Kembangkan Prinsip Hidup Harmoni dalam Perbedaan
JAKARTA, KOMPAS — Masalah intoleransi yang muncul saat ini dapat menjadi kesempatan tepat untuk menegaskan kembali kesepakatan pendiri bangsa ketika membentuk negara.
Pancasila menjadi bukti bahwa masyarakat sepakat untuk hidup bersama sebagai saudara yang satu dalam keberagaman.
Dalam sejarah bangsa Indonesia, isi dari Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 menyebutkan, sila pertama Pancasila berbunyi ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
Namun, setelah melihat kondisi Indonesia yang beragam, pada 18 Agustus 1945 diputuskan untuk mengubah isi sila pertama tersebut menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Bidang Hukum Robikin Emhas, saat ditemui di Jakarta, Senin (12/2), menyampaikan, perubahan sila pertama tersebut menjadi bukti Indonesia dibangun atas dasar keikhlasan untuk hidup bersama secara harmonis sebagai saudara sebangsa yang berbeda-beda.
”Tujuannya agar kemudian Pancasila menjadi rumah bersama bagi segenap bangsa Indonesia. Pancasila sebagai alat pengikat keberagaman untuk bersatu padu bagi bangsa,” ujarnya.
Mengenai keberagaman, Robikin mengatakan, perbedaan itu adalah kodrat yang tidak dapat direkayasa. Untuk itu, masyarakat pun sebaiknya bisa saling bekerja sama dan berpadu dalam membangun harkat martabat yang luhur. Dengan begitu, keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia pun dapat terwujud.
”Jika suatu negara tercerai-berai dan saling meniadakan, niscaya negara itu akan hancur, termasuk pada peradabannya. Kalau begitu, tidak akan ada kemakmuran dan kesejahteraan,” katanya.
Hal tersebut diungkapkan pula oleh Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Franz Magnis-Suseno. Pancasila perlu dimengerti secara tepat.
Menurut dia, Pancasila dirumuskan untuk menyatakan dengan tegas bahwa Indonesia dimiliki oleh semua masyarakat tanpa memberdayakan kelompok mayoritas dan minoritas.
Sayangnya, lanjut Magnis, sebagian masyarakat tidak lagi memegang teguh kesepakatan dalam pembentukan Pancasila.
”Kalau kita betul-betul Pancasila, kita harus membawa diri secara adil dan beradab. Artinya, juga secara prinsip menolak segala kekerasan. Dari aliran mana pun sepakat untuk tidak mendukung dan mengutuk kekerasan dalam bentuk apapun,” ujar Magnis.
Ketegasan pemimpin
Menurut dia, untuk menghadapi situasi intoleransi saat ini perlu kepemimpinan yang tegas, baik dari pemimpin negara maupun pemimpin agama.
Negara harus bisa tegas menindak segala kekerasan dan ancaman yang menimbulkan keresahan masyarakat.
Undang-Undang Dasar 1945 pun menyebutkan, negara wajib melindungi segenap tumpah darah Indonesia.
Kemudian, pemimpin agama pun perlu menegakkan prinsip moderat dan pluralisme yang menolak kekerasan.
”Pemimpin agama harus lebih banyak bicara dan berbuat jelas kepada umat, betapa penting agama bisa dirasakan sebagai rahmat,” ucap Magnis.
Secara terpisah, Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo menyampaikan, pemahaman ideologi Pancasila harus diperkuat.
”Ideologi ini bersifat konsep sehingga harus diterjemahkan menjadi gagasan. Kemudian, dari gagasan itu dilakukan gerakan yang berulang sehingga menjadi sebuah kebiasaan yang dapat mengubah masyarakat menjadi lebih baik,” ujarnya.
Menurut dia, pemahaman akan Pancasila yang dibawa oleh Mgr Albertus Soegijapranata harus terus ditanamkan kepada umat. Mgr Albertus Soegijapranata adalah uskup pribumi pertama di Indonesia. Ia wafat pada 22 Juli 1963.
Mgr Suharyo mengatakan, Mgr Soegijapranata memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap Pancasila. ”Ia (Mgr Soegijapranata) selalu menekankan prinsip 100 persen patriotik, 100 persen Katolik. Itu wasiat yang harus diturunkan,” katanya.
Untuk itu, lanjut Mgr Suharyo, Pancasila harus dipraktikkan agar menjadi kebiasaan baru bagi masyarakat. Dalam Arah Dasar Keuskupan Agung Jakarta, misalnya, dari 2016 hingga 2020, pedoman umat Katolik di Jakarta adalah mengamalkan Pancasila.
”Tujuannya, kami ingin menerjemahkan Pancasila jadi gerakan dan jadi habitus (kebiasaan) yang transformatif,” ujarnya.
Senada dengan itu, Robikin mengatakan, ia juga selalu mempromosikan bagaimana prinsip dasar Pancasila bisa terus diperkuat, yaitu dengan kehidupan yang toleran.
Menurut dia, toleran merupakan buah dari akhlak luhur. Selain itu, toleransi juga menjadi kesadaran manusia untuk mengakui kebenaran orang lain dan kesalahan diri sendiri.
”Dalam konteks keagamaan Islam itu harus mempromosikan Islam yang moderat dan yang mempraktikkan ajaran Nabi Muhammad yang bisa hidup damai di tengah beragam suku dan bangsa serta agama,” kata Robikin.
Lebih dari toleran
Mgr Suharyo menekankan, saat ini bangsa Indonesia perlu berpikir lebih jauh dari sekadar toleransi, yaitu adanya rasa saling mengerti dan memahami bahwa bangsa Indonesia memang berbeda. Menurut dia, keterbukaan juga diperlukan untuk bisa mencapai persatuan Indonesia.
”Bentuk konkret dari keterbukaan itu bisa dengan saling berkunjung satu sama lain. Setelah mengenal akan ada rasa saling memahami dan tidak sekadar toleran saja. Setelah memahami bisa saling menghargai,” ujarnya.
Ia pun menyampaikan, di tengah suasana intoleransi saat ini, masyarakat harus selalu yakin dan berharap bahwa Indonesia dapat hidup dalam perdamaian. Mgr Suharyo percaya perdamaian di Indonesia bisa terwujud dari dengan adanya dua hal.
Pertama, ia percaya perdamaian masyarakat bisa ditegakkan jika warga negara Indonesia dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menjadi garda depan untuk menjaga negara. Hal ini didasarkan karena anggotanya cukup besar di Indonesia.
Kedua, polisi dan tentara dapat bekerja secara kompak untuk menegakkan fungsinya dalam menjaga negara. ”Kompak ini berarti tidak saling bersaing dan menjatuhkan serta tidak berpolitik dalam menjalankan fungsinya untuk negara,” katanya. (DD04)