Lebih dari 1.000 Pemuda Bertukar Budaya
JAKARTA, KOMPAS — Selama 36 tahun, lebih dari 1.000 pemuda Indonesia dan Australia bertukar budaya serta pengalaman sosial dan profesional.
Pertukaran dilakukan demi membangun pemahaman lintas budaya dan jejaring internasional.
Kegiatan tersebut disalurkan melalui Program Pertukaran Pemuda Indonesia-Australia (AIYEP).
Program tahunan itu diselenggarakan Australia-Indonesia Institute dan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
Kuasa Usaha Australia Allaster Cox, dalam acara berbagi pengalaman Program AIYEP periode 2017-2018, di Jakarta, Kamis (8/2), mengatakan, program AIYEP memberi kesempatan berharga bagi pemuda dari Indonesia dan Australia belajar tentang budaya dan cara hidup masing-masing.
Mereka dapat menjalin persahabatan antarbangsa dan mempromosikan hubungan baik kedua negara.
Pada periode 2017-2018, sebanyak 18 pemuda Indonesia dan 18 pemuda Australia berusia 21-25 tahun mengikuti program penempatan kerja dan menginap selama dua bulan, baik di desa maupun kota di Indonesia dan Australia.
Mereka berada di Australia pada Oktober-Desember 2017 dan di Indonesia pada Desember 2017-Februari 2018.
Pemuda Indonesia selama dua bulan berada di Sydney dan wilayah Hunter, New South Wales. Mereka kemudian bergabung dengan 18 delegasi AIYEP Australia untuk tinggal di Kota Bengkulu dan Desa Babakan Baru, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.
Di sana, mereka menjalankan proyek pembangunan masyarakat, yang terbagi menjadi lima sektor. Kelima sektor itu adalah pariwisata, pendidikan, lingkungan, kesehatan, dan pertanian.
Misalnya, di bidang kesehatan mereka akan mengajarkan masyarakat desa hidup sehat dengan berolahraga dan pertanian mengenai cara membuat kompos dari sisa hasil pertanian.
Jake Turvey (23), salah satu peserta program, menyatakan tertarik dengan budaya Indonesia sejak datang pada Agustus 2016 ke Yogyakarta. Ia menjadi salah satu siswa pertukaran di Universitas Gadjah Mada.
”Saya belajar lebih sabar karena bahasa yang berbeda dengan masyarakat Indonesia,” katanya.
Selain bahasa, ia juga belajar mengenai budaya Indonesia sehingga terekspos dengan sudut pandang yang berbeda. Ia juga menjadi lebih sadar dengan budayanya sendiri.
Seperti Jake, Yoza Prima Hidayoza (24) juga mendapat banyak pengalaman dalam mengikuti program tersebut. Ketika di Sydney, ia sempat magang selama beberapa minggu di Australian Museum.
Di sana ia belajar melakukan riset, mendata koleksi ke versi digital, melakukan pameran, dan mengadakan seminar.
Untuk di daerah, Yoza terlibat dalam sektor lingkungan di Desa Babakan Baru. Ia dan beberapa peserta lain fokus dalam menangani masalah lingkungan yang ada di Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS), Bengkulu.
”Kami mengampanyekan bagaimana warga setempat dapat menjaga TNKS,” ujarnya.
Hal tersebut dilakukan lantaran TNKS masuk dalam Situs Warisan Dunia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO).
Penjagaan dapat dilakukan dengan tetap memberikan manfaat ekonomi kepada warga sekitar. Hal itu misalnya warga diajarkan mengolah tanaman kopi di area itu tanpa merusak pohon.
Asisten Deputi Kemitraan dan Penghargaan Pemuda Kemenpora Wisler Manalu menyatakan, masa muda penting digunakan untuk membentuk berbagi pengalaman.
Ia mengatakan, pemuda perlu diberdayakan dengan berbagai jenis talenta dan karakter yang dimiliki agar dapat menjadi pelaku dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, budaya, pariwisata, dan kesehatan.
Pengembangan karakter
Program AIYEP diharapkan dapat membantu mengembangkan karakter pemuda Indonesia. Saat ini, pemuda Indonesia perlu dipersiapkan dari berbagai sisi untuk menyambut bonus demografi, globalisasi, dan era digital.
