Situasi Politik Ganjil seperti Cinta, Tidak Bisa Dipahami
”Kita seperti hidup dalam situasi politik yang ganjil seperti cinta. Tidak bisa dipahami. Layaknya menasihati orang gila jauh lebih mudah daripada menasihati orang yang sedang jatuh cinta,” ujar seniman Agus Noor seusai pementasan monolog di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta.
Hari ini, Minggu (11/2), Agus dan beberapa seniman, antara lain Sujiwo Tejo, Butet Kartaredjasa, Inayah Wahid, Sha Ine Febriyanti, dan Tatok mementaskan beberapa monolog dengan cerita berbeda.
Semua cerita tersebut terangkum dalam satu judul, yaitu ”Romantisisme dan Kegilaan Agus Noor”. Pementasan tersebut diangkat dari buku kumpulan cerita pendek Agus Noor, Lelucon Para Koruptor (2017).
Dari cerita yang dipentaskan, nuansa politik dan cinta menjadi bahasan utama. Cerita yang diceritakan Butet, misalnya, menceritakan kegilaan sebuah situasi hukum di suatu tempat.
Cerita itu bermula dari kejadian pembunuhan seorang aktivis, di mana seekor anjing menjadi saksi mata. Lantas anjing tersebut dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan di sebuah pengadilan.
Pengadilan tersebut mendapatkan perhatian dari masyarakat luas karena disiarkan secara langsung oleh media nasional secara terus-menerus.
”Namun ada yang perlu diapresiasi dari saksi ini yang mulia hakim. Ia datang tanpa kepura-puraan menderita penyakit ataupun menabrak tiang. Ini perlu diteladani, khususnya oleh para koruptor,” kata Butet.
Namun, selama persidangan, anjing yang menjadi saksi seolah mendapatkan tekanan dari berbagai pihak, yaitu masyarakat, bahkan majelis hakim yang memutuskan menahan sang anjing. Si anjing pun dinilai takut mengungkapkan fakta dari kejadian yang disaksikannya secara langsung.
”Kegilaan lantas terjadi di persidangan, memang kegilaan itu membuat kita merasa sebal, tetapi di sisi lain membuat kita terpuaskan,” ujar Butet.
Perdebatan muncul di masyarakat, sang anjing dicaci dengan munculnya banyak ujaran kebencian karena anjing tersebut dianggap mewakili kebangkitan kaum ”kiri”.
Kesimpulan itu didapat karena kaki kiri sang anjing terbukti lebih bengkok dibandingkan kakinya yang lain.
Akan tetapi, banyak kelompok aktivis yang justru mendukung sang anjing agar tetap dapat menegakkan keadilan.
Kelompok yang mendukung sang anjing kemudian menuding para pembenci anjing adalah kelompok yang intoleran dan mengancam keberagaman bangsa.
”Bertahun-tahun kasus itu terus dibahas, bahkan di antara kelompok yang mendukung sang anjing, ada yang mengenakan kaus bertuliskan agar anjing mencalonkan diri sebagai calon presiden di pemilihan presiden selanjutnya. Sementara itu, kasus pembunuhan seorang aktivis itu pun tidak pernah terselesaikan,” kata Butet menutup ceritanya.
Masih menggunakan obyek anjing sebagai cerita, Inayah Wahid tampil membacakan sebuah cerita tentang keresahan di suatu lingkungan masyarakat.
Keresahan itu bermula dari hadirnya anjing yang mengenakan jubah berwarna merah. Jubah tersebut dipakaikan sekelompok pemuda yang gemar menenggak minuman keras.
”Ada seorang tokoh agama bernama Kamir Rais di lingkungan tersebut yang merasa kehadiran anjing berjubah merah membawa dampak negatif di lingkungannya. Terbukti dengan para pemabuk yang tidak pernah mau diajak mengikuti pengajian,” ujar Inayah.
Selanjutnya, Kamir menengarai kehadiran anjing tersebut sebagai kebangkitan paham komunis yang pernah ada di lingkungan tersebut.
Jubah merah yang dikenakan sang anjing meyakinkan dugaan Kamir. Setali tiga uang dengan Kamir, warga di lingkungan itu pun memiliki keyakinan yang sama.
Oleh karena itu, warga setempat menyerahkan masalah tersebut kepada Kamir. Selain dipandang sebagai tokoh agama, Kamir dipercaya warga karena ia selalu memperkenalkan dirinya sebagai tokoh yang pernah berjasa memberantas komunis di lingkungannya pada masa lalu.
”Pada suatu malam, Pak Kamir menyaksikan bahwa anjing tersebut menyelamatkan nyawa warganya yang hampir melayang oleh rampok. Berkat serangan sang anjing, perampok tersebut tidak jadi menyayat warga dengan goloknya, tetapi menyayat sang anjing yang terus menggonggong dan menyerangnya,” kata Inayah.
”Anjing tersebut pun tergeletak berlumuran darah sehingga warnah merah jubahnya tidak berbeda dengan warna kulitnya. Lantas Pak Kamir meminta warganya untuk menghanyutkan anjing tersebut ke sungai,” lanjut Inayah lirih sambil menuntaskan ceritanya.
Sementara itu, Agus Noor membawakan cerita lain, ia membacakan kisah dengan nuansa romantis dengan menyanyikan sebuah lagu.
Kepada seorang wanita yang duduk disebelahnya ia berujar, ”Aku memberikan jam tangan kepadamu bukan agar engkau mengetahui waktu, melainkan agar dirimu dapat menghitung betapa lamanya aku merindukanmu,” kata Agus.
Seusai pementasan, Inayah menuturkan, cerita pada hari ini membawa pesan yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia. Ia menyoroti banyaknya aksi persekusi di masyarakat. Perbedaan identitas seorang lantas dijadikan komoditas politik.
”Saya menganggap orang-orang yang menyebarkan isu SARA itu jahat. Saya ibaratkan mereka itu tengah berada di dalam sebuah kapal yang berisi penuh orang, tetapi mereka yang membolongi kapal itu sendiri. Mereka hanya mementingkan nafsu politiknya, tanpa menyadari bahaya dari apa yang mereka perbuat,” ujar Inayah.
Sementara itu, Agus menegaskan, konsep pementasan seni yang ditampilkan mencoba menampilkan dua hal yang berbeda, antara hal-hal aneh yang bersifat surealis dilengkapi dengan nuansa romantis.
Agus mengakui, ceritanya diilhami dari situasi politik di Indonesia yang dianggapnya sangat aneh. Sesuatu yang terjadi tidak bisa dipahami dengan akal sehat. Meski demikian, Agus masih optimistis akan masa depan bangsa Indonesia ke depan.
”Saya tetap masih optimistis di Indonesia masih banyak orang waras, saya percaya akal sehat. Fase seperti ini mungkin harus dilalui bangsa ini di mana terdapat berbagai macam sentimen yang ada. Agar terjadi dialektika, fase itu memang harus dialami, kalau tidak, mungkin kita tidak akan menjadi bangsa yang kritis,” ujar Agus. (DD14)