Motif Penyerangan Pemuka Agama Belum Terungkap
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Negara Republik Indonesia masih belum mengungkap motif di balik penyerangan sejumlah pemuka agama di berbagai wilayah. Sebagian besar pelaku penyerangan dalam kurun waktu satu bulan terakhir diduga mengalami gangguan jiwa.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul menjelaskan, belum ada bukti kuat bahwa sejumlah peristiwa ini berkaitan.
”Pada prinsipnya, kami tetap menyelidiki. Kalau memang saling berhubungan, akan kami ungkap. Tapi, jika tidak ada bukti, mohon jangan dikaitkan. Sampai sekarang belum ada bukti para pelaku saling terhubung,” ungkapnya di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (14/2).
Akhir pekan lalu, penyerangan terhadap umat dan pemuka agama Katolik terjadi di Gereja Santa Lidwina, Sleman, Yogyakarta. Kemudian, pada Selasa (13/2) juga terjadi perusakan Masjid Baiturrahim di Tuban, Jawa Timur.
Sebelumnya juga terjadi penyerangan terhadap pemuka agama, seperti tokoh pesantren KH Umar Basri di Cicalengka, Bandung; tokoh organisasi Persatuan Islam, HR Prawoto, di Bandung; serta intimidasi terhadap seorang pemuka agama Buddha di Tangerang.
Sejumlah pelaku diduga mengalami gangguan jiwa, seperti pelaku perusakan Masjid Baiturrahim dan penganiayaan tokoh organisasi Persatuan Islam, HR Prawoto, di Bandung. HR Prawoto meninggal akibat kejadian tersebut.
Menanggapi hal ini, Martinus mengatakan, polisi sedang mendata orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di sejumlah wilayah.
”Kami pada tahap mengidentifikasi. Jika di wilayah itu ada ODGJ, akan kami kumpulkan dan kami bawa ke panti sosial atau kami kembalikan ke keluarga mereka. Baru sebatas itu,” katanya.
Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian masih enggan berkomentar mengenai motif penyerangan sejumlah pemuka agama di berbagai wilayah.
”Saya tidak mau membahas topik lain dulu,” ucapnya saat menghadiri agenda penandatanganan nota kesepahaman antara Polri dan DPR di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu.
Dihubungi terpisah, Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri Irjen Lutfi Lubhianto mengatakan telah berkoordinasi dengan Kepala Badan Reserse Kriminal Irjen Ari Dono Sukmanto.
”Saya tidak bisa menjelaskan terkait isu ini. Tapi, langkah-langkah antisipasi sudah kami lakukan dengan Bareskrim Polri,” ucapnya.
Upaya antisipasi
Sebagai upaya antisipasi aksi intoleran yang mengakibatkan teror di masyarakat, Polri menggiatkan peran anggota bhayangkara pembina keamanan dan ketertiban (bhabinkamtibmas) di seluruh wilayah Indonesia.
Sekitar 50.000 personel bhabinkamtibmas ditugaskan di setiap desa untuk melakukan sistem antisipasi dini terhadap peristiwa intoleran.
”Peristiwa itu terjadi karena lemahnya early warning system di masyarakat. Oleh karena itu, kami berharap seluruh pihak bersama bhabinkamtibmas menggiatkan kembali kegiatan antisipasi dini agar mudah mendeteksi potensi aksi intoleran di wilayah,” tutur Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto, Selasa (13/2).
Direktur Binmas Polda Jawa Barat Komisaris Besar Badya Wijaya mengatakan, perlu upaya preventif agar aksi penyerangan di sejumlah daerah Jawa Barat tidak terulang.
”Salah satu cara pencegahan, kami telah memerintahkan bhabinkamtibmas untuk ikut serta shalat berjemaah, khususnya ketika shalat Subuh, ketika lingkungan sedang sepi,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Badya mengatakan, pendataan orang dengan gangguan jiwa juga telah dilakukan di daerah Jawa Barat, salah satunya di Bogor. ”Ini cara yang bisa kami laksanakan untuk menghilangkan rasa khawatir dari para ulama dan pondok pesantren,” ucapnya.
Sebelumnya, harian ini melaporkan, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin menyatakan prihatin dan mengecam penyerangan terhadap umat yang sedang mengadakan misa di Gereja Santa Lidwina, Sleman, Yogyakarta, pada Minggu pagi.
Dengan merujuk pada beberapa kejadian serupa sebelumnya, Din Syamsuddin menduga, kejadian-kejadian itu sepertinya dikendalikan suatu skenario sistemik yang bertujuan untuk menyebarkan rasa takut dan pertentangan antarumat beragama, dan akhirnya menciptakan instabilitas nasional.
”Saya, dan kita semua, prihatin dan mengecam keras penyerangan dengan menggunakan senjata tajam atas jemaat Gereja Lidwina Sleman yang sedang menunaikan misa/kebaktian,” katanya dalam sebuah pernyataan yang diterima Kompas, Minggu (11/2). (DD05)