JAKARTA, KOMPAS — Pesan penyerangan di Gereja Santa Lidwina, Yogyakarta, harus diungkap. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia memandang, selain ada eskalasi intoleransi yang meningkat di Yogyakarta, penyerangan di Gereja Santa Lidwina yang dilakukan seorang diri itu membawa pesan tertentu dan patut dicurigai sebagai promosi kekerasan di tahun politik.
Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, Selasa (13/2), menyampaikan, dalam konteks problem intoleransi, penyerangan Gereja Santa Lidwina tergolong tipologi baru karena dilakukan seorang diri. Pesan yang ingin disampaikan pelaku lebih tampak ingin mempromosikan kekerasan. Dalam agenda politik saat ini, pelaku ingin menunjukkan cara untuk menantang lewat kekerasan secara terbuka.
”Kami melihat ini pola baru. Dan pesannya, dalam agenda politik, itu bisa ditantang dengan cara terbuka, dengan kekerasan seperti itu,” katanya.
Menurut Anam, sejumlah kekerasan dalam tindakan intolerasi sebelumnya itu dilakukan secara berkelompok, seperti kasus Cikeusik (Banten) dan penutupan tempat ibadah di banyak tempat. Dari beberapa problem intoleransi yang pernah terjadi, biasanya tindakan intoleransi juga dipicu oleh penolakan tempat ibadah atau ketersinggungan antarkelompok.
Sementara penyerangan di Yogyakarta terjadi tanpa ada kondisi yang memicu terjadinya tindakan intoleransi. Kendati sebelumnya, tindakan intoleransi telah muncul di Yogyakarta dengan adanya sekelompok orang yang menolak bakti sosial oleh kelompok agama tertentu.
”Ini nyata kekerasan terbuka dan dilakukan seorang diri, dengan menggunakan senjata tajam. Ini bukan semata kekerasan, ada pesan yang disampaikan. Itu tipologi baru dalam sejarah problem intoleransi di Indonesia,” ujar Anam.
Anam pun menilai, serangan di Yogyakarta itu tak menciptakan ketegangan karena ketegangan di tengah masyarakat pun sudah dengan sengaja dipelihara oleh kelompok tertentu. Sementara selama ini tak ada usaha menyelesaikan ketegangan itu dengan cara baik.
Akibatnya, ketegangan itu dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan. Termasuk dalam konteks Yogyakarta, ketegangan itu mulai dimunculkan lewat penolakan sekelompok orang terhadap bakti sosial yang dilakukan sekelompok agama di sana.
”Oleh pihak yang punya kepentingan, ketegangan itu dimanfaatkan, termasuk dalam konteks Yogyakarta. Kan, ketegangan di Yogyakarta sudah ada dan suasana intoleransi itu dimanfaatkan,” ujarnya.
Komnas HAM pun tak memandang tindakan penyerangan di Gereja Lidwina itu sebagai tindakan terorisme. Jika pelaku ingin memanifestasikan kekerasan, menurut Anam, dia akan melakukannya dengan bom bunuh diri, bukan dengan menggunakan parang.
”Ini tak dalam rangka terorisme, tapi ingin mengusik kebangsaan kita. Apakah tindakannya itu terkait politik atau memang tindakan intoleransi itu menunjukkan sudah matang sehingga dapat menimbulkan kerusuhan yang lebih luas. Itu yang harus diungkap. Yang paling tepat mengungkap pesan itu tentunya kepolisian yang menangani kasus itu,” katanya.
Selain memonitor penyerangan di Yogyakarta, Komnas HAM juga memantau persekusi yang dialami seorang biksu di Tangerang dan sejumlah kasus intoleransi lainnya di Tanah Air. Menurut Anam, Komnas HAM pun berharap aparat penegak hukum dapat mengungkap motif para pelaku karena seperti penyerangan di Yogyakarta itu sudah tergolong pidana.
”Penegak hukum juga dapat menjatuhkan hukum yang berat terhadap pelaku, setimpal dengan efek yang ditimbulkan oleh tindakan pelaku,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyu Wagiman yang memandang perlu bagi kepolisian untuk mengungkap motif dan faktor pendorong pelaku untuk melakukan penyerangan dan kekerasan di Gereja Santa Lidwina.
”Kekaburan penyelesaian atas kasus ini hanya akan melanggengkan dan membesarkan tindakan intoleran sehingga perlu ditangani secara tuntas dengan transparan dan akuntabel,” katanya.