Politik Identitas Rawan Digunakan untuk Serang Lawan Politik
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Politik identitas akan selalu muncul dalam kancah politik. Politik identitas akan berbahaya jika digunakan untuk menyerang lawan politiknya.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah menerima laporan penyebaran spanduk bermuatan agama terkait pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Kalimantan Barat. Unggahan terkait pilkada di beberapa daerah yang menggunakan sentimen kedaerahan dan agama juga sudah mulai muncul di media sosial.
Peneliti Politik Islam Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Nostalgiawan Wahyudhi, mengatakan, setiap peserta pemilihan kepala daerah akan berusaha memaksimalkan potensi yang ada di dalam diri dan lingkungannya.
Penggunaan politik identitas dalam kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada) seperti politik uang. ”Kedua cara tersebut dianggap sebagai upaya paling cepat untuk menang dalam pilkada,” kata Nostalgiawan saat dihubungi di Jakarta, Selasa (13/2).
Nostalgiawan menjelaskan, politik identitas tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di Amerika Serikat, yaitu dengan menggunakan isu perbedaan warna kulit.
Eksplorasi dari sentimen primordial yang berbasis suku, agama, kedaerahan, dan etnis akan mengarah pada konflik yang sifatnya anarkistis. Penggunaan isu tersebut dalam kampanye juga akan mengakibatkan kegiatan politik menjadi kurang dewasa.
Sebagai contoh, politik identitas yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta tahun lalu berpengaruh hingga sekarang. ”Masyarakat masih terpecah belah dan cenderung tidak mau menganggap pemimpin yang terpilih,” kata Nostalgiawan.
Direktur Pusat Studi Arab dan Timur Tengah Mulawarman Hanase mengatakan, politik identitas akan selalu muncul dalam setiap kontestasi demokrasi kareana setiap orang memiliki latar belakang agama, suku, golongan, dan sebagainya.
Politik identitas akan berbahaya jika berubah menjadi politik SARA yang digunakan untuk menyerang kelompok atau kandidat lain.
Mulawarman menegaskan, dalam konteks demokrasi, seorang peserta pilkada harus menunjukkan kualitas dan visi misi dalam upaya menyejahterakan rakyat.
”Mereka harus menujukkan cara memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan serta kesehatan,” kata Mulawarman.
Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Zainul Ma’arif, mengatakan, politik identitas dapat menjadi aspirasi kelompok untuk kehidupan bersama karena setiap individu memulai dari latar belakangnya masing-masing. Namun, politik identitas dapat bermasalah jika digunakan untuk menjatuhkan kelompok lain dengan menekankan perbedaan.
Menurut Zainul, politik digunakan untuk kebaikan bersama dan bukan hanya untuk mementingkan kekuasaan. ”Jika kepentingan bersama tersebut diutamakan, identitas yang ada pada seorang pemimpin akan hilang,” kata Zainul.
Zainul mengatakan, primordial hanya sebagai kendaraan awal untuk mencapai cita-cita berpolitik seseorang dan bukan titik akhir. Hal tersebut sering terlupakan oleh politisi di Indonesia. Ia berharap masyarakat Indonesia semakin memahami makna persaudaraan sesama manusia.
Waspada
Jelang Pilkada 2018, isu sentimen primordial tidak begitu kentara dibandingkan dengan Pilkada DKI Jakarta pada tahun lalu. Namun, perlu kewaspadaan untuk mencegah berkembangnya politik identitas yang dapat memecah belah persatuan di Indonesia.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, masyarakat harus segera mewaspadai terjadinya sentimen primordial pada kampanye Pilkada 2018.
Apalagi, pilkada di daerah akan sulit terpantau. Menurut Titi, isu yang sering diangkat sebagai alat politik di daerah adalah perbedaan ras dan agama.
Ia berharap, para peserta pilkada dapat berkompetisi dan berdemokrasi dengan menunjukkan integritasnya. ”Penggunaan politik identitas untuk mencari dukungan menunjukkan lemahnya visi misi dan program yang dimiliki oleh peserta pilkada tersebut,” kata Titi.
Menurut Nostalgiawan, politik identitas tidak dapat dicegah. Namun, dapat dikurangi melalui kerja sama antarpemangku kebijakan. Ia berharap Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu, pemerintah, masyarakat, dan media dapat saling bekerja sama melawan isu sentimen primordial yang muncul selama proses Pilkada 2018. (DD08)