Lebih dari 20 Tahun, Pemerintah Dinilai Tidak Serius Tangani Banjir DKI
JAKARTA, KOMPAS — Banjir besar di Jakarta yang terjadi saat ini bukanlah yang pertama. Hampir setiap lima tahun secara rutin banjir besar bisa diprediksi terjadi. Dengan kondisi itu, pemerintah dinilai tidak serius menangani banjir di Ibu Kota. Butuh komitmen secara menyeluruh, baik dari pemerintah pusat maupun provinsi, agar masalah banjir bisa ditangani secara tuntas.
Pada Kompas (8/1/1996), Gubernur DKI Jakarta Surjadi Soedirdja ketika meresmikan Gedung Program Ciliwung Bersih di Pejompongan, Jakarta Pusat, mengatakan, banjir Jakarta saat itu adalah yang terburuk sejak 1976. Mulai saat itulah, istilah banjir lima tahunan muncul.
Dari salah satu catatan Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca pada 2002 berjudul ”Evaluasi dan Analisis Curah Hujan sebagai Faktor Penyebab Bencana Banjir”, pada Januari 1996, debit puncak banjir di Sungai Ciliwung mencapai 743 meter kubik per detik di Bendung Katulampa, Bogor. Sutopo Purwo Nugroho, peneliti yang menuliskan catatan itu, menyebutkan, banjir tersebut diakibatkan seluruh sistem prasarana drainase buruk.
Pengamat tata kota Nirwono Yoga, Kamis (8/2), mengatakan, persoalan banjir di Jakarta tidak pernah serius ditangani oleh pemerintah, terutama terkait banjir akibat luapan Sungai Ciliwung. Menurut dia, pemerintah pusat bersama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat perlu bersinergi untuk menyelesaikan masalah banjir dari hulu hingga hilir.
Lebih dari 20 tahun, pemerintah tidak serius menangani persoalan banjir.
”Ini berarti, lebih dari 20 tahun tidak ada keseriusan pemerintah ke sana (persoalan banjir),” ujarnya.
Menurut Nirwono, keseriusan tersebut seharusnya bisa dilihat dari pembenahan saluran air, revitalisasi tata ruang kota, dan pengaturan perizinan bangunan yang mengganggu resapan air.
Nirwono menyebutkan, untuk menangani masalah banjir di Jakarta, setidaknya perlu lima langkah besar yang secara serentak dilakukan pemerintah. Langkah tersebut adalah penataan bantaran sungai dari hulu hingga hilir, revitalisasi situ (sejenis danau) dan waduk, penambahan ruang terbuka hijau di bagian hulu, perbaikan saluran air, serta penataan resapan air di perkotaan.
Pemerintah perlu tegas dalam penataan di sepanjang bantaran sungai. ”Pemerintah saat ini harus bisa merelokasi semua permukiman di bantaran sungai, khususnya di Sungai Ciliwung. Untuk itu, pembangunan rusun (rumah susun) juga harus dipersiapkan agar warga yang direlokasi tetap bertempat tinggal,” tutur Nirwono.
Pemerintah saat ini harus bisa merelokasi semua permukiman di bantaran sungai, khususnya di Sungai Ciliwung. Untuk itu, pembangunan rumah susun juga harus dipersiapkan agar warga yang direlokasi tetap bertempat tinggal.
Penataan ini, lanjutnya, tidak hanya dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tetapi juga Pemerintah Kota Bogor dan Depok yang wilayahnya juga dilalui aliran Sungai Ciliwung. Jika tidak dilakukan serentak, program tersebut dinilai tidak akan optimal.
Selain itu, revitalisasi situ dan waduk juga perlu dilakukan untuk mengurangi dampak banjir yang terjadi.
”Sekarang ini konsep yang digunakan lebih bagaimana secepat mungkin membuang air ke laut. Padahal, kanalisasi (penyaluran) dan penampungan air di waduk dan situ bisa mengurangi dampak banjir secara signifikan,” ujar Nirwono.
