Listrik Tenaga Angin dan Surya Menerangi Asa Kampung Nelayan
Nelayan-nelayan Kampung Bungin mengandalkan penerangan dari tempat tinggalnya untuk menuntun mereka pulang setelah melaut pada malam hari.
Listrik yang mengalir pada lampu-lampu di tepian sungai dan lampu suar berasal dari tenaga angin dan surya. Cahaya itulah yang menunjukkan jalan pulang bagi nelayan.
Sebelum ada pembangkit listrik tenaga surya dan angin di Kampung Bungin, listrik untuk penerangan di sekitar Kampung Bungin tidak stabil karena bergantung pada cuaca.
”Jika gelap, nelayan yang pulang sehabis melaut berisiko terdampar dan sulit sampai ke sini,” kata Ketua RT 001 Kampung Bungin Abdul Basir, Sabtu (10/2).
Listrik dari Perusahaan Listrik Negara mengalir di Kampung Bungin diperkirakan sejak 1987. Akan tetapi, kabel listrik yang dipasang itu melewati dahan-dahan pohon.
Akibatnya, ketika hujan dan angin kencang, kabel dapat terlepas atau putus sehingga menyebabkan listrik mati.
Apabila listrik mati, warga Kampung Bungin paling tidak harus menunggu semalaman. ”Pernah tiga tahun lalu cuaca buruk sampai menyebabkan banjir. Kami harus menunggu seminggu untuk perbaikan dari PLN,” kata Basir.
Kehadiran pembangkit listrik tenaga angin dan surya pada awal 2017 membawa perubahan di lingkungan Kampung Bungin.
Aliran listriknya lebih stabil dibandingkan dengan listrik dari PLN. Karena kestabilan listrik inilah, penerangan untuk jalan pulang bagi nelayan selalu tersedia meski hujan lebat dan angin kencang.
Energi maksimal yang berasal dari pembangkit listrik tenaga angin di Kampung Bungin berkisar 1,5 kilowatt.
Berdasarkan pantauan, ada empat tiang penyangga kincir di sana. Dari keempat tiang itu, ada dua yang sudah dipasang kincir, tetapi hanya satu yang beroperasi.
Sementara di dekat tiang-tiang kincir angin, terdapat enam panel surya yang berjejer. Panel surya ini dapat menghasilkan listrik sebesar 720 watt.
Listrik dari kedua sumber itu dialirkan ke rumah pembangkit melalui kabel yang ditanam di tanah. Dalam rumah pembangkit itu, terdapat 12 penyimpan daya beserta kelengkapan listrik lainnya, seperti alat-alat pengontrol listrik dan inverter atau pengubah arus listrik.
Saat ini, listrik dari energi baru terbarukan diutamakan untuk penerangan jalan di tepi Muara Bungin dan lampu suar. Listrik ini belum sepenuhnya mengalir ke rumah warga sehingga masyarakat masih menggunakan listrik dari PLN.
”Semoga penelitian energi angin dan surya ini berkembang dan nantinya seluruh rumah dialiri listrik dari sumber kami sendiri,” kata Basir.
Kampung Bungin terletak di Desa Pantai Bakti, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Deretan rumah ini berdiri di tepi hilir salah satu anak Sungai Citarum yang sekaligus menjadi batas daerah antara Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Karawang. Muara yang berada di sebelah perkampungan ini bernama Muara Bungin.
Ada tiga rukun tetangga (RT) yang terdiri atas sekitar 285 kepala keluarga tinggal di Kampung Bungin. Jumlah rumah di sana berkisar paling tidak 210 bangunan. Jenis bangunannya sebagian semipermanen dan sebagian lagi sudah permanen.
Mayoritas nelayan
Sebagian besar mata pencarian warga Kampung Bungin adalah nelayan. Mereka melaut hingga 1-5 mil dari pesisir pantai. ”Pendapatan rata-rata per bulan sekitar Rp 2 juta,” kata Basir.
Rata-rata jumlah seluruh hasil tangkapan laut nelayan-nelayan Kampung Bungin berada pada rentang 3-6 kuintal per hari. Jenis tangkapannya berupa kerang tiram, udang, rajungan, ikan kakap, dan ikan kembung.
Basir mengatakan, sebagian besar nelayan-nelayan di Kampung Bungin mulai melaut sejak tamat sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas.
”Sulit mencari kerja hanya dengan ijazah SMP atau SMA. Kalau melanjutkan ke perguruan tinggi, biayanya sulit. Akhirnya daripada menganggur, lebih baik menjadi nelayan,” kata Basir.
Selain menjadi nelayan, warga Kampung Bungin juga mengelola tambak ikan bandeng yang secara keseluruhan luasnya 2.000-3.000 hektar. Potensinya mencapai 2-3 ton per 10 hektar. Tambak ini dipanen setiap 5-6 bulan sekali.
Potensi pesisir
Teknologi energi baru terbarukan dibawa ke Kampung Bungin oleh tim yang dipimpin dosen Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI), Adi Surjosatyo. Tim ini terdiri atas sekitar 10 orang yang berasal dari UI.
”Saya memiliki inisiatif ini karena melihat daerah pesisir memiliki potensi energi baru terbarukan yang beragam, minimal bersumber dari angin dan matahari,” katanya.
Penelitian yang dilakukan sejak 2014 menyimpulkan, rata-rata kecepatan angin di Kampung Bungin berkisar 3,5 meter per detik. Karena itu, Adi menyesuaikan desain sistem generator dan turbin angin terhadap nilai kecepatan angin tersebut.
