Perjalanan ”Kompas” Meliput Bencana Kesehatan di Asmat
Hampir saja saya meneteskan air mata saat bertemu dengan 12 anak di Rumah Sakit Agats yang dirawat karena gizi buruk dan campak. Ternyata, di Tanah Papua yang mengandung emas ini masih terdapat banyak anak dengan kondisi kesehatan yang buruk.
Kesehatan mereka memang terlihat sangat buruk. Badan anak-anak, yang rata-rata berusia 3-5 tahun itu seolah hanya tulang berbalut kulit. Berat badan mereka pun dibawah 10 kilogram, bukan berat badan yang ideal bagi anak seumur itu.
Beberapa anak juga ternyata menderita penyakit komplikasi seperti TBC dan radang paru sehingga harus mendapatkan bantuan oksigen. Laporan di harian Kompas, Sabtu (13/1), berjudul ”Bencana Kesehatan di Asmat” yang kemudian membuka mata publik atas krisis kesehatan di Asmat, Papua.
baca: artikel Kompas berjudul Bencana Kesehatan di Asmat
Kabar mengenai dugaan adanya anak-anak dengan gizi buruk didapat dari Keuskupan Agats. Salah seorang editor di Desk Nusantara, Jannes Eudes Wawa, yang awalnya mendapatkan informasi itu. Informasi itu kemudian dikirimkan kepada saya melalui Whatsapp.
Saya kemudian mengontak Sandro, seorang teman yang bertugas sebagai diakon di Asmat untuk mendapatkan nomor kontak Uskup Agats Mgr Aloysius Murwito, OFM. Kebetulan, Uskup Agats sedang berada di Jayapura dan menginap di Biara OFM di Sentani, Kabupaten Jayapura.
Selasa (9/1) pagi, meski gagal mengontak Uskup Agats, saya menemui Uskup Alo, nama panggilannya, di Biara OFM. Ia kemudian menginformasikan ada 13 anak balita dari umur 1-3 tahun yang meninggal karena gizi buruk disertai campak di Asmat.
Kebetulan, Uskup Alo baru saja berkeliling kampung pada 23-25 Desember 2017 untuk memberikan pelayanan ibadah Natal. Dan, di dalam perjalanannya, ia menemukan fakta-fakta yang memprihatinkan tentang buruknya kesehatan warga Asmat.
Menurut Uskup Alo, tanpa turun langsung ke lapangan, akan sulit mengetahui kisah sebenarnya dari kondisi kesehatan warga Asmat. Terlebih lagi, mayoritas wilayah Asmat tidak terjangkau dengan layanan telekomunikasi.
Rabu (10/1) pukul 09.00 WIT, saya langsung terbang menuju Timika dengan harapan langsung dapat terbang ke Asmat. Para editor di harian Kompas meminta saya membuat reportase terkait masalah gizi buruk dan campak secara lebih detail dan lengkap.
Persoalan kemanusiaan ini harus segera dipublikasikan agar para ibu dan anak yang mengalami gangguan kesehatan di Asmat segera dapat dibantu.
Tidak ada penerbangan
Ketika tiba di Timika, ternyata penerbangan menuju Asmat hanya ada pada Rabu dan Sabtu. Ketika tiket pada hari Rabu sudah habis, penerbangan berikutnya ada hari Sabtu. Namun, Uskup Alo mengingatkan, belum tentu juga saya dapat kursi untuk penerbangan di hari Sabtu karena penerbangan itu menggunakan pesawat kecil berkapasitas 9-17 penumpang.
Akhirnya, saya memutuskan naik kapal pelni Sirimau dari Pelabuhan Poumako pada Kamis malam. Dalam perjalanan itu, saya sudah ditemani wartawan foto Kompas, Wisnu Widiantoro, yang pada Kamis (11/1) sudah tiba.
Selama empat tahun bertugas di Tanah Papua, baru kali ini saya diberangkatkan ke Asmat. Tentu saja, saya juga ke pedalaman meski lebih banyak menjelajahi pesisir utara atau di kawasan pegunungan.
