Nasi Kapau, Rajanya Kuliner Minangkabau
Hujan akhir Januari lalu tidak menyurutkan pelanggan untuk datang ke warung Ni Er. Ernida, si pemilik warung Ni Er, tiada henti memuat lauk, sambal, sayur, dan aneka kuah ke piring para pelanggannya. Takaran kuahnya terukur.
- English Version: \'Nasi Kapau\', King of Minangkabau Cuisine
”Kalau komposisi sayur, kuah, dan sambalnya pas, rasanya pasti sedap,” ujar perempuan berusia sekitar 50 tahun itu.
Ni Er, yang juga panggilan Ernida, tak lain pedagang nasi kapau di Los Lambuang, Pasar Bawah, Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia berjualan di dua lapak berukuran masing-masing 4 meter x 4 meter. Belasan lauk dagangannya terletak rapi dalam wadah piring atau baskom yang disusun di atas rak kayu bertingkat tiga.
Perempuan berkerudung itu berdiri di belakang meja menyiapkan santapan. Sementara para pelanggan duduk di kursi kayu mengelilinginya.
Pemandangan di kedai Nasi Kapau Ni Er berbeda dengan model berjualan masakan padang lainnya di Tanah Air, yang biasa memajang lauk di etalase. Tangkai panjang dari kayu, sayur gulai campuran nangka, rebung, kol, dan kacang panjang, gulai tambusu (usus sapi yang diisi racikan telur berbumbu), ikan batalua (ikan mas yang diisi telur ikan), rendang ayam/ itik adalah ciri khas nasi kapau. Menu seperti itu jarang ada di rumah makan padang.
Nasi kapau memang lain dari nasi padang. Masakan nasi kapau berasal dari resep etnis kecil Nagari (Desa) Kapau di Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, Sumbar. Karena letaknya hanya 5,6 kilometer dari Kota Bukittinggi, tak heran jika pusat penjualan nasi kapau berada di ”Kota Jam Gadang”.
Biasanya perempuan
Penamaan rumah makan nasi kapau umumnya berasal dari nama pemilik dan biasanya perempuan. Di Los Lambuang, masih ada penjual lain yang tak kalah tenar, seperti Ni Lis. Adapun nasi padang biasa bermerek Sederhana, Garuda, Siang Malam, atau Pagi Sore.
Nasi kapau tidak hanya dikelola tradisional. Salah satu rumah makan nasi kapau terbesar, milik Uni (kakak) Cah, berlokasi di Kapeh Panji, daerah batas Kota Bukittinggi menuju Padang Panjang. Pemilik restoran itu Nafsah (60), yang dipanggil dengan sebutan Cah.
Restoran Uni Cah yang diawali dari kaki lima sejak 1981 semakin terkenal ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono makan bersama para menteri di sana, Oktober 2013.
Penamaan rumah makan nasi kapau yang berbeda dengan restoran padang bukan tanpa sebab. Menurut Nursyirwan Effendi, Guru Besar Antropologi Universitas Andalas, Padang, selain untuk menonjolkan identitas (nagarinya), orang Kapau percaya diri dengan masakannya. Mereka yakin, resep nenek moyangnya berbeda dengan masakan Minangkabau lainnya meski bahan dasarnya sama.
”Ciri khas nasi kapau ada pada sayur gulai nangka yang dicampur rebung, kol, dan kacang panggang, tambusu, ikan batalua dan rendang ayam atau itik. Lauk nasi kapau sedikit asam, tetapi segar. Setiap rumah makan nasi kapau berbeda rasa, tetapi semuanya memiliki kesamaan dalam rasa, yaitu enak atau sangat enak,” kata Nursyirwan.
Menurut Nafsah atau Uni Cah, keunggulan nasi kapau dimulai sejak awal pemilihan bahan, kepiawaian meracik dan menggunakan bumbu, cara memasak sampai penyajian. Proses pembuatan makanan tidak sekadar memanaskan bahan dengan bumbu di api kompor, tetapi melalui proses panjang yang sangat rumit.
Untuk bahan bermutu, misalnya, Uni Cah memilih sayuran dan bahan lainnya sendiri di pasar. Ia kukuh memakai bahan lokal, seperti cabai, bawang merah, bawang putih, jahe, lengkuas, daun salam, serai, dan kelapa. Semua bumbu diracik sendiri sesuai jenis masakan.
Menurut Uni Cah, kebanyakan tukang masak di restoran padang bekerja dalam pola memasak umum. Misalnya menumis bumbu, menggunakan bahan santan yang sama untuk berbagai jenis masakan berbeda dan memakai kompor gas.
”Kalau uni tidak. Santan untuk gulai tambusu, ikan batalua, tunjang (kikil), dan rendang sudah berbeda (kekentalannya),” kata Uni Cah.
Selain itu, kata Uni Cah, di dapurnya ada sembilan tungku untuk memasak jenis masakan berbeda. Mayoritas makanan dimasak dengan tungku berbahan bakar kayu dengan api kecil atau dipanggang dengan bara api. Kayu yang dipakai biasanya batang kayu kulit manis yang mengeluarkan asap tidak perih di mata dan membuat masakan lebih beraroma.
”Masakan yang dimasak memakai kayu akan berbeda rasanya dengan yang dimasak dengan kompor gas. Demikian pula dengan bahan-bahan lokal,” kata Uni Cah.
Menurut Wali Nagari Kapau Zulkarnaini, pencinta nasi kapau sejati akan dapat membedakan masakan asal kampungnya dengan hidangan Minangkabau lainnya hanya dengan mencium aroma makanan. Aroma itu muncul dari penggunaan bahan-bahan lokal dan penggunaan api kecil atau hanya menggunakan bara kayu bakar dari batang kayu manis.
Namun, seperti peribahasa, ”ada rupa, ada rasa, ada harga”. Harga menu nasi kapau sedikit lebih mahal daripada restoran padang umumnya. Namun, itu sepadan dengan rumitnya cara pengolahan dan lezatnya masakan. Dijamin, sekali merasakan, akan sulit melupakan. (ISMAIL ZAKARIA/SYAHNAN RANGKUTI)