JAKARTA, KOMPAS - Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berbasis internet masih ditemukan beberapa permasalahan, di antaranya pungutan liar. Pemerintah daerah dan pihak sekolah pun diminta untuk konsekuen dalam Pelaksanaaan PPDB, seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 17 Tahun 2017, agar tidak ada jalur lain di luar jalur yang telah ditentukan pemerintah pusat.
Berdasarkan data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), dari 400 aduan yang diterima usai pelaksanaan PPDB 2017 di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, ditemukan sebesar 17 persen terkait pungutan liar. Selain itu, aduan meliputi masalah jalur zonasi, penolakan siswa miskin, surat keterangan tidak mampu (SKTM) palsu, dan titipan pejabat.
Koordinator Bidang Advokasi dan Investigasi JPPI Nailul Faruq mengatakan, data sebesar 17 persen itu menunjukkan pungutan-pungutan liar masih terjadi di lembaga pendidikan meskipun sistem PPDB sudah berbasis dalam jaringan (online). Dalam laporan, orang tua murid dipungut biaya oleh pihak komite sekolah dalam proses daftar ulang dan dimintai uang untuk pembelian peralatan sekolah, seperti seragam dan alat tulis. Namun demikian, ketika kasus itu ditelusuri, kata Nailul, baik pihak sekolah maupun panitia PPDB malah mengaku tidak tahu urusan pungutan itu.
"Ironis sekali, panitia PPDB tidak tahu, kepala sekolah juga tidak tahu. Ini jadi tanda tanya besar, berarti tidak ada transparansi antara pihak sekolah dan komite sekolah. Harapan transparansi dengan adanya sistem PPDB online pun tidak terjadi," ujar Nailul dalam diskusi bersama perkumpulan wali murid di Sekretariat Indonesia Corruption Watch, Pancoran, Jakarta Selatan, Senin (12/2).
Ketua Perkumpulan Wali Murid, Heru Narsono, menuturkan, sistem PPDB online masih diliputi suasana kapitalis. Ia menyebut, pada penerimaan tahun lalu, praktik penambahan siswa di luar sistem PPDB masih terjadi. Alhasil, jumlah siswa melebihi kapasitas.
Padahal, sesuai Permendikbud Nomor 17/2017, jenjang pendidikan SD maksial adalah 24 siswa, SMP sebanyak 33 siswa, SMA sebanyak 36 siswa, dan SMK sebanyak 24 siswa.
"Kalau aturan itu dipatuhi betul, pihak sekolah tidak bisa seenaknya memasukkan anak di luar sistem PPDB online," ujar Heru.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hamid Muhammad mengatakan, seharusnya kehadiran sistem PPDB online bisa meminimalisir adanya jalur lain, seperti pungutan liar. Namun, apabila pungutan liar itu benar terjadi di lapangan, maka orang tua murid berhak langsung melaporkan kepada Inspektorat Jenderal Kemendikbud.
"Kalau bukti penyimpangan masalah uang itu benar ada, bisa langsung dilaporkan. Kalau bukti lengkap, pasti akan langsung ditindaklanjuti," ucap Hamid.
Oleh karena itu, menurut Hamid, semua kembali lagi kepada pemerintah daerah dan sekolah masing-masing dalam upaya pencegahan terjadinya pungutan liar. Ia berharap Permendikbud No 17/2017 dapat dilaksanakan secara konsisten di lapangan.
"Kalau sudah menggunakan sistem PPDB online, ya mutlak jangan menggunakan sistem lain. Laksanakan itu secara konsekuen," ujarnya.
Pengamat pendidikan Doni Koesoema, mengatakan, pemerintah telah mengatur keberadaan komite sekolah dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Dalam aturan tersebut, kata Doni, setiap kegiatan komite sekolah harus di bawah sepengetahuan kepala sekolah. Komite sekolah juga seharusnya tidak boleh ikut mengintervensi dalam proses seleksi penerimaan siswa baru.
"Jadi kalau ada komite sekolah buat kebijakan tanpa sepengetahuan kepala sekolah itu adalah pungutan liar yang seharusnya langsung dilaporkan ke saber pungli atau kemendkibud," ujar Doni.
Untuk mengantisipasi hal itu, kata Doni, sistem PPDB harus lebih transparan untuk masyarakat. Masyarakat harus bisa ikut memantau proses penerimaan siswa baru.
"Sekarang masyarakat tidak bisa memantau karena server ditutup lalu muncul permainan dalam. Saat itulah ada anak tidak lolos tetapi tiba-tiba ada siswa masuk. Jadi, masyarakat harus punya akses ikut mengontrol atau mengawasi supaya PPDB berjalan objektif dan adil," tutur Doni.
Koordinator tim pendidikan Ombudsman Ahmad Sobirin mengatakan, berdasarkan evaluasi PPDB online tahun kemarin, pungutan liar di luar sistem PPDB tidak banyak mucnul dibandingkan tahun sebelumnya. Terkait hal itu, pihaknya sedang berkoordinasi dengan JPPI dalam menindaklanjuti laporan permasalahan pungutan liar tersebut.
"Di balik layar ada. Kami akan ada investigasi tertutup dengan pihak sekolah-sekolah yang terlibat. Sejauh ini sigarnya baru dugaan," ujar Sobirin.
Sobirin menambahkan, apabila dugaan itu kelak terbukti, pihaknya akan langsung memanggil kepala sekolah yang bersangkutan. Kemudian, pihak sekolah akan diminta untuk memberhentikan praktik tersebut dan mengembalikan uang yang pernah dipungut kepada wali murid.
"Pungutan itu harus jelas dipergunakan dalam koridor dalam pelaksananan pendidikan dan harus dipertanggungjawabkan. Kalau tidak ada ya harus dihentikan," kata Sobirin.
Karena masih ditemukannya praktik pungutan liar di luar sistem PPDB online, Sobirin menuturkan, pihaknya telah merekomendasikan beberapa hal perbaikan kepada Kemendikbud terkait sistem pelaksanaan sistem PPDB online selanjutnya. Rekomendasi tersebut di antaranya menindak tegas terhadap praktik jual beli kursi dan pungutan liar yang tidak resmi, serta mencegah perlakuan istimewa kepada kelompok tertentu karena jabatan atau profesinya.
"PPDB itu dari segi sistem didesain untuk tidak bisa direkayasa. Tetapi, pihak sekolah juga harus punya upaya pencegahan untuk tidak ada pungutan liar di luar sistem yang sudah baik itu. Kalau tidak ada upaya pencegahan, pasti bolong-bolong itu akan terus ada," kata Sobirin.