Kematian Dana P Mitchell kecil saja diberitakan di harian Kompas meski di Columbia Daily Spectator (Rabu, 9 Februari 1966) dimuat cukup panjang dan di halaman satu pula. Meski Mitchell dikabarkan bunuh diri setelah menembak istrinya, polisi membuka kemungkinan lain bahwa mereka adalah korban pembunuhan.
Mitchell memang tidak terlalu dikenal. Ia mengelola kegiatan Departemen Fisika di Universitas Columbia, Amerika Serikat, ketika Proyek Manhattan dimulai. Atomic Heritage Foundation mencatat, musim semi 1943 Robert Oppenheimer mengajak Mitchell bergabung ke Laboratorium Los Alamos di New Mexico, AS.
Proyek berawal 1938 ketika ilmuwan Jerman, Otto Hahn dan Fritz Strassmann, tanpa sengaja menemukan nuklir fisi. Albert Einstein dan Leo Szilard kemudian mengirim surat kepada Presiden AS Franklin D Roosevelt, mengingatkan bahwa Jerman mungkin akan merancang bom atom.
Presiden Roosevelt menjawab dengan proyek bom atom, resmi berdiri 13 Agustus 1942 dengan nama Proyek Manhattan. Proyek ini menggunakan Laboratorium Los Alamos yang dipimpin J Robert Oppenheimer untuk membuat bom atom. Mitchell datang ke Los Alamos dengan tugas menyiapkan seluruh perlengkapan yang dibutuhkan.
Pertama kali diuji coba pada 16 Juli 1945 di Tapak Trinity, padang gurun New Mexico, bom atom pertama dijatuhkan di Hiroshima, Jepang, 6 Agustus 1945. Sebanyak 90.000 hingga 166.000 orang meninggal hingga 4 bulan pascaledakan.
Tiga hari kemudian, bom kedua dijatuhkan di Nagasaki. Diperkirakan 40.000-75.000 meninggal seketika, 60.000 cedera berat, dan akhir 1945 total kematian mencapai 80.000 orang. Jepang kemudian menyerah 14 Agustus 1945.
Proyek Manhattan mewariskan pertanyaan serius tentang harkat kemanusiaan. Begitu murahkah kehidupan sehingga boleh dimusnahkan begitu saja? Belum lagi radiasi berkepanjangan yang membahayakan kesehatan dan lingkungan sebagai dampak ledakan nuklir. Apakah para ilmuwan Proyek Manhattan dihantui rasa bersalah? Bukankah ilmuwan seharusnya paham implikasi moral karyanya? (NES)