BANDA ACEH, KOMPAS - Rencana Pemerintah Provinsi Aceh membeli dua unit pesawat pemantau dengan harga Rp 16 miliar dalam APBD 2018 ditentang oleh para pihak. Pembelian pesawat dinilai memboroskan anggaran daerah di tengah tingginya kemiskinan, pengangguran, dan ketertinggalan infrastruktur di daerah itu.
Pesawat yang diusulkan yakni jenis shark aero bermesin tunggal. Pesawat itu akan digunakan untuk pemantauan keamanan laut terkait pencurian ikan, penyelundupan narkoba, dan pemantauan hutan dari aksi pembalakan liar. Namun, sejauh ini pihak legislatif belum menyetujui rencana itu.
Koordinator Masyarakat Transparansi Anggaran (MaTA) Alfian, di Banda Aceh, Jumat (9/2) menuturkan, saat ini Aceh belum membutuhkan pesawat. Dia menyebutkan pengadaan pesawat hanya keinginan bukan kebutuhan. “Makanya perlu ditolak dan kita tidak mau peristiwa lama terulang, Gubernur Aceh dulu masuk penjara gara-gara pesawat,” kata Alfian.
Alfian menambahkan, alasan pengadaan untuk memantau pencurian ikan dan pengrusakan hutan dinilai tidak cukup kuat. Seharusnya anggaran tersebut digunakan untuk memberdayakan nelayan dan warga di sekitar hutan.
Kata Alfian, keberadaan pesawat tidak ada kolerasi dengan peningkatan kesejahteraan warga, terutama nelayan dan warga di sekitar kawasan hutan. Artinya angka kemiskinan tetap tinggi. berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh per September 2017, angka kemiskinan di Aceh mencapai 829.000 orang atau 15,92 persen. Adapun tingkat pengangguran terbuka per Agustus 2017 mencapai 150.000 atau 6,57 persen.
Direktur Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Safaruddin mengatakan, Aceh masih tertinggal dalam banyak sektor dan membeli pesawat seharga Rp 16 miliar sama saja menghamburkan uang rakyat. Sebagai bentuk penolakan rencana itu, Safaruddin membawa pesawat mainan ke kantor DPR Aceh menyerahkan kepada tim pembahasan anggaran.
“Jalan dan jembatan masih banyak yang rusak. Masih banyak kamum duafa belum punya rumah, anak yatim dan miskin tidak melanjutkan pendidikan karena keterbatasan biaya, pupuk langka, dan pertanian gagal karena tidak ada irigasi,” ujar Safaruddin.
Selain dari masyarakat sipil, kritikan juga datang dari Wakil Ketua DPR Aceh Teuku Irwan Djohan. Kata Irwan, pihaknya akan meminta penjelasan dari pihak eksekutif sejauh mana pesawat pemantau itu diperlukan. Jika memang kondisi di lapangan sangat membutuhkan pesawat patroli legislatif kemungkinan akan menyetujui.
Juru bicara Pemprov Aceh Wiratmadinata menuturkan, Aceh sangat membutuhkan pesawat pemantau perairan dan hutan. Kata Wiratmadinata aksi pencurian ikan oleh nelayan asing, penyelundupan narkoba lewat laut, dan pengrusakan hutan sangat masif sehingga harus ada upaya simultan untuk menghentikannya.
“Pemantauan lewat udara lebih efektif dan hemat biaya. Anggaran yang dikeluarkan untuk membeli pesawat sangat kecil dibandingkan dengan kerugian akibat pencurian ikan dan pengrusakan hutan,” kata Wiratmadinata.