Dalam Global Human Capital Report tahun 2017 oleh Forum Ekonomi Dunia (WEF), indeks pembangunan manusia Indonesia secara keseluruhan berada di urutan ke-65 dari 130 negara dengan total skor 62,19.
Posisi tersebut di bawah Singapura di peringkat ke-11 dengan skor 73,28, Malaysia di peringkat ke-33 dengan skor 68,29, Thailand peringkat ke-40 dengan skor 66,15, serta Filipina peringkat ke-50 dengan skor 64.36.
”Mereka dapat menjadi pemuda berkarakter dan mandiri lewat program pengabdian masyarakat,” ujar Wisler.
Indonesia harus bersiap karena akan memasuki masa bonus demografi pada tahun 2020-2040.
Bonus demografi adalah fenomena di mana porsi penduduk yang berusia produktif lebih besar daripada porsi penduduk yang tidak produktif.
Selain itu, dunia telah memasuki masa globalisasi, terutama dengan adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sejak tahun 2015.
MEA adalah perdagangan bebas di negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN), di mana satu negara dapat menjual barang dan jasa dengan mudah.
Berbagai barang dan jasa dari negara lain telah dipasarkan di Indonesia.
Adapun dalam menghadapi era digital, Indonesia masih menjadi pasar bagi dunia internasional.
Indonesia adalah negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, tetapi baru memiliki empat perusahaan rintisan kategori unicorn atau perusahan dengan nilai valuasi lebih dari 1 miliar dollar AS.
Perusahaan itu adalah Gojek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak.
Dibandingkan dengan India, negara populasi terbesar kedua dunia, negara yang terletak di Asia Selatan itu telah memiliki enam perusahaan, yaitu Ola Cabs, Paytm, Snapdeal, Quikr, Shopclues, dan Flipkart.
Belum lagi jika dibandingkan dengan China dan Amerika Serikat.
”Pengalaman ini memberikan kesempatan interaksi people to people sehingga dapat memahami budaya dan karakter masyarakat. Dari situ, mereka akan dibangun menjadi pemuda yang unggul,” kata Wisler.
Motivasi
Wrisler menyatakan, terjunnya pemuda ke daerah juga dapat memotivasi pemuda lainnya. Dengan kata lain, pemuda dan daerah dapat saling mengembangkan potensi masing-masing.
”Keberadaan mereka memacu semangat anak muda setempat. Mereka ikut bersemangat melihat anak muda Indonesia dan Australia membangun daerah,” kata Wrisler.
Hal tersebut disetujui Wahyu Tri Novriansyah (26), salah satu peserta AIYEP periode 2017-2018.
Ia berpartisipasi dalam sektor pertanian, di mana dia dan beberapa teman lainnya mengolah sisa hasil pertanian, yaitu kulit kopi dan padi menjadi pupuk kompos di Desa Babakan Baru.
Warga desa dan peneliti dari universitas setempat membangun sebuah bak penampungan sebagai tempat pupuk kompos. Lalu, warga dilatih membuat kompos menggunakan bakteri.
”Kami mengajak dua mahasiswa di desa itu sebagai pengawas dari proyek tersebut,” kata Wahyu. Langkah tersebut ia nilai membantu memberdayakan pemuda setempat.
Tantangan
Wisler menambahkan, tantangan bagi pemuda Indonesia untuk berkembang saat ini adalah mereka lebih memilih tinggal di perkotaan daripada di desa.
Padahal, desa-desa di Indonesia memiliki banyak potensi alam yang luar biasa, seperti di sektor pertanian dan perikanan.
Dalam pemberitaan Kompas, 30 Oktober 2017, terdapat 64 juta pemuda dengan rentang usia 16-30 tahun mengacu pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan.
Mayoritas pemuda tinggal di perkotaan. Namun, 4 juta orang berusia 15-24 tahun adalah penganggur dari total 7 juta penganggur pada 2017.
Menurut dia, pengembangan karakter diharapkan dapat menjadi salah satu modal dalam mendorong pemuda mengembangkan daerah. (DD13)