Asmat berada di kawasan adat Animha di wilayah Papua bagian selatan. Selain Asmat, ada beberapa kabupaten yang masuk kawasan itu, yakni Merauke, Boven Digoel, dan Mappi.
Sembilan puluh persen wilayah Asmat hanya dapat diakses dengan sarana transportasi air karena ketiadaan jalur transportasi darat. Persoalannya, sewa perahu sangat mahal.
Sembilan puluh persen wilayah Asmat hanya dapat diakses dengan sarana transportasi air karena ketiadaan jalur transportasi darat. Persoalannya, sewa perahu sangat mahal. Perjalanan perahu selama tiga jam menghabiskan biaya Rp 5 juta. Perjalanan lebih jauh ke pedalaman minimal butuh biaya di atas Rp 10 juta. Mahalnya biaya perjalanan karena mahalnya bensin dan medan yang sulit.
Kamis sekitar pukul 21.00 WIT, KM Sirimau meninggalkan Dermaga Poumako menuju Pelabuhan Asmat. Setelah berlayar 12 jam, Jumat (12/1) tepat pukul 13.00 WIT, kami tiba di Agats, ibu kota Kabupaten Asmat.
Ternyata, pada hari Jumat itu, kami tak dapat langsung menuju Kampung As dan Atat di Distrik Pulau Tiga. Di dua kampung itu, berdasarkan informasi Uskup Agats, terdapat anak-anak yang menderita sakit.
Mengapa kami tidak dapat langsung berangkat? Ternyata, muka air sungai sudah surut. Perjalanan melintas laut lepas Arafuru pada sore hari juga berisiko karena tinggi gelombang dapat mencapai 1 meter.
Akhirnya, kami memutuskan liputan perdana hanya di Asmat dengan memantau kondisi 12 anak yang dirawat di RS Agats karena gizi buruk dan campak. Liputan di hari pertama itu pun sudah membuat kami merasa pedih.
Menuju Pulau Tiga
Pada Sabtu (13/1) pukul 07.00 WIT, didampingi Kepala Bagian Humas dan Protokoler Pemkab Asmat Reza Baadila, perjalanan dilakukan ke Kampung As dan Atat dengan perahu motor.
Perjalanan dilakukan bersama motoris kami bernama Eduardus Ruban (40) asal Pulau Kei, Maluku. Eduardus ditemani salah seorang awak kapal yang tangan kirinya tampak bengkak dan dibalut perban berwarna putih karena keseleo. Namun, jangan ragukan kemahiran dua awak kapal yang telah bermukim di Asmat sejak 1974 itu.
Pemberhentian pertama kami di pusat Distrik Sawa Erma sekitar pukul 09.00 WIT. Di Sawa Erma kami sempat mengambil data dan dokumentasi foto mengenai kondisi pelayanan kesehatan di puskesmas setempat. Kemudian, sekitar pukul 10.00 WIT, kami menuju Distrik Pulau Tiga.
Hanya sekitar 60 menit, kami tiba di Kampung As dan Atat, yang bertetangga. Di Kampung As, tim kesehatan dari Pemkab Asmat sedang mengobati warga setempat.
Setelah itu, kami berjalan kaki sekitar 500 meter melewati jembatan kayu menuju ke Balai Kampung Atat. Di balai kampung itu, sedang dilakukan imunisasi dan pengobatan anak balita yang terkena campak. Hadir sekitar 100 anak balita yang didampingi orangtua mereka.
Kondisi anak-anak itu pun memprihatinkan. Pandangan mata sayu dan tubuhnya hanya berupa tulang berbalut kulit. Mina Jit, salah seorang anak berusia 5 tahun, menarik perhatian saya. Anak itu begitu kurus bahkan sampai tidak mampu lagi berdiri. Dia begitu lemah sehingga hanya dipangku ibunya.
Menurut Kepala Kampung Atat Markus Titur, pelayanan kesehatan dan pendidikan tak berjalan maksimal selama setahun terakhir. Tak ada tenaga kesehatan di kampung itu. Dua puskesmas pembantu di dua kampung itu menjadi tak berfungsi.