Saat ini, kata Nirwono, jumlah situ di Jakarta sebanyak 178. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan 10 tahun lalu, yang tercatat ada 207 situ. ”Situ-situ ini sudah diuruk menjadi apartemen dan permukiman,” ucapnya.
Kemudian, lanjut Nirwono, penambahan ruang terbuka hijau harus dilakukan di kawasan Puncak, Bogor. Menurut dia, banyak kawasan konservasi yang justru dijadikan sebagai wilayah agrowisata dan agrobisnis. Hal itu menunjukkan kebijakan tidak tegas dijalankan.
Perbaikan saluran air juga menjadi prioritas. Beberapa kali, banjir yang terjadi di Jakarta diakibatkan banjir lokal. Hal ini, ujar Nirwono, menunjukkan drainase (saluran air) tidak dibenahi secara serius. ”Hanya sekitar 33 persen drainase yang berfungsi baik,” katanya.
Hanya sekitar 33 persen drainase di Jakarta yang berfungsi baik.
Hal lain yang juga disampaikan Nirwono terkait permasalahan pembangunan yang seluruh bagian tanahnya diperkeras. Padahal, ujarnya, setidaknya 30 persen dari total lahan harus berfungsi sebagai wilayah serapan air. Untuk itu, genangan air sering terjadi di sebagian besar kawasan pusat kota.
Butuh sikap serius
”Masalah banjir harus disikapi dengan serius. Pemerintah harus bersinergi merencanakan dan melaksanakannya dari hulu ke hilir. Jika tidak, mustahil masalah banjir di Jakarta bisa selesai,” kata Nirwono.
Sebelumnya, Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Teguh Hendarwan memastikan bahwa program normalisasi akan dilanjutkan tahun ini. Masalah pembebasan lahan diharapkan tidak menjadi hambatan agar program strategis ini bisa mencapai sasaran hingga 2019.
”Pelaksanannya (normalisasi) mulai dijalankan pada 2013. Saat ini, progres di lapangan sudah 60 persen,” lanjutnya.
Saat ini, dari 35 kilometer (kanan-kiri sungai) panjang tanggul yang harus dikerjakan, baru 16 kilometer yang dinormalisasi. Program ini ditargetkan bisa selesai pada 2019.
Program normalisasi Sungai Ciliwung merupakan upaya untuk mengembalikan kondisi sungai yang seharusnya. Hal tersebut meliputi pengembalian kondisi lebar sungai atau galian sungai menjadi 35-50 meter, memperkuat tebing dengan pembangunan tanggul, membuat jalan inspeksi selebar 6-8 meter, meningkatkan kapasitas daya tampung air dari 200 meter kubik per detik menjadi 570 meter kubik per detik, serta penataan kawasan di sekitar Sungai Ciliwung.
Teguh menyampaikan, tahun ini normalisasi akan dilakukan di kawasan Gang Arus, Cawang; Kramatjati; dan Manggarai.
Lokasi lain yang belum dibebaskan terkendala adanya klaim hak ahli waris ataupun adanya gugatan hukum atas relokasi, seperti di daerah Bidara Cina, Jatinegara. ”Masalahnya, sebagian warga baru mau direlokasi ke rumah susun yang tidak jauh dari lokasi tinggalnya saat ini,” katanya.
Tahun ini normalisasi akan dilakukan di kawasan Gang Arus, Cawang; Kramatjati; dan Manggarai.
Menanggapi penataan sungai yang harus merelokasi warga, Wakil Gubernur DKI Sandiaga Uno menyatakan telah bertemu Wali Kota Jakarta Timur. ”Kalau sudah terpetakan warga yang sepakat (pindah), mestinya bisa dieksekusi tahun ini,” ujarnya. Warga dicarikan rumah susun dekat rumah asal. Hal itu, menurut Sandiaga, bukan berarti menggusur (Kompas, 8/2). (DD04)