Industri Manufaktur Terhambat Daya Beli yang Rendah
JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan industri manufaktur terkendala daya beli masyarakat yang masih rendah. Selain itu, pertumbuhan belum terlihat karena industri jasa belum dapat mendorong industri manufaktur berkembang secara langsung.
Berdasarkan data Perkembangan Indeks Produksi Industri Manufaktur Besar dan Sedang 2015-2017 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), industri manufaktur tumbuh lebih dari 5 persen tahun 2013-2015, kemudian mulai turun pada 2016.
Melambatnya pertumbuhan industri manufaktur akhirnya berdampak pada stagnannya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tahun 2017, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,07 persen.
Pada 2017, industri manufaktur hanya tumbuh 4,27 persen dan pertanian tumbuh 3,81 persen. Sementara perdagangan tumbuh 4,44 persen, yang membaik dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya (Kompas, 6/2).
Dalam struktur produk domestik bruto (PDB) Indonesia, tiga sektor penyumbang utama adalah manufaktur, pertanian, dan perdagangan.
Kepala Riset PT Samuel Aset Manajemen dan pengajar pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih, saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (10/2), menyatakan, lambatnya pertumbuhan industri manufaktur salah satunya disebabkan oleh daya beli masyarakat yang masih rendah sehingga konsumsi barang menurun.
BPS menyebutkan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang menyumbang 56,13 persen pendapatan PDB melambat dari 5,01 persen pada 2016 menjadi 4,95 persen pada 2017.
Menurut Lana, daya beli rendah terjadi akibat inflasi, pendapatan yang stagnan, dan investasi dalam negeri yang belum normal.
”Selain itu, pasar untuk komoditas industri manufaktur yang diekspor menghadapi persaingan kuat. Indonesia harus bersaing melawan China, Thailand, Vietnam, Filipina, dan Malaysia,” ujar Lana.
Ia melanjutkan, industri manufaktur juga belum mendapat dukungan dari sektor jasa. Sektor jasa yang kini berkembang adalah perhotelan dan restoran, transportasi, serta komunikasi.
Keterkaitan pertumbuhan industri jasa dan manufaktur saat ini belum dapat terlihat. Hal tersebut Lana kembali kaitkan dengan daya beli yang masih rendah.
Misalnya, ketika sektor jasa di bidang komunikasi meningkat, permintaan gawai seharusnya ikut meningkat. Namun, masyarakat memilih membeli gawai bekas daripada yang baru yang harganya lebih mahal.
Kepala Kajian Makro Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia Febrio Kacaribu menuturkan, industri manufaktur merupakan penyumbang terbesar dalam PDB sebesar 21 persen.
Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, industri manufaktur yang bertumbuh bagus pada tahun 2017 adalah industri pengolahan nonmigas, dengan subsektor industri makanan dan minuman, mesin dan perlengkapan, logam dasar, serta kimia, farmasi, serta obat tradisional.
Febrio menilai, meningkatnya pertumbuhan empat subsektor tersebut perlu dibarengi dengan peningkatan pada industri subsektor elektronik, tekstil, dan sepatu.
Data BPS tentang Pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur Triwulan IV tahun 2017 menunjukkan, industri komputer, barang elektronik, dan optik tumbuh lebih lambat dibandingkan tahun sebelumnya.
Sebaliknya, industri tekstil meningkat 5,23 persen serta industri kulit dan alas kaki tumbuh 6,47 persen. Adapun pertumbuhan industri makanan mencapai 15,28 persen serta industri industri farmasi, produk obat kimia, dan obat tradisional sebesar 10,97 persen.
Menurut dia, ketiga subsektor tersebut akan membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang yang pada akhirnya meningkatkan daya beli.
Mengacu laporan BPS tentang indikator pasar tenaga kerja per Februari 2017, manufaktur menyerap 20,49 persen pekerja. ”Sekitar 15,5 juta orang masih bekerja di industri manufaktur,” kata Febrio.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Haris Munandar menuturkan, kondisi ekonomi Indonesia sebenarnya membaik selama beberapa tahun terakhir, misalnya dengan indikator bahwa inflasi di bawah 5 persen. Namun, tidak dapat dimungkiri perkembangan industri manufaktur belum maksimal.
Untuk mendorong investasi pada industri manufaktur, beberapa aturan masih terus dibenahi. Misalnya, keharusan investor asing untuk memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Menurut dia, aturan tersebut akan dikaji kembali karena menghambat investasi asing masuk ke Indonesia.
Selain itu, katanya, paradigma dari berbagai pihak bahwa investor perlu diberi pajak yang besar karena Indonesia memiliki pasar yang besar perlu diubah. Paradigma tersebut membuat Indonesia kalah bersaing dengan negara lain, seperti Vietnam dan Kamboja.
Investor akhirnya memilih untuk membuka perusahaan atau pabrik di negara lain, baru kemudian memasarkan barang ke Indonesia. ”Indonesia akhirnya benar-benar hanya menjadi pasar,” ujarnya.
Membaik
Lana memprediksikan, pertumbuhan industri manufaktur akan lebih baik ke depannya. Pertumbuhan industri jasa lambat laun akan ikut meningkatkan industri manufaktur. Contohnya, jasa transportasi akan membutuhkan mobil dan perhotelan membutuhkan tisu untuk pelanggan.
Febrio menambahkan, industri manufaktur akan membantu mendorong pertumbuhan ekonomi di tahun 2018.
”Subsektor pengolahan makanan dan minuman masih menjadi pendorong utama sektor manufaktur. Industri ini sangat berorientasi domestik dan tidak terlalu terpengaruh fluktuasi perekonomian,” tutur Febrio.
Ditambah lagi, pertumbuhan industri pengolahan makanan dan minuman juga dipengaruhi peningkatan populasi kelas menengah dan perkotaan, yang membutuhkan kepraktisan makanan dan minuman siap saji. (DD13)