Hanya terdapat satu guru di satu-satunya sekolah dasar yang kami temui di kampung itu. Nama guru itu Marthen Bericema, yang harus mengajar sekitar 150 murid.
Seusai meliput di Kampung As dan Atat, kami meneruskan perjalanan menuju Kampung Kapi. Untuk menghemat waktu, kami kemudian melewati anak-anak sungai untuk menghemat jarak perjalanan. Warga menyebut ”jalan pintas” itu dengan istilah kali potong.
Kali ini, perjalanan cukup menegangkan karena ketinggian muka air sungai mulai menurun. Apabila perahu kandas, kami terancam bermukim di tengah hutan, di tepi sungai. Menginap di tepi sungai tentu bukan tanpa ancaman. Buaya dan ganasnya nyamuk yang memicu penyakit malaria tiap saat mengintai kami.
Selama perjalanan itu, ternyata persediaan air bersih kami juga semakin menipis. Hanya tersisa dua botol air mineral. Sementara jumlah penumpang perahu sebanyak enam orang. Apabila persediaan air habis, kami terpaksa mengonsumsi air sungai yang keruh untuk bertahan hidup.
Ketika melintasi kali potong, kami juga menemukan tiga pohon yang tumbang dan menghalangi jalur lintasan perahu. Beberapa orang terpaksa turun dari perahu untuk menggeser badan perahu. Setelah berjuang selama sejam, kami berhasil melewati tiga pohon itu.
Ternyata, kondisi anak-anak di Kampung Kapi sama dengan kondisi anak-anak di Kampung As dan Atat. Kondisi badan mereka memperlihatkan tanda-tanda kekurangan gizi, dengan berat badan yang berkurang drastis.
Dari Kampung Kapi, kami bertolak kembali ke Agats sekitar pukul 14.30 WIT. Kali ini, kami tidak lagi dapat melalui kali potong karena tinggi muka air tidak lagi memungkinkan dilintasi perahu.
Ketika melintasi Laut Arafuru, tinggi gelombang laut mencapai setengah meter disertai hujan deras. Berulang kali, perahu motor kami serasa terbang saat menghantam gelombang. Menjelang senja, kami tiba dengan selamat di Agats.
Selama beberapa waktu, sosok Mina menjadi salah satu motivasi saya untuk melanjutkan liputan di Asmat. Saya bersemangat untuk menggali informasi dan menulis sesuatu yang menawarkan solusi supaya tidak ada anak-anak yang kondisi tubuhnya seperti Mina.
Sayang sekali, hari Minggu setelahnya, kami mendapat kabar duka dari salah satu petugas medis yang bertugas di Atat. Mina ternyata telah berpulang ke sisi Tuhan Yang Maha Kuasa. ”Selamat jalan sang malaikat kecil. Penderitaanmu usai sudah”, demikian doa saya bagi Mina.
Tanpa pelampung
Kami kembali menjelajahi Asmat pada Senin (15/1). Kali ini, kami menuju Kampung Sawa. Tuti Handayani, salah satu bidan di Puskesmas Sawa menginformasikan, terdapat 20 ibu yang juga menderita gizi buruk di kampung itu.
Perjalanan menuju Sawa menggunakan perahu berkapasitas mesin 40 PK. Kecepatannya menjadi lebih lambat dibanding perahu yang sebelumnya digunakan ke As dan Atat yang berkapasitas mesin 80 PK.
Motoris kami adalah Noe Tutratan (28) yang sehari-hari bekerja sebagai motoris perahu Keuskupan Agats. Karena kondisi alamnya, salah satu kendaraan dinas keuskupan adalah perahu motor.
Ketika di tengah perjalanan, kami menyadari bahwa ternyata tidak membawa pelampung. Kami sempat berpikir dan berdiskusi. Alam di Papua serba tidak terduga. Kemalangan dapat terjadi. Walau setelah ditimbang, kembali ke Agats tentu menghabiskan waktu.
