Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan, keterbukaan menjadi salah satu asas dalam pembuatan UU.
Namun, penerapan asas itu sulit ditemukan dalam pembahasan revisi UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Hingga disetujui untuk disahkan menjadi UU di Rapat Paripurna DPR, Senin (12/2), pembahasan umumnya dilakukan tertutup.
Draf revisi UU MD3 sulit diperoleh. Anggota Panitia Kerja DPR revisi UU MD3 umumnya enggan memberikannya dengan dalih pembahasan belum tuntas. Ketika ditanya poin yang direvisi, hanya dijawab, revisi UU itu untuk menambah pimpinan DPR, DPD, dan MPR.
Kejanggalan itu terjawab saat rapat pengambilan keputusan tingkat I antara Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Pemerintah, Kamis (8/2). Saat itu, untuk pertama kali, materi revisi diungkap seluruhnya.
Pasal yang direvisi ternyata tak hanya menambah pimpinan MPR, DPD, dan DPD, tetapi juga ada pemberian wewenang dan hak imunitas bagi DPR. "Jangankan publik, kami saja pimpinan fraksi ada yang tidak tahu. Saya baru tahu di saat terakhir," kata Wakil Ketua Fraksi Partai Nasdem Johnny G Plate.
Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas menampik anggapan pembahasan RUU berlangsung tertutup dan tak transparan. Menurut dia, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang mengusulkan agar UU MD3 direvisi, MKD punya wewenang memberi pertimbangan jika ada anggota DPR yang akan diperiksa penegak hukum dan mengambil langkah hukum bagi mereka yang merendahkan martabat DPR.
Namun, Ketua MKD dari Fraksi Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, usulan itu dari Baleg. Anggota DPR dari Fraksi Nasdem Taufiqulhadi yang sempat ikut pembahasan revisi UU MD3 juga mengatakan, usulan itu dari pimpinan Baleg DPR.
Melihat polemik ini, berani jujur dan bertanggung jawab agaknya masih jadi pekerjaan rumah di DPR. (APA/AGE)