Publik harus sadar bahwa ekonomi nasional tak bisa sepenuhnya bersandar pada peran pemerintah. Kebijakan fiskal yang kontrasiklikal menghendaki konsolidasi bertahap agar dampaknya tak terlalu merugikan perekonomian.
Oleh
HARYO KUNCORO
·4 menit baca
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2020 tutup buku sudah. Lembar demi lembar diisi lakon penanggulangan dampak pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Figur utama defisit menguasai panggung fiskal seluas Rp 956,2 triliun atau 6,09 persen dari produk domestik bruto.
Penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) kian mendominasi pembiayaan utang Rp 1.226,8 triliun atau 5 persen lebih tinggi dari rencana awal. Sebagai imbasnya, defisit mampu menaikkan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) hingga 38 persen dari PDB pada akhir 2020.
Peningkatan defisit sudah diskenariokan di UU No 2/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Namun, mulai APBN 2023, defisit harus patuh kembali pada pakem UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara yang membatasi rasio defisit maksimum 3 persen PDB.
Beban pembayaran bunga utang akan terasa selama 10 tahun mendatang.
Saat kesaktian defisit dicabut, perang pun dimulai. Beban pembayaran bunga utang akan terasa selama 10 tahun mendatang. Sementara belanja pemerintah pusat mayoritas bersifat wajib. Sempitnya ruang fiskal membersitkan kekhawatiran atas keberlanjutan fiskal yang menuntut penyesuaian yang substansial.
Alhasil, konsolidasi fiskal jadi isu krusial APBN 2021. Konsolidasi fiskal ditandai dengan penurunan bertahap rasio defisit dan utang sampai batas yang dianggap ”aman”. Opsi yang tersedia bisa melalui penaikan penerimaan pajak atau pengurangan belanja negara. Kedua opsi dalam perspektif teoretis menyodorkan implikasi berbeda.
Mengikuti mazhab Keynesian, pemerintah di masa resesi harus menempuh kebijakan fiskal aktif guna merangsang permintaan agregat, alih-alih memotong belanja. Intinya, aliran Keynesian menentang konsolidasi fiskal. Sebaliknya, jika mengikuti paham Neoklasik, pengendalian defisit lewat pengereman belanja pemerintah tetap berdampak positif. Pengurangan belanja pemerintah mengarah pada intensitas utang yang kemudian mengendurkan tekanan pada suku bunga. Akibat selanjutnya, konsumsi dan investasi sektor privat bisa tumbuh.
Lain halnya dengan aliran Ricardian, pelaku ekonomi sudah mengantisipasi peningkatan utang pemerintah akan diikuti dengan kenaikan pajak. Mereka meresponsnya dengan menunda konsumsi dan menimbun tabungan untuk jaga-jaga. Oleh karena itu, dampak neto dari konsolidasi fiskal akan netral.
Perbedaan simpulan akhir di antara ketiga narasi itu berangkat dari perbedaan kondisi awal saat konsolidasi fiskal dimulai. Keynesian beranggapan perekonomian dalam jangka pendek mengalami pengangguran sumber daya. Neoklasik bertitik tolak dari perspektif jangka panjang tentang kelangkaan sumber daya. Ricardian beranjak dari optimalitas pelaku ekonomi mengelola sumber daya dalam rentang waktu tak terbatas.
Dilematis
Perbedaan kondisi awal itu mendorong respons sektor privat yang berlainan pula. Respons yang berlainan pada gilirannya menghasilkan perbedaan efektivitas konsolidasi fiskal. Alhasil, imbal-korban pun muncul. Konsolidasi fiskal yang berbasis kenaikan pajak bisa menurunkan rasio defisit, tetapi dengan risiko perekonomian mengalami resesi lebih panjang. Pemangkasan belanja negara juga bisa menyusutkan rasio defisit, tetapi harus dibayar dengan pertumbuhan ekonomi yang lambat.
Episode konsolidasi fiskal yang panjang niscaya akan menekan aktivitas sektor privat.
Dilema itu sejatinya masih bisa disiasati dengan mengatur durasi. Episode konsolidasi fiskal yang panjang niscaya akan menekan aktivitas sektor privat. Sebaliknya, proses konsolidasi fiskal yang pendek akan segera mengembalikan sektor privat pada posisi sebelumnya.
Sayangnya, durasi berbenturan dengan aspek simetris. Perilaku sektor privat dalam merespons pemotongan belanja pemerintah boleh jadi berbeda saat terjadi kenaikan pajak. Tensi kompleksitas masalah kian tinggi tatkala strategi konsolidasi fiskal, durasi, dan simetrisitas berakumulasi, bermuara pada besaran angka pengganda fiskal.
Sampai di sini, efektivitas konsolidasi fiskal sangat ditentukan pemerintah sebagai inisiator kebijakan dan reaksi sektor privat sebagai pihak yang terkena dampak. Karena itu, kemampuan pemerintah dalam memengaruhi perilaku sektor privat menjadi langkah sangat krusial.
Kalaupun respons sektor privat dalam tataran tertentu bisa dikontrol, persoalan efektivitas konsolidasi fiskal belum selesai. Keberhasilan konsolidasi fiskal akan tergantung kredibilitas. Kredibilitas adalah pikiran di benak publik bahwa pemerintah konsisten melaksanakan konsolidasi fiskal sesuai rencana.
Desain konsolidasi fiskal yang kredibel akan membangun konfidensi pelaku ekonomi untuk mendukung kebijakan yang ditetapkan. Sektor privat lebih cepat mengenali, membuat keputusan, dan mengimplementasikan keputusannya. Alhasil, respons publik akan selaras dengan tujuan konsolidasi fiskal.
Dikembalikan pada panggung fiskal Indonesia yang memiliki ruang terbatas dan pasar keuangannya yang belum bisa diandalkan, konsolidasi fiskal lebih cocok disasar lewat kombinasi pemotongan belanja dan kenaikan pajak. Konsistensi pemerintah menjaga rasio defisit sejauh ini menjadi modal kredibilitas yang sangat berharga.
Tenggat tiga tahun konsolidasi fiskal agaknya masih bisa dikejar lewat pajak yang bijak. Realokasi dan refokus belanja yang selektif niscaya menawarkan prasyarat yang kukuh untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah dan stabilisasi ekonomi dalam jangka panjang.
Pada akhirnya, publik harus sadar bahwa ekonomi nasional tak bisa sepenuhnya bersandar pada peran pemerintah. Kebijakan fiskal yang kontrasiklikal menghendaki konsolidasi bertahap agar dampaknya tak terlalu merugikan perekonomian, tetapi juga tak menyengsarakan APBN. Bagaimana APBN mampu mendorong ekonomi makro berkirab jika dirinya sendiri masih berjalan tertatih-tatih?
Haryo Kuncoro, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta; Direktur Riset The Socio-Economic & Educational Business Institute (SEEBI) Jakarta