Untuk mengakrabkan masyarakat dengan teknologi energi baru terbarukan, Adi menerapkan pendekatan sosiokultural. Dia dan timnya mengadakan diskusi di masjid, pelatihan, atau penyuluhan minimal sebulan sekali.
”Kami juga mengajarkan kelistrikan yang paling sederhana, yakni tentang merawat dan membersihkan rumah pembangkit,” ujarnya.
Selama enam bulan, Adi juga mengutus dua mahasiswa Program Studi Antropologi UI tinggal di sana. Kedua mahasiswa itu bertugas meneliti pola masyarakat di sana beserta kebutuhannya dalam membangun Kampung Bungin.
Dari pelatihan itu, warga mengetahui cara mengendalikan tegangan. Hal itu, misalnya, apabila tegangan yang tercatat pada salah satu komponen di dalam rumah pembangkit di bawah 25 volt, ada yang harus dimatikan.
Salah satu warga Kampung Bungin, Akhmad Narwi (48), tertarik mengikuti pelatihan perawatan listrik ini.
”Pembangkit listrik ini juga milik masyarakat Kampung Bungin. Karena itu, kami merasa perlu belajar untuk merawatnya secara mandiri,” katanya.
Antusiasme itu hadir juga disebabkan adanya kesadaran membangun Kampung Bungin.
”Kami terbuka pada ilmu-ilmu dan teknologi yang dapat mengembangkan kampung kami,” ujar Ketua RT 002 Kampung Bungin Abdul Fatah.
Setiap sebulan sekali pula, ada anggota tim yang mengecek dan mengontrol pembangkit listrik di Kampung Bungin. Apabila ada kerusakan, ketua RT dapat melaporkan kepada Adi dan timnya.
Tantangan akses
Kendaraan roda empat tidak dapat sampai tepat di Kampung Bungin. Kira-kira 250 meter sebelum kampung, mobil tak lagi bisa lewat.
Lebar jalan di kampung itu kira-kira cukup untuk dua motor. Jembatan yang menuju ke sana terbuat dari kayu dan hanya dapat dilalui kendaraan roda dua.
Belum semua ruas jalan yang menuju Kampung Bungin berupa aspal. Ada yang berupa tanah bebatuan dan berada di tengah tambak. Ruas jalan hanya cukup dilewati satu mobil.
Pemasangan peralatan energi baru terbarukan di sana berjalan efektif selama dua bulan sejak Oktober 2016. Salah satu alat yang cukup sulit diangkut adalah tiang-tiang penyangga kincir yang tingginya berkisar 11 meter.
Adi menceritakan, saat pengangkutan, jika jalur darat tergenang air, tim membawanya dengan perahu yang berangkat dari muara lain di sekitar Bekasi Utara.
Menggaet investor
Hingga saat ini, energi surya dan angin di Kampung Bungin bermanfaat untuk memberikan penerangan bagi nelayan yang pulang melaut pada malam hari.
”Ke depan kami berharap pembangkit listrik tenaga angin dan surya ini menjadi pintu masuk arus modal yang dapat menggaet investor membantu mengembangkan Kampung Bungin,” kata Abdul.
Kehadiran investor dibutuhkan sebagai akses modal untuk membantu Kampung Bungin menyelesaikan masalah pendangkalan laut dan pemasaran hasil tangkapan laut.
Menurut Abdul, kedua masalah itu tidak dapat diselesaikan oleh warganya sendiri.
Pendangkalan laut menjadi masalah bagi nelayan-nelayan Kampung Bungin dalam empat tahun terakhir. Abdul mengatakan, perahu nelayan tidak dapat lewat akibat kandas di bagian yang telah dangkal itu saat air surut.
Akibatnya, nelayan harus bermalam di perahu jika sudah telanjur surut atau nelayan harus mempersingkat waktu melautnya agar dapat pulang sebelum surut.
Dari segi pemasaran, masyarakat Kampung Bungin sudah diajarkan mengolah hasil tangkapannya terlebih dahulu sehingga memiliki nilai tambah saat dijual. Namun, alat penunjang produksi massalnya tidak tersedia.
Contohnya dalam mengolah ikan bandeng menjadi bandeng tanpa duri yang dapat memberikan nilai tambah sekitar Rp 10.000 per kilogram (kg). Abdul menuturkan, selama ini warga Kampung Bungin membuatnya tanpa bantuan mesin. Hasilnya, tiap orang dapat membuat maksimal 2 kg per hari. Padahal, ada alat pemisah duri yang dapat mengolah hingga 50 kg bandeng. Namun, Kampung Bungin tidak memiliki modal untuk membeli alat ini.
Begitu pula dengan pemasaran rumput laut. Abdul mengatakan, Kampung Bungin dapat panen rumput laut hingga 1 ton setiap 1-2 bulan sekali. Namun, mereka tidak memiliki akses pasar untuk menjualnya.
Kampun Bungin berpotensi memberdayakan dan mengelola hasil tangkapan lautnya sendiri. ”Kami ingin menjadi masyarakat nelayan yang mandiri dan nantinya dapat menjadi teladan bagi kampung nelayan lainnya,” kata Abdul.
Dalam setahun, energi angin dan surya telah menuntun nelayan-nelayan Kampung Bungin yang pulang melaut.
Lantas mereka berharap sumber energi alam ini juga mampu menerangi jalan para penanam modal untuk bersama-sama membangun kawasan pesisir agar lebih berdaya dalam mengelola perekonomian secara mandiri. (DD09)