatan regulasi pembatasan konten pornografi, juga diperlukan gerakan sipil yang masif melawan pornografi. Selama ini edukasi tentang bahaya konten pornografi minim dilakukan.
Saat ini, lanjut Inayatillah, khususnya di Aceh, pemerintah belum mampu membendung konten pornografi di dunia digital. Penerapan Syariat Islam di Aceh belum menyentuh pada materi di dunia digital. “Harapannya ada pada kementerian agar serius menghalau konten pornografi di internet,” ujar Inayatillah.
Inayatillah menambahkan pemerintah daerah perlu mengatur pembatasan penggunaan gawai bagi anak. Salah satu tempat yang bisa diterapkan kebijakan itu di sekolah. Selain itu pengawasan orangtua terhadap anak saat mengakses internet diperlukan.