Setelah berdoa, kami memutuskan tetap nekat melanjutkan perjalanan ke Sawa. Kami ingin membuktikan kebenaran informasi terkait puluhan ibu yang terserang gizi buruk. Berkat perlindungan Tuhan, menjelang siang, kami tiba di Kampung Sawa.
Di antar salah seorang tokoh pemuda setempat, kami menyusuri jembatan kayu sejauh 300 meter menuju Puskesmas Pembantu Sawa. Ketika itu, Tuti bersama salah seorang rekannya sedang memeriksa kondisi kesehatan para ibu di kampung itu. Ternyata, kondisi mereka serupa dengan kondisi anak-anak di Asmat.
Berat badan mereka jauh di bawah ideal. Salah seorang ibu dengan tinggi badan 150 sentimeter, ternyata hanya mempunyai berat badan sekitar 30 kilogram.
Mereka juga menderita sakit infeksi saluran pernapasan, diare, dan TBC. Hal ini disebabkan oleh belum dijalaninya pola hidup sehat. Masyarakat juga masih mengonsumsi air dari sungai tanpa dimasak. Padahal, mereka juga mandi dan buang hajat di sungai.
Masyarakat juga masih mengonsumsi air dari sungai tanpa dimasak. Padahal, mereka juga mandi dan buang hajat di sungai.
Salah satu momen yang menyesakkan dada adalah ketika sebagian ibu yang duduk di depan teras puskesmas justru menghisap rokok dan mengembuskan asap dekat anak-anak yang digendongnya.
Setelah dua jam meliput di Sawa, kami kembali ke Agats pada pukul 13.00 WIT. Untuk menghadapi perjalanan pulang ke Agats, kami mendapatkan dua pelampung dari Pastor Vincent Cole asal Amerika Serikat. Pastor Vincent Cole ternyata telah mengabdi di Asmat sejak tahun 1970-an.
Ketika menyusuri Sungai Pomats, tepatnya di dekat Kampung Yamas, kami sempat pula menyaksikan seekor buaya melintas dekat perahu kami. Seketika kami membayangkan, andai saja perahu kami terbalik, tentu tidak mudah untuk berenang meloloskan diri dari kejaran buaya itu.
Di Sungai Pomats, kami berpapasan pula dengan sebuah feri rute Agats-Mumugu. Sayangnya, feri itu tidak menurunkan kecepatan sehingga gelombang yang ditimbulkan oleh pergerakan kapal itu masuk ke dalam perahu kami. Baju kami pun basah walau untung laptop dan kamera kami terselamatkan karena berada di dalam tas.
Ketika kami memasuki muara, yang merupakan pertemuan arus Sungai Pomats, Sungai Asewet, dan Laut Arafuru, alam pun menguji kami. Selama 30 menit, perahu kami dipermainkan gelombang tinggi.
Meski ketinggian gelombang laut hanya sekitar setengah meter, gelombang itu tidak hanya datang dari arah depan, tetapi juga dari kiri dan kanan perahu. Perahu kami seolah dihantam gelombang dari segala penjuru.
Kami sempat hanya pasrah. Saya juga hanya bisa berdoa. Untung saja, Noe, motoris kami yang juga berasal dari Maluku dengan sigap dan tetap tenang dapat mengemudikan perahunya di tengah perairan yang berbahaya seperti di Arafuru. Kami pun kembali tiba di Agats dalam kondisi selamat.
Dari Agats, kami masih harus kembali berjuang menyusun tulisan demi ditayangkan di harian Kompas dan di laman Kompas.id. Setelah tulisan selesai dibuat dan foto selesai dipilih, berikutnya adalah perjuangan mendapatkan sinyal demi mengirim produk jurnalistik itu menuju Jakarta untuk diolah.
Hidup di Asmat ternyata adalah hidup dengan penuh perjuangan.
Hidup di Asmat ternyata adalah hidup dengan penuh perjuangan. Maka kemudian, setelah bantuan berdatangan dari saudara-saudara sebangsa dan setanah air bagi warga Asmat, perjuangan kami untuk meliput di Asmat seolah menjadi terbalaskan.