Seperempat Abad Koran ”Suara Timor Lorosae”
Rongsokan kerangka mesin cetak Heilderberg masih terpampang di sudut kanan halaman surat kabar Suara Timor Lorosae, di kawasan Surikmas, pinggir kota Dili, Timor Lorosae.
Ada dua prasasti di sampingnya. Setiap orang yang datang ke koran pertama di Kota Dili bisa langsung membaca pesan yang tertulis dalam prasasti: no more violence against media. Papan nama Suara Timor Timur (nama sebelum Suara Timor Lorosae) juga masih jelas terlihat. Ada tanda-tanda karat dan sisa-sisa hangus terbakar.
Memasuki salah satu ruang di Kantor Surat Kabar Suara Timor Lorosae—dulu Suara Timor Timur—terpasang juga koran berita utama harian sore Suara Pembaruan terbitan 19 April 1999.
Harian ini memasang foto ketika petugas Brigade Mobil (Brimob) memeriksa kerusakan di Kantor Suara Timor Timur (STT) oleh massa pro-integrasi, Sabtu (17/4/1999), menjelang referendum di Timor Timur yang difasilitasi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
CEO Suara Timor Lorosae (STL) Salvador Januario Xiemenes Soares mengantarkan saya memasuki ruang demi ruang di Kantor Redaksi STL, 1 Februari 2018. Ruang redaksi STL itu sangat sederhana. Tiga puluh enam anggota staf STL bekerja penuh dedikasi untuk jurnalisme di Timor Lorosae.
Foto itu sangat bersejarah ketika kantor ini diobrak-abrik massa pro-integrasi. Mereka mengira pemberitaan STT pro-kemerdekaan.
”Foto itu sangat bersejarah ketika kantor ini diobrak-abrik massa pro-integrasi. Mereka mengira pemberitaan STT pro-kemerdekaan,” ujar Salvador mengenang horor di kantornya 19 tahun lalu.
Saat Timor Timur masih bergabung bersama Indonesia, Salvador adalah anggota DPR dari Partai Golkar mewakili Timor Timur, bersama Clementino dos Reis Amaral.
Kebetulan, saya diundang Salvador untuk hadir dalam peringatan 25 tahun STT. Kebetulan juga saya ikut mendirikan Suara Timor Timur bersama wartawan senior Kompas, Valens Doy, dan sejumlah wartawan lain.
Edisi percobaan Suara Timor Timur, koran pertama di Timor Timur waktu itu, terbit 1 Februari 1993. Edisi percobaan itu menampilkan wawancara pertama sekaligus kulonuwun awak media STT kepada Panglima Komando Pelaksana Operasi Timor Timur Mayjen TNI Theo Safei dan wawancara dengan Gubernur Timor Timur Abililio Jose Osorio Soares.
Mungkin serba kebetulan, Suara Timor Timur edisi percobaan terbit sehari menjelang sidang Xanana Gusmao di Pengadilan Negeri Dili. Kuasa hukum Xanana Gusmao, Sudjono, juga ikut diwawancarai oleh Suara Timor Timur.
Penerbitan mendapatkan momentum dengan dibukanya persidangan Xanana Gusmao yang setelah Timor Timur merdeka sempat menjadi Presiden Republik Demokratik Timor Leste.
Membangun media dan mengembangkan jurnalisme di daerah konflik memang tidak mudah. Di daerah konflik, elite militer atau elite politik selalu menghadapkan pilihan kepada jurnalis: hitam atau putih. Kawan atau lawan. Pro-integrasi atau pro-kemerdekaan. Dalam situasi seperti itulah, para wartawan Suara Timor Timur harus bekerja.
Jurnalisme tetap mencoba berada di tengah sehingga sering disalahmengerti sehingga berdampak perusakan dan pembakaran mesin pada tahun 1999. Dalam salah satu ruangan di kantor redaksi itu, tertulis posisi editorial STT, ”Otonomi atau Merdeka”, STT Tetap Merdeka”. Posisi editorial STT itu ditulis bertepatan dengan ulang tahun keenam STT dan terbit 10 Februari 1999.
Prasasti di ujung menjadi penanda betapa susah dan berisikonya menjaga independensi ruang redaksi. Sekelompok massa yang marah membakar mesin cetak dan ruang redaksi. Itulah sejarah kekerasan untuk media.
Mesin cetak buatan Jerman yang dibakar massa adalah sumbangan The Asia Fondation dan USAID tahun 1994. Adapun prasasti dibuat pada peringatan World Press Day 3 Mei 2008.
Prasasti itu ditandatangani Jose Luis Gutteres, Wakil Perdana Menteri Timor Leste, Kuasa Usaha Kedutaan Besar Amerika Serikat Henry M Rector, dan Salvador Soares yang mewakili penerbit. Prasasti itu diberi nama ”Monumen No More Violence Against Media”.
Tanpa terasa, Suara Timor Lorosae telah menginjak 25 tahun. Tantangan Suara Timor Lorosae bukan lagi soal tekanan politik, melainkan juga tekanan bisnis. Dengan tiras 1.000 eksemplar—ada empat koran di Timor Timur—Suara Timor Lorosae yang diawaki 36 wartawan berupaya tetap menghidupi mengelola koran, radio, dan televisi.
”STT harus tetap sebagai penyampai kebenaran,” kata Uskup Dili Antonio da Costa.
Dua puluh lima tahun tentunya merupakan perjalanan yang cukup panjang untuk sebuah koran di sebuah negara kecil. Resepsi sederhana digelar di halaman kantor STT.
Tenda dipasang untuk menampung 300 undangan, termasuk Wakil Uskup Dili Mgr Antonio da Costa, Clementino dos Reis Amaral, Ketua Dewan Pers Timor Lorosae Virgilio da Silva Gutteres, dan sejumlah tokoh di Timor Leste. Mantan Presiden Taur Matan Ruak ikut menjadi pembicara di seminar nasional soal media yang diadakan di Pusat Budaya Indonesia.
Peringatan 25 tahun STT terganggu oleh hujan lebat dan angin. Tenda tak tahan menampung air hujan sehingga sejumlah pengunjung kehujanan.
Sejumlah awak redaksi STT menggunakan kursi untuk menghalau air hujan yang melimpah agar tak membasahi pengunjung. Pengeras suara mati atau dimatikan karena hujan. Tampaknya tak ada pawang hujan seperti di Indonesia untuk menghalau hujan. ”Kalaupun ada pawang, tak akan bisa menahan,” ucap Helder da Costa, Sekjen G7plus.
Dalam hujan dan angin lebat, Uskup Antonio da Costa menyerukan agar STL tetap menyuarakan kebenaran. Suara Uskup Antonio dalam bahasa Tetun sama sekali tak terdengar karena tiadanya pengeras suara dan ditutup suara hujan angin.
”Uskup berpesan agar STL terus menyuarakan kebenaran,” kata Salvador kepada Kompas.
Sementara Clementino dos Reis Amaral mengatakan, di tengah iklim politik Timor Lorosae seperti sekarang, STL harus lebih lugas menyampaikan pandangannya.
”Tidak usah terlalu berputar-putar menyampaikan sikap,” kata Clementino yang pernah menjadi anggota DPR dari Partai Golkar saat Timor Timur masih menjadi bagian dari Indonesia.
STL masih tetap terbit. Koran itu terbit dalam bahasa Tetun, tetapi ada juga dua atau tiga berita yang terbit dalam bahasa Indonesia.
Menghadapi tantangan industri media, Salvador mengingkatkan agar wartawan STL ikut menyesuaikan dengan perkembangan industri digital. Cara kerja diubah dengan mendahulukan berita melalui platform digital yang lintas batas.
Wartawan STL ikut menyesuaikan dengan perkembangan industri digital. Cara kerja diubah dengan mendahulukan berita melalui platform digital yang lintas batas.
”Pokoknya, mulai besok kita harus berubah,” kata Salvador kepada awak redaksi setelah saya bersama teman redaksi STL berdiskusi soal masa depan media.
Kalau di awal pendirian, STT berupaya mempertahankan corak jurnalisme yang tetap independen, pada 25 tahun kedua, STL harus menyesuaikan diri dengan zaman yang berubah, yakni revolusi digital. Berubah atau mati menjadi pilihan!