Forum Masyarakat Katolik Indonesia: Perkuat Rantai Keberagaman dan Persaudaraan
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menyikapi penyerangan di Gereja Katolik Santa Lidwina, Bedog, Kabupaten Sleman, Minggu (11/2), Forum Masyarakat Katolik Indonesia menyerukan perkuat rantai keberagaman dan persaudaran. Hal ini perlu dilakukan untuk menangkal tindakan yang mengadu domba.
”Kami meminta masyarakat memperkuat rantai keberagaman dan persaudaraan sebagai upaya menangkal tindakan yang mengadu domba,” ujar Ketua Umum Forum Masyarakat Katolik Indonesia Keuskupan Agung Jakarta Yulius Setiarto dalam siaran persnya tertanggal 11 Februari 2018.
Yulius menduga ada upaya sistematis untuk memecah belah persaudaraan sesama anak bangsa. Anggapannya ini disimpulkannya berkaca dari setidaknya ada empat kejadian yang menyangkut penyerangan terhadap tokoh agama dan pelarangan kegiatan ibadah dalam dua pekan terakhir.
Ada upaya sistematis untuk memecah belah persaudaraan sesama anak bangsa. Anggapannya ini disimpulkannya berkaca dari setidaknya ada empat kejadian yang menyangkut penyerangan terhadap tokoh agama dan pelarangan kegiatan ibadah dalam dua pekan terakhir.
Pada 27 Januari 2018, KH Umar Basri, Pemimpin Pondok Pesantren Al Hidayah, di Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, diserang seorang pria berusia 50 tahun berinisial A. Kepolisian Daerah Jawa Barat melanjutkan pemeriksaan dan menemukan bahwa pelaku memiliki riwayat gangguan jiwa dan pernah menjalani perawatan di rumah sakit jiwa.
Keesokan harinya, bakti sosial yang diselenggarakan Gereja Santo Paulus di Kabupaten Bantul dibubarkan massa organisasi masyarakat Front Jihad Islam (FJI). Kegiatan itu dituduh menjadi sarana kristenisasi warga.
Minggu (4/2), Biksu Ati yang memiliki nama asli Mulyanto Nurhalim diusir dari tempat tinggalnya di Desa Babat, Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang, karena dituduh akan menyebarkan agama Buddha. Warga menduga Mulyanto menyalahgunakan tempat tinggalnya sebagai tempat ibadah, padahal hanya ada warga umat Buddha yang datang memberikan makanan dan meminta berkat.
Adapun kasus teranyar adalah penyerangan di Gereja Katolik Santa Lidwina di Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Minggu (11/2). Akibat penyerangan oleh pelaku bernama Suliono itu, lima orang terluka, termasuk Pastor Karl-Edmund Prier SJ.
”Kejadian demi kejadian tersebut telah mencederai semangat kebersamaan yang dijiwai nilai-nilai Pancasila,” ujar Yulius.
Ia mengemukakan, penyerangan, penganiayaan, terror, dan persekusi merupakan tindakan intoleransi yang telah merusak kohesi masyarakat kita dan melawan hukum yang berlaku di Indonesia.
Seruan untuk mempererat persaudaraan ini relevan dengan kondisi saat ini. Hal ini karena upaya menekan kebebasan beragama mengalami tren yang meningkat paling tidak dalam tiga tahun terakhir.
Berdasarkan jumlah pengaduan masyarakat yang diterima Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), pelanggaran kebebasan beragama menunjukkan peningkatan jumlah. Tahun 2014, jumlah pengaduan pelanggaran KBB tercatat 74 kasus. Selanjutnya, tahun 2015 jumlah pengaduan meningkat menjadi 87 kasus (Kompas, 6/1/2017).
Setara Institute mencatat, pada 2016 terdapat 208 peristiwa intoleran dan 270 tindakan intoleran. Skor kebebasan beragama/berkeyakinan dalam Indeks Kinerja HAM 2016 adalah nomor dua terendah, yakni hanya 2,47. Itu pun turun dari 2,57 pada 2015.
Hidup dalam keberagaman suku dan agama itu adalah takdir dan anugerah menjadi orang Indonesia. Kita itu bineka dan kita itu Indonesia.
”Hidup dalam keberagaman suku dan agama itu adalah takdir dan anugerah menjadi orang Indonesia. Kita itu bineka dan kita itu Indonesia,” ujar Yulius.
Teladan perdamaian
Terpaut jarak ratusan kilometer dari Kabupaten Sleman, DIY, terdapat sebuah kampung yang mungkin bisa memberikan teladan perdamaian kepada masyarakat Indonesia. Di RW 004 Kelurahan Jamika, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kota Bandung, terdapat sebuah kampung toleransi.
Dalam RW ini terdapat 10 rumah ibadah yang berdiri berdekatan dan bisa hidup rukun satu dengan yang lain. Dalam wilayah seluas 8,2 hektar ini, terdapat 4 gereja, 4 wihara, dan 2 masjid.
Empat gereja itu adalah Gereja Bethesda, Gereja Rehobot, Gereja Jemaat Kristen Indonesia (GJKI), dan Gereja Pentakosta. Sementara empat wihara yang berada di sana adalah Wihara Aman, Wihara Terang Hati, Wihara Ratnapani, dan Wihara Yasodhara. Adapun dua masjid yang berada di sana adalah Masjid Al-Asror dan Masjid Al-Amin.
Lokasi Masjid Al-Asror persis bersebelahan dengan Wihara Ratnapani dan hanya selang dua rumah dari Gereja Rehobot.
Tidak hanya bangunan fisik rumah ibadatnya yang berdiri berdekatan dan bersebelahan, warga di sana yang memiliki beragam agama itu pun hidup rukun satu sama lain.
Ketua Pengurus Kampung Toleransi RW 004 Jamika Dede Taryono menjelaskan, resep kerukunan antarwarga di kampungnya adalah komunikasi yang baik dan rasa saling menghargai. Pihaknya rajin menggelar silaturahim dalam lintas rukun tetangga dan rukun warga.
Pada saat hari besar satu agama, warga beragama lainnya saling menjaga kerukunan dan lingkungan. Saat bulan puasa, misalnya, warga non-Muslim, baik Kristen, Katolik, Hindu, maupun Buddha, sering kali menyiapkan makanan untuk sahur ataupun menggelar buka bersama.
Para pengurus ”Kampung Toleransi” RW 004 pun berasal dari berbagai agama. Dede mewakili masyarakat Muslim, sementara itu sekretarisnya beragama Kristen, dan bendaharanya beragama Buddha.
Tidak hanya itu, mereka juga kerap bertamasya bersama-sama seluruh warga ke tempat wisata. Pada beberapa pecan lalu, misalnya, Dede bercerita, warga satu RW tak pandang agama dan suku, bersama-sama berwisata ke Puncak Darajat di Garut.
”Dalam suasana senang piknik dan bertamasya, secara tidak langsung akan terbentuk kebersamaan dan persatuan bersamaan. Inilah yang memperat kita,” ujar Dede.
Karena warga hidup rukun dalam perbedaan, Pemerintah Kota Bandung pun memberikan label wilayah ini sebagai ”Kampung Toleransi” pada Agustus tahun lalu.
Dengan ditetapkannya RW 004 Kelurahan Jamika sebagai kampung toleransi, jumlah ”Kampung Toleransi” di Kota Bandung menjadi tiga kampung. Adapun dua ”Kampung Toleransi” yang lebih dahulu diresmikan adalah RW 012 Perumahan Dian Permai, Kecamatan Babakan Ciparay, dan RW 002 Kelurahan Paledang, Kecamatan Lengkong.
Ketua RW 004 Kelurahan Jamika Dayat Permana mengatakan, sesama warga sangat akur dan berbaur satu sama lain tidak pandang suku agama dan ras. ”Iya seperti inilah seharusnya Indonesia ini,” ujar